Seorang pria yang mendapat warisan leluhur setelah diceraikan oleh istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aiza041221, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Sebenarnya Suparman juga tidak kalah terkejutnya dengan Caroline saat melihat ternyata kedua batu itu benar-benar batu Mulia. Apalagi keduanya merupakan batu Mulia berkualitas tinggi.
" Sangat cukup Man? bahkan lebih dari cukup." sahut Caroline dengan wajah berbinar.
" Apakah kamu mau membelinya. Bukankah kamu juga berbisnis perhiasan batu Mulia." tanya Suparman dengan santai.
" Tentu Man? Aku tentu akan membayar kedua batu ini dengan harga yang pantas. Man, Kamu adalah bintang keberuntunganku." seru Caroline sambil langsung memeluk tubuh Suparman dengan erat.
Suparman yang kembali mendapatkan pelukan dari Caroline tidak bisa legi menahan gelora ditubuhnya, apalagi dia sudah sedikit terpengaruh oleh minuman yang dia minum.
Tanpa membuang waktu lagi, Suparman langsung mengajak Caroline untuk beradu mulut dengan ganas, dia tidak mempedulikan Caroline yang menepuk-nepuk punggungnya.
" Caroline menarik nafas dalam, matanya membulat penuh kejutan saat Suparman tiba-tiba memulai pertengkaran. "Man...??" bisiknya, suaranya bergetar.
Suparman menatap Caroline, penyesalan menggelayuti wajahnya. "Caroline, maaf, aku khilaf!" katanya lembut, menyesal. Tangannya perlahan mengusap bahu Caroline.
"Tidak apa-apa, Man. Kalau kamu ingin lebih, aku bersedia memberi, tapi ingat Man, kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu," bisik Caroline, suaranya hampir tak terdengar, seraya bernapas di dekat telinga Suparman.
Matanya berkunang-kunang, Suparman bergumam pelan, "Carol, kamu memancing singa tidur..." Ia lalu dengan cepat meraih Caroline, kembali mengajaknya untuk beradu mulut dengan penuh gelora.
Caroline yang sebelumnya pasif, kini dengan semangat membalas serangan Suparman. Suparman yang mendapatkan balasan dari Caroline semakin bersemangat. Mereka beradu mulut dengan sangat sengit, tidak ada yang mau mengalah.
Setelah sepuluh menit beradu mulut dengan hebat, Suparman mulai berpindah ke leher jenjang Caroline, membuatnya hanya bisa pasrah menikmati setiap sensasi luar biasa dari sentuhan lembut Suparman.
" Uhhh... Mann, sebaiknya kita pindah ke tenda saja. Disini takut ada nyamuk yang iri dengan apa yang kita lakukan." bisik Caroline dengan lembut.
" Kamu benar Carol, aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Tetapi apa kamu yakin akan melakukan ini denganku." balas Suparman dengan wajah serius.
" Sudah jangan banyak bicara..! Ayo kita ke tenda. Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya sawahku dicangkul olehmu." seru Caroline sambil menarik tangan Suparman menuju tenda.
Begitu tiba di tenda, Caroline segera melepas jaketnya dan berbaring di sleeping bag. Suparman terpesona melihat pemandangan indah di hadapannya saat Caroline berbaring hanya mengenakan tanktop dan celana pendek.
Tanpa membuang waktu lagi, ia segera berbaring di samping Caroline, dan kembali mengajak Caroline untuk adu mulut yang seru dan hangat.
Caroline yang mulai mengeluarkan suara suara merdunya, membuat gelora di tubuh Suparman semakin membara hingga membuatnya semakin meningkatkan intensitas serangannya.
Caroline berdiri membisu, merasakan getaran yang tumbuh di dalam diri Suparman. Tubuhnya kaku ketika Suparman dengan lembut mulai menelusuri lekuk tubuhnya. Saat tangan Suparman dengan pelan mengangkat tank topnya.
Caroline hanya bisa terpaku, merasakan hatinya berdetak lebih cepat. Matanya menangkap pandangan takjub di mata Suparman, saat kulit putih mulusnya yang tersembunyi kini terpampang nyata.
"Kamu benar-benar mempesona," bisik Suparman dengan nafas yang tertahan, sambil terus terpana oleh keindahan yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Caroline merasa sebuah rasa hangat mengalir di dalam dirinya, menggantikan rasa canggung yang sempat ada.
Caroline hanya tersenyum dan langsung menutup wajahnya, dia sangat malu namun tetap menahan senang karena pujian yang diberikan Suparman kepadanya.
" Jangan terus memujiku, Man? Cepat lanjutkan pekerjaanmu, aku sudah sangat ingin sekali merasakan seperti yang teman-temanku rasakan. Mereka bilang mencapai surga dunia akan begitu indah dan menyenangkan." ucap Carol sambil menutupi buah semangka miliknya dengan tangan.
Melihat Caroline yang sudah tidak sabaran, Suparman langsung mengalihkan perhatian Caroline. Dengan cepat, ia memakan semangka besar yang ada di hadapannya.
Caroline hanya bisa memejamkan matanya, merasakan setiap helaian rasa nikmat yang diberikan oleh Suparman, pria yang sudah membuatnya jatuh hati semenjak SMA.
Suparman memakan semangka besar di hadapannya secara bergantian. Sementara itu, tangannya terus bergerak lincah di sawah Caroline yang mulai becek.
Setelah melakukan pemanasan lebih dari setengah jam, Suparman kini bersiap untuk menggunakan cangkul besar dan panjang miliknya yang sedikit bengkok untuk mencangkul sawah Caroline.Caroline menggigit bibirnya, tatapannya penuh kekhawatiran ke arah Suparman yang memegang cangkul besar itu. "Apakah akan muat di sawahku, Man? Sawahku kan kecil..." suaranya bergetar, penuh keraguan.
Suparman mengernyit, merasakan beban tanggung jawab yang mendadak terasa berat di pundaknya. "Tenang, Carol, aku tahu ini kecil. Tapi percayalah, aku akan sangat hati-hati," katanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus Carol.
Malam itu, di bawah rembulan yang samar, suasana tegang terasa menggantung di udara. Pengalaman pertama Suparman mencangkul sawah seorang gadis membawa beban emosional yang tidak dia sangka sebelumnya, berbeda jauh saat dia bekerja di sawah mantan istrinya yang sudah lama kehilangan masa kegadisannya.
Kini, selain harus mengelola cangkulnya dengan hati-hati, dia juga harus mengelola harapan dan ketakutan Carol yang tersirat dalam setiap desah napasnya.
"Arghhh... sakit, Man," teriak Caroline, suaranya menggema melintasi air terjun yang hening.
Sejenak, dia melirik ke arah Suparman yang tengah mengolah sawahnya dengan cangkul yang tak kenal lelah. Kedua matanya bertemu sebentar, menyiratkan rasa saling percaya dan keberanian, namun segera teralih saat rasa sakit mulai menyeruak kembali.
Suparman, mendengar jeritan Caroline, segera menghentikan cangkulnya. Mencoba meredam kesakitannya dengan beradu kata-kata penuh semangat.
"Tahan sebentar, Lin," ujarnya, berusaha menenangkan.
Wajahnya penuh dengan determinasi untuk tidak menyerah meski pekerjaan masih jauh dari selesai. Beberapa saat kemudian, perasaan Caroline mulai sedikit rileks. Suparman memanfaatkan kesempatan itu untuk kembali ke pekerjaannya.
Namun, belum beberapa lama, dia harus menyudahi pekerjaannya ketika Caroline menjerit kesakitan lagi. "Arghhhhhhhh... sakit," jeritnya, air mata kembali berlinang membasahi pipinya.
gk aneh2 alur ceritanya
sangat logis
sangat terhibur
cuma sayang gk ada terusan nya