Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. PENYANGKALAN
"Dila." Ezra mendekap dan menarik Dila dalam dekapan.
Gadis itu berusaha memberontak, namun tenaganya kalah. Ezra menahan tubuh sensual yang hendak menghindar. Dia mengeratkan pelukan, dan menarik hijab Dila hingga terlepas.
Pria dengan hasrat tengah membuncah itu mulai menelusuri apa yang instingnya tuntun, saat tubuh mulus nan berisi itu dalam pangkuannya.
"Abang, jangan ... kan udah janji, jangan," rengek Dila lirih, saat ia merasakan gelenyar aneh merangsek menggetarkan sukmanya perlahan.
Hening.
Sunyi.
Dilara merasakan nafas Ezra kian berat. Wajah suaminya masih menempel diantara lekuk leher dan bahu kanan Dila yang terbuka, akibat jubah tidur yang di tarik paksa.
Perlahan dekapan itu mengendur.
"Maaf, maaf ... sia-pa yang menyu-ruhmu kemari? per-gilah. A-ku tak apa," ujar Ezra menahan serak.
Pria kekar yang nampak menderita akibat denyutan hebat di kepala, mengusap lengan mulus Dila sebelum ia mendorongnya agar bangkit dari pangkuan seraya meraih selimut guna menutupi seluruh tubuhnya.
"Abang," lirih Dilara tak tega melihat Ezra.
"Pergilah, Dila ... pergi," rintih Ezra, samar dari balik selimut.
Gadis ayu itu lama diam mematung di sisi tempat tidur sang suami. Meski masih takut akan reaksi Ezra, ia pasrah jika memang lelaki itu hendak meminta haknya.
"Maaf Abang, maaf. Aku hanya terkejut tadi," batin Dila.
Sosok dibalik selimut itu kini jauh lebih tenang, hembusan nafasnya mulai teratur. Dila memberanikan diri menyentuh dahi Ezra.
"Astaghfirullah, panas."
Ia bergegas menuju kamar mandi, mencari handuk kecil lalu membasahinya. Perlahan, Dila meletakkan handuk basah yang ia pegang menutupi dahi Ezra.
"Bismillah," gumam Dila. Tubuh kekar itu sedikit bergerak, merasakan sejuk menjalar perlahan.
Nyonya muda El Qavi, menemani Ezra hingga menjelang subuh. Dia pun bolak-balik bathroom untuk mengganti handuk basah yang mulai mengering sembari murojaah sepanjang malam di sisi suaminya.
Jam tiga dini hari, Dila menjulurkan telapak tangan kanannya pada dahi Ezra kembali.
"Alhamdulillah, reda."
Matanya sungguh tak bisa lagi di ajak kompromi, setelah mengganti handuk terakhir. Dila merebahkan tubuh lelahnya begitu saja.
Ia berpikir, hanya berbaring sebentar karena adzan subuh akan berkumandang. Namun netranya tak sengaja memejam, meringkuk di dekat kaki suaminya karena dingin.
Entah kemana hijab dan jubah yang dia kenakan tadi saat di lempar Ezra, belum sempat dicari karena panik suaminya demam tinggi.
Deru nafas halus pasangan suami istri itu menguar ke seluruh penjuru kamar.
Satu jam kemudian.
Ezra yang terbiasa bangun awal sebelum subuh, merasakan sejuk menembus pori kulit. Ia meraba dahinya yang ternyata tertutup handuk lembab.
Ketika mencoba bangun hendak ke kamar mandi serta mengambil baju, karena ia hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Ezra terkejut.
"Dila, sepanjang malam di sini?" lirih Ezra saat melihat tubuh mungil itu meringkuk disamping kakinya.
Dia melihat dua handuk lainnya di lantai dalam sebuah wadah.
"Maafkan sikap kasar ku tadi, hampir saja melanggar janji. Efek mabuk sia-lan," gumam Ezra seraya menyandarkan badannya pada kepala ranjang.
Tuan muda El Qavi, memandang tubuh molek di hadapannya. Senyum Ezra mengembang. Perlahan dia mendekat, menatap intens wajah ayu tanpa hijab yang tengah tertidur.
"Bulu mata panjang dan penuh. Rambutnya lebat. Wangi apa ini? apel? kamu suka apel ternyata." Ezra puas memandang, menyusuri setiap lekuk wajah istri kecilnya itu.
C-up.
Satu kecupan mendarat di kening Dila. Membuat pemilik raga itu bergerak.
"Bibir pink ini, gimana rasanya," gumam Ezra perlahan mendekat.
"Eh, astaghfirullah."
Ezra terburu menarik diri dan menyelimuti tubuhnya kembali sebelum kedua netra bulat itu terbuka.
"Hmm, Abang?"
Dila terbangun, menyentuh dahinya. Terasa sesuatu yang lembut baru saja mendarat di sana.
Gadis ayu ini mengerjapkan mata bulat yang masih terasa berat agar membuka sempurna, lalu ia melihat handuk lembab terakhir telah terlepas dari kening suaminya.
Dila mendekat, menempelkan kembali telapak tangannya di tempat yang sama.
"Alhamdulillah."
Ia menghembus nafas lega, lalu membereskan semua kekacauan di sana. Mencari hijab dan jubah tidurnya.
Kemudian keluar dari kamar Ezra, menuruni satu persatu anak tangga menuju kamarnya untuk bersiap mandi dan sholat subuh.
"Aku melewatkan tahajud malam ini," keluh Dila saat membuka handle pintu kamar.
Sementara di kamar Ezra.
Degh.
Degh.
Degh.
"Apa ini?" Ezra diam, mengusap dada kirinya yang berdegup tak beraturan.
Pemilik nama Ezra El Qavi ini lalu bangkit, duduk sejenak sebelum kedua kaki berotot itu menyentuh lantai.
"Rolex, kurang ajar!" Ezra menggeram kesal pada asistennya itu.
Ba'da subuh.
Masih mengenakan sarung dan koko, ia menapaki anak tangga berniat turun ke lantai dasar. Tak biasanya Sang tuan muda ada di area pantry sepagi ini.
"Non, habis ini gimana?" suara Bi Inah terdengar saat langkah kaki Ezra kian dekat.
Dila yang terbiasa belajar kepekaan karena tidak dapat mendengar, menahan suaranya karena ia yakin ada seseorang mendekat ke arah mereka.
"Loh, Den," tegur Bibi melihat Ezra mematung di depan pintu pantry.
"Sudah enakan?" tanya Bibi menghampirinya.
Ezra tak menjawab, netranya tertuju pada sosok di hadapan yang membelakanginya.
"Den," Bibi menepuk lengan Ezra.
"Eh, aku gak apa, Bi. Hanya masih sedikit pusing," Ezra tergagap.
"Alhamdulillah, mau kopi?" tanya Bi Inah.
"Teh hangat saja. Aku tunggu di meja makan," ujarnya sambil lalu tak melepaskan pandangan dari sosok Dila.
"Gak baik mencuri pandang, nanti Bibi minta Dila yang antar ya," bisik Bi Inah mendorong Ezra pergi.
"Ish, apaan sih, Bi," sungut Ezra tak suka di goda.
Beberapa saat kemudian.
Dila membawa satu cangkir teh hangat ke hadapan Ezra yang sedang membaca pesan di tab kerja miliknya.
Tak ada percakapan di antara keduanya. Ezra kikuk saat wangi apel segar kembali menusuk indra penciumannya.
Saat sarapan.
Ezra menunggu Dila hadir namun gadis itu tak kunjung menemani seperti biasanya, hingga Rolex pun tiba.
Segera, dia menarik pria yang telah menemaninya belasan tahun ini menuju ruang kerja.
"Apa-apaan semalam, Lex. Jangan kurang ajar!"
"Maaf, Bos. Ku kira...."
"Apa? aku tak akan menyentuhnya meski dalam keadaan terdesak!"
"Bos, dia istri Anda," ujar Rolex.
"Hanya di atas kertas. Dan itu tak merubah apapun!" sentaknya.
Degh.
Dilara tak sengaja mendengar teriakan Ezra, saat ia akan mengantar kopi yang telat di suguhkan karena mengeringkan rambutnya yang basah terlebih dahulu.
"Nona," Rolex melihat Dila sudah berdiri di depan pintu yang setengah terbuka. Ia lupa menutup rapat karena tarikan kasar Ezra padanya tadi.
"Ternyata, bisa mendengar lagi itu tak selamanya enak. Aku harus mulai terbiasa dengan cacian, makian Abang yang jelas terlontar untukku. Langsung dari mulutnya dan ternyata itu lebih sakit dari yang ku bayangkan," ucap Dila dalam hati.
Dila masuk ke dalam ruangan. Meletakkan secangkir kopi yang terlambat di atas meja kerja Ezra.
Ia berburu berbalik badan, mencegah satu tetes bulir lolos dari mata bulatnya.
"Benar, aku hanya istri di atas kertas."
Ternyata, hatiku tak sesiap yang ku duga.
.
.
...________________________...
...Dah gatel pengen Crazy Up 😌...
⭐⭐⭐⭐⭐