Widia Ningsih, gadis berusia 21 tahun itu kerap kali mendapatkan hinaan. Lontaran caci maki dari uanya sendiri yang bernama Henti, juga sepupunya Dela . Ia geram setiap kali mendapatkan perlakuan kasar dari mereka berdua . Apalagi jika sudah menyakiti hati orang tuanya. Widi pun bertekad kuat ingin bekerja keras untuk membahagiakan orang tuanya serta membeli mulut-mulut orang yang telah mencercanya selama ini. Widi, Ia tumbuh menjadi wanita karir yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda. Sehingga orang-orang yang sebelumnya menatapnya hanya sebelah mata pun akan merasa malu karena perlakuan kasar mereka selama ini.
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
Yuk ramaikan ....
Update setiap hari...
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Ngapain kamu di sini? Bukannya kamu kerja?" Henti pun heran melihat anaknya duduk santai di sofa.
Dela membuang nafas kasarnya lalu ia membenarkan posisi duduknya, lantas membuat Henti lupa dengan amarahnya tadi. Henti mendekati anak kesayangannya, ia duduk di sebelah Dela.
"Aku kesal, Mah!" bentak Dela dengan wajah kesalnya.
"Kesal kenapa?" Henti mengerutkan keningnya.
Dela menceritakan kejadian di kantornya, bahkan masalah dengan Widi pun ia jelaskan dan menuduh perbuatan Widi yang di sengaja. Padahal sudah sangat jelas itu perbuatannya sendiri. Henti terkejut dan melebarkan bola matanya, mendengar nama Widi pun sudah membuatnya muak dan marah.
"Jadi Mah, aku ngerasa Widi itu sengaja nyuruh bos pecat aku sama teman aku itu!" cemberut Dela. Menghempaskan tubuhnya di sofa, Henti pun mengepalkan kedua tangannya.
"Kurang ajar, berani-beraninya perempuan miskin itu bicara seperti itu!" ucap Henti dengan rahang mengeras.
"Mampus lu Widi. Siap-siap saja pembalasan aku, kamu pikir aku bakal diam saja!" batin Dela.
Tanpa ba bi bu lagi, Henti langsung bergegas ke rumah baru Widi. Dela pun mengekor ke mana Mamahnya pergi, ia ingin melihat reaksi wajah Dela yang akan di serang oleh mamahnya.
"Aku nggak terima anakku di pecat dari kantornya, mana jabatannya tinggi lagi. Kurang ajar si Widi berani-beraninya ia mencari masalah sehingga Dela di pecat dari kerjanya!" batin Henti. Ia mengepalkan kedua tangannya dan buru-buru pergi.
"Mau kemana, Mah?" tanya Dela bingung, ia buru-buru mengekor Mamahnya dari belakang.
Tak lama dari itu, mereka pun sudah tiba di rumah Widi. Terlihat dari jauh Wendi sedang membaca koran di kursi terasnya, baru beberapa langkah saja tiba-tiba satpam menghadang jalan mereka.
"Mohon maaf, kalian di larang masuk ke rumah ini!" tegur satpam dengan lembut dan merentangkan kedua tangannya.
"Apaan sih kamu! Minggir!" bentak Henti mendorong tubuh satpam dengan kuat, tetapi ia kalah kuat dengan tenaga laki-laki.
"Maaf, tidak bisa! Saya di tugaskan untuk melarang kalian masuk, sekarang tolong anda berdua pergi dari sini!"
"Apa kamu tahu siapa saya, ha!" bentak Henti dengan tatapan nalarnya.
"Iya saya tahu siapa Ibu, tapi dengan kedatangan Ibu ke sini itu selalu membuat keluarga non Widi sedih," jawab satpam dengan enteng.
"Mah, itu sepertinya Bapaknya Widi deh !" tunjuk Dela ke arah Wendi yang sedang duduk.
Wendi yang sedang membaca koran di teras pun terganggu dengan suara gaduh di gerbang, bahkan namanya pun di seret oleh Henti.
"Siapa sih, yang teriak-teriak di depan?" ucap Wendi sembari mencari pandang yang pas untuk melihat wajah seseorang di gerbang.
"Kok suaranya seperti pernah dengar, gak asing," Wendi pun melihat kegaduhan di gerbang dari duduknya, begitu ia jelas melihat wajah Dela betapa paniknya Wendi.
"Ngapain lagi mereka ke sini!" Wendi tidak menggubris keributan Henti dan Dela.
Wendi langsung masuk ke dalam rumah, memberi tahu pada istrinya bahwa saudaranya datang kembali.
"Bu... Ibu ...." teriak Wendi sembari melihat ke belakang tanpa melihat jalan yang ada di depannya, sehingga membuatnya tertabrak meja tamu yang berada di dapur pun tersentak kaget mendengar suaminya manggil, ia buru-buru keluar dari dapur dengan keadaan tangan yang kotor.
"Iya Pak, kenapa?" tanya Nia sembari berlari kecil dengan tangan yang penuh dengan adonan tepung.
Bruk!
"Aduh!" Wendi meringis kesakitan sembari mengelus kakinya yang tertabrak meja.
"Hati-hati dong, Pak!" Nia berdiri di depan suaminya, sembari menatap ke arah luar rumah.
"Bu, di luar sana ada kakakmu!" ucap Wendi dengan meringis sembari mengelus kakinya yang sakit.
"Kak Henti? Ngapain lagi dia ke sini, bukankah kemarin sudah diperingatkan oleh Widi?" tanya Nia heran.
"Sebentar Pak, Ibu mau cuci tangan dulu," sambung Nia buru-buru ke belakang.
Brak!
Tiba-tiba saja Henti mendobrak paksa pintu rumah Widi. Wendi yang sedang duduk pun langsung bangkit dari duduknya, bahkan Nia dari belakang buru-buru ke ruang tamu.
Satpam sudah berusaha sekuat mungkin menghalangi jalan mereka agar tidak sembarangan masuk ke dalam, tetapi mereka bersikeras untuk bertemu dengan keluarga Widi.
Hingga akhirnya terjadi pertengkaran antara kakak dan adik, hanya sebuah masalah kecil. Namun, Nia dan Wendi berusaha sabar menghadapi sifat mereka, orang tua Widi tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya.
"Lepaskan aku, jangan coba-coba berani menyentuh aku!" bentak Henti merasa jijik jika disentuh oleh satpam.
"Saya tidak akan menyentuh kalian jika kalian tidak menerobos masuk!" jawab satpam dengan tegas, Henti pun terpelongo mendengar penuturan satpam yang berani membentaknya.
"Ada apa ini?" tanya Wendi memberanikan diri menghadapi 2 manusia yang tidak ada sopan santunnya.
Henti dan Dela menoleh ke arah sumber suara tersebut, Henti menatap nalar ke arah Wendi. Ia berjalan dengan tergesa-gesa ke arah Wendi.
Brak!
"Widi! Keluar kamu," bentak Henti dengan rahang mengeras.
"Widi belum pulang kerja, ada apa? Duduk dulu kak, kita bicara baik-baik," jawab yang tetap lemah lembut menghadapi sifat kakaknya.
"Apa kamu bilang, duduk? Uh, tak sudi aku duduk di rumah kamu yang menjijikkan ini!" bentak Henti dengan melipatkan kedua tangannya di atas perutnya.
"Astagfirullah hal'azim," ucap Nia dengan lirih seraya mengelus dadanya yang merasa sesak.
"Astagfirullah hal'azim," Wendi menggelengkan kepalanya.
Pak satpam melihat sifat Henti pada tuan rumahnya pun heran, ia ikut mengelus dadanya tidak menyangka saudara Nia lebih kejam dari yang ia kira.
"Mana! Jangan sok kalian," sambung Henti dengan menendang pintu lemari hias.
Bugh!
Tak lama dari itu, Widi sudah pulang dari kerjanya. Begitu tiba di depan gerbang kendaraan kesayangan Widi di hadang oleh satpamnya.
"Tunggu nona muda," teriak satpam sembari merentangkan kedua tangannya.
Widi berhenti secara tiba-tiba dan ia membuka kaca helmnya.
"Ada apa, Pak?" tanya Widi dengan bingung.
"Itu." Satpam menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Widi menatap heran pada satpamnya.
"Anu non, gawat sekali ini non!" ucap satpam dengan panik, Widi langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah tanpa harus bertanya lagi pada satpam.
Terdengar suara kerIbutan dari luar serta pecahan barang yang dibanting, Widi pun buru-buru masuk ke dalam rumah.
"Hentikan!" teriak Widi dengan rahang mengeras serta mengepalkan kedua tangannya.
Henti yang ingin menghajar Nia pun terhenti ketika mendengar suara teriakan Widi. Dela melihat kedatangan Widi langsung menghampirinya.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat ke pipi Widi. Spontan membuat orang tua Widi ter pelongo melihat anaknya ditampar oleh Dela.
"Apa maksud kamu, Dela?" tanya Widi dengan panik.
"Harusnya aku yang bertanya, pasti kamu kan yang menyuruh Pak Akmal mecat aku!" bentak Dela dengan tatapan yang nalar ke arah Widi seraya menunjuk ke wajah Widi.
Widi mengerutkan keningnya dan ia menatap Dela dengan heran, tak lama dia langsung tersenyum seolah mengejek ucapan Dela.