Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Tamu Cowok
Puput kembali ke mejanya dengan keadaan lebih baik. Tak ada isi perut yang keluar saat berada di toilet. Baru menyadari mules yang dirasa karena efek tegang. Ia teringat pelajaran dari sang ayah saat berlatih silat. Ada cara mengalihkan rasa tegang dan takut saat menghadapi musuh atau bahaya. Meski kali ini bukan tegang karena menghadapi bahaya, tapi ilmu itu bisa diaplikasikan untuk menghalau rasa tegang. Dan berhasil.
"Pak Rama, maaf saya baru lihat hp. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Puput memilih mengirim pesan saat melihat 2 kali panggilan tak terjawab. Dan dibalas dengan cepat oleh Rama dengan panggilan telpon. Puput menjawabnya dengan berucap salam.
"Put, tolong ke ruangan saya. Coba lihat di meja ada kartu nama suplier pasir galunggung tidak?!" Rama memberi perintah usai menjawab salam Puput.
"Baik, Pak. Tunggu sebentar." Puput beranjak bangkit menuju ruang owner. Ia mematuhi perintah tegas nan serius itu dengan rasa sungkan dan malu yang bersemayam di hati. Bayangan emot yang menurutnya memalukan, masih menghantui pikiran. Sejenak meminta izin untuk memutus sambungan karena harus mengambil kunci pintu di ruangan Pak Hendra.
"Ada apa, Put?" Hendra menyambut kedatangan Puput dengan tanya.
"Mau pinjam kunci ruangannya Pak Rama, Pak. Ini ada tugas." Puput menunjuk ponsel yang dipegangnya. Yang difahami Hendra dan sigap mengeluarkan kunci dari laci.
Berada di ruangan Rama, Puput melakukan panggilan balik. Tapi malah di reject dan beralih Rama yang menelponnya.
"Pak, ada dua kartu nama. Yang mana nih?!" Puput mengamati dua kartu dengan nama perusahaan yang berbeda. Namun keduanya sama-sama suplier pasir dan batu split galunggung.
"Yang namanya Ujang Herdian, ada?!" sahut Rama dari sebrang sana.
"Ada, Pak."
"Oke Fotoin dan kirim ke saya sekarang ya, Put! Ada developer di Jakarta yang minta disuplai pasir cor 50 truk."
Puput mengangguk faham. "Baik, Pak. Ada lagi yang lainnya, Pak?!"
"Udah itu aja. Kamu, apa ada yang mau dibicarakan?" Rama balik bertanya dengan nada lebih santai tidak seserius tadi.
Puput terdiam sejenak. Mempertimbangkan apa perlu tidaknya membahas soal emot. Mengklarifikasi. Tapi mendengar suara tegas Rama apalagi di awal jam kerja yang tentunya sibuk, membuat Puput memutuskan tidak akan membahasnya. Eh tapi ingin sekali minta maaf. Dilema.
"Hallo, Puput?"
Suara Rama membuyarkan kegalauannya. Puput tersadar dari lamunan. Spontan me re mas tangan kiri yang dingin dan berkeringat. Reaksi tubuhnya yang menjadi gelisah gara-gara emot.
"Eh itu...anu, Pak. Sa-saya mau ngabarin lusa pindah rumah." Puput mendadak terbata karena perang batin. Untung ada hal lain yang memang mau disampaikan. Menghela nafas dulu sebelum menyambung ucapan. "Kan Pak Rama pernah bilang kalau mau pindah rumah harus ngabarin." sambungnya dengan suara yang mulai lancar setelah bisa menguasai keadaan.
"Wah, cepat sekali pindahnya. Mau puasa di rumah baru ya?!" Rama menggoda sambil terkekeh. Dibalas pula oleh Puput dengan terkekeh malu. Karena apa yang diucapkan Rama benar adanya.
"Jangan lupa kabari juga Enin! Kan kamu udah dianggap cucu. Enin suka marah lho kalau cucunya gak perhatian." Di sebrang sana Rama menahan senyum. Yang tentunya tidak akan terlihat. Berhasil mengerjai Puput yang terdengar mengaduh.
"Lusa ya. Insyaa Allah nanti aku paling bisa kirim hadiah aja. Aku baru bisa mudik H-7. Di pusat lagi numpuk laporan yang harus diperiksa."
"Pak, jangan! Gak usah kirim hadiah segala. Jangan ya!" Puput lebih dulu menolak. Merasa sungkan. Sudah tiga kali sejak kali pertama datang ke rumah bersama Enin, Rama selalu memberi oleh-oleh meski ditujukan untuk Ami. Tapi seisi rumah kecripatan juga memakannya.
"Kata Ami, jangan minta tapi kalau dikasih harus diterima. Sudah ya! 10 menit lagi aku mau meeting. Nanti hadiahnya lusa dikirim. Awas jangan ditolak!"
"Ah satu lagi. Lusa kamu boleh cuti sehari. Pasti bakal sibuk harus beres-beres kan?! Bilang aja sama Pak Hendra, aku yang ijinin!"
"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak." Tentu saja ini kabar baik. Ia memang harus membantu Ibu dan Aul beres-beres. Meski tidak semua furniture dibawa karena sebagian sudah ada peninggalan dari pengontrak yang menghibahkannya.
Telepon sudah terputus. Namun Puput masih termangu. Tanpa sadar ia tengah terduduk di kursi kebesarannya Rama. Mengingat percakapan barusan jika sang boss berubah memanggil diri dengan "Aku".
Ia baru ingat harus memfoto kartu nama dan mengirimkannya.
...***...
Hari ini tiba. Waktunya pindah rumah setelah dua hari berturut-turut menyewa mobil dan menyuruh dua orang buruh pria mengangkut sebagian furniture yang masih layak pakai juga perabotan. Ukuran rumah dua lantai yang lebih luas daripada rumah lama. Sudah dicat ulang seperti warna sebelumnya. Serba putih. Puput dan Zaky menempati kamar di lantai 2. Yang mana kamar Puput sebagai kamar utama dengan kamar mandi di dalam. Sementara Ibu dan Aul menempati kamar di lantai bawah. Ami tentu saja sekamar lagi dengan ibu. Selain karena tidak ada lagi kamar juga karena si bungsu ingin selalu tidur menemani ibu.
Sore ini, acara selametan usai dilaksanakan dengan mengundang tetangga baru dan tetangga lama dari Sukamaju. Sekalian memperkenalkan diri sebagai warga baru. Dengan acara dipimpin oleh Uwa Hilman, kakak dari Ibu Sekar.
Sebuah mobil berhenti di pekarangan. Puput yang tengah membereskan piring-piring bekas suguhan dan bekas air mineral, menatap ke arah pintu utama yang terbuka.
"Zaky, Ami....lanjutin beberesnya ya. Itu ada Enin datang." Puput lanjut keluar rumah untuk menyambut kedatangan Enin dan Cia.
"Maaf ya, Put. Enin telat datangnya. Tadi ada tamu dulu." ujar Enin yang berjalan dengan digandeng tangannya oleh Puput.
"Gak papa, Enin. Malah aku yang nggak nyangka Enin mau datang ke sini. Kan jadi ngerepotin Enin deh." Puput nampak meringis malu.
Enin hanya terkekeh dan menepuk-nepuk punggung Puput yang terus menggandengnya sampai masuk ke dalam rumah.
"Pakai kerudungan jadi pangling....makin cantik." Enin menatap sambil tersenyum semringah. Melihat Puput yang mengenakan gamis warna hijau greentea berpadu pashmina warna krem. Kontras dengan kulitnya yang putih.
"Makasih Enin...jadi malu hehehe." Kedua pipi Puput merona merah.
Ada Ibu dan tiga adik Puput yang menyambut juga menyalami sepuh yang masih bugar itu. Giliran Cia yang masuk belakangan dan memanggil Ami dan Zaky untuk membantu membawa oleh-oleh di mobil. Ami paling semangat berlari begitu mendengar kata oleh-oleh.
"Enin, maaf adanya kursi plastik. Belum sempat beli soalnya masih fokus beres-beres." Puput menempatkan kursi plastik di karpet. Sofa yang di rumah lama tidak dibawa karena busanya sudah tipis.
"Biar di karpet aja duduknya, gak papa kok. Hanya saja maaf duduknya selonjoran. Gak bisa lama-lama melipat lutut." Enin keukeuh menolaknya. Ia ingin duduk sama rendah dengan ibunya Puput yang sudah duduk lebih dulu di karpet.
"Bagaimana kalau langsung ke meja makan aja? Saya sudah siapkan menu spesial untuk Enin dan Cia. Kita makan bersama. Gimana?!" Ibu memberi solusi agar Enin mau duduk di kursi.
"Ah boleh-boleh....saya udah kangen pengen makan sama pepes ayam kampung dan pepes jantung pisang. Ada kan ya?!" Enin tanpa sungkan meminta sambil berjalan menuju meja makan.
"Ada dong. Kan spesial buat Enin semua menunya serba pepes tidak ada yang digoreng-goreng." Ibu ikut-ikutan memanggil Enin karena sudah familiar menjadi panggilan semua orang. Sudah mendapat informasi dari Puput jika Enin sangat apik dalam makanan. Mengurangi gorengan dan menjauhi santan dan makanan berlemak lainnya.
"Teh, ada tamu cowok yang nyari Teteh." Ami menghampiri kumpulan orang di meja makan yang masih asyik bercengkrama meski acara makan sudah usai.
"Siapa, Mi?!" Puput mengerutkan kening. Cia yang ada di samping Puput ikut penasaran menyimak. Apalagi Ami menyebut tamu itu cowok. Namun dijawab Ami dengan gelengan kepala dan berlari pergi melanjutkan main dengan teman sebayanya.