Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASIH PERSIAPAN PERNIKAHAN
Bart akhirnya pulang, tetapi ia tak dibawa ke rumahnya, melainkan rumah Leon. Pria itu dilarang keras di sana.
'Baby!" protes Bart pada Daud.
'Wuyuy sayang kan sama Daud?" tanya pria berjas sneli itu.
Bart menurut, ia kini menatap para bayi yang juga menatapnya.
'Babies ... kalian liat apa?" sengitnya.
"Woh, tamih suma pihatin laja. Beumana Wuyuy dat lada yan pilobolin?' jawab Khadijah sekaligus bertanya.
"Tidak ada!" jawab Bart ketus.
"Wuyuy, banti Onty Zaa ...."
"Ah ... kalian pengadu!" dumal Bart.
Para bayi akhirnya bermain, mereka menyusun balok-balok jadi jembatan.
'Pita banun pembot Shina!" seru Ali semangat.
"China Baby," ralat Exel.
"Wiya, Shina!" angguk Ali yakin benar ucapannya.
"Apah ... Apah ...soba selitatan teunapa lada pembot Shina?" tanya Umar penasaran.
"Apa?" tanya Exel kaget.
"Ah .. Apah janan pilan tamih peulum poleh pahu!' sengit Umar.
"Papa kurang tau cerita detilnya. Tetapi, tembok itu dibangun untuk memisahkan diri dengan bangsa Mongol!" jawab Exel.
"Bansa nongol?" tanya Mala dengan mata besar.
"Mongol Baby, bukan nongol!" ujar Exel meralat ucapan Mala.
"Bansa Pa'a ipu?" tanya Hamzah ingin tau.
'Nah itu yang Papa nggak pelajari!" jawab Exel lalu ia menatap Bart.
"Apa lihat-lihat anak sialan!" semprotnya marah.
"Wah ... Apah Pecel sadhi nanat sisilan palu!" seru semua bayi bertepuk tangan.
"Wuyuy, basa pidat pahu selita Bansa nongol eh pa'a padhi?" tanya Jamila.
"Bangsa Mongol," jawab Handayani.
Semua bayi dan para pengawal menatap Bart. Pria itu mendumal, berusaha mengingat kisah berdirinya tembok besar China.
Bart menatap balok-balok yang kini tersusun seperti tembok kecil. Tangannya gemetar sedikit, tapi matanya mulai berbinar.
“Jadi kalian mau tahu tembok yang mirip beginian, ya?” katanya seraya menunjuk jembatan balok karya bayi-bayi kecil itu.
"Wiya!" jawab semua bayi kompak.
"Baiklah, jadi begini ceritanya .... Jaman dulu kala ..." Bart menceritakan kisah penuh darah dan airmata itu.
“Baiklah… dulu, sekitar dua ratus tahun sebelum Masehi, seorang Kaisar bernama Qin Shi Huang membangun tembok tinggi dan panjang. Namanya Tembok Besar Tiongkok.”
“Tembok itu dibangun bukan buat gaya-gayaan. Tapi buat melindungi rakyatnya dari serangan bangsa Mongol dan suku-suku dari padang rumput. Mereka menyerang dari utara, jadi Kaisar ingin negaranya aman.” lanjutnya lagi.
Semua diam menyimak dan akhirnya berhenti karena makan siang sudah siap. Anak-anak sekolah juga sudah pulang semuanya.
"Ayo sholat!" ajak Daud lalu semua pergi ke mushola usai makan siang.
Usai sholat mereka tidur siang, Daud tidak pergi ke rumah sakit. Ia di rumah menjaga kesehatan buyutnya. Memeriksa nadi dan tekanan darah. Ia tersenyum setelah melihat hasilnya jauh lebih baik.
"Alhamdulillah, semua bagus!' ujarnya.
Bart sudah tertidur lelap, ternyata bercerita membuat ia cepat lelah. Daud mencium pelipis buyutnya itu.
"Sehat-sehat ya, Wuyuy. Ba bowu!" bisiknya pelan.
Lalu dengan perlahan menutup pintu. Terra dan Khasya di depan menatapnya penuh kekhawatiran.
"Bagaimana, Baby?" tanya Khasya.
"Alhamdulillah, semua baik dan terkontrol, Mama, Bunda," jawab Daud melegakan semuanya.
Di kediaman Bart, hunian itu sudah selesai didekorasi. Bunga mawar dan melati jadi hiasan dipadu dengan manik-manik berkilau emas, perak dan kristal. Semua sesuai keinginan Bart.
'Kita akan berangkat dari rumah ke hotel sebelum subuh ...."
"Aku cuma bingung, Boy. Untuk apa rumah ini didekorasi jika pesta resepsi di hotel?" tanya Leon menatap ruangan indah itu.
"Entah lah, kan maunya Grandpa," jawab Virgou lelah.
Sementara itu, di kediaman Bart yang asli—rumah besar penuh kenangan—suasana justru sibuk.
Bunga mawar dan melati memenuhi ruangan, berpadu manik-manik berkilau emas, perak, dan kristal. Semua sesuai keinginan Bart sendiri.
“Kita akan berangkat dari rumah ke hotel sebelum subuh,” ujar salah satu asisten sambil memeriksa daftar dekorasi.
“Aku cuma bingung, Boy,” kata Leon menatap ruangan megah itu. “Untuk apa rumah ini didekorasi kalau pestanya di hotel?”
Virgou menghela napas panjang. “Entahlah, maunya Grandpa. Katanya rumah ini harus ikut bahagia.”
Di hotel, persiapan hampir rampung. Kebaya putih bertabur kristal Swarovski tergantung anggun di gantungan, sementara beskap hitam dengan list batik Mega Mendung tampak gagah di sampingnya.
Namun suasana tak sepenuhnya damai.
Telepon Herman berdering keras, suara abdi dalem dari Yogyakarta terdengar tegas di seberang.
“Tapi Gusti Raden, kita harus laksanakan adat agar tak hilang ditelan zaman!”
“Waktu terlalu sempit,” jawab Herman tenang tapi tegas. “Bart ingin pernikahan kilat. Kami menghormatinya.”
“Pihak istana tidak bisa menghapus seluruh adat, Raden,” desak suara itu. “Ini bukan sekadar pesta, tapi warisan.”
Herman terdiam. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah Bart yang kini menua tapi matanya masih berkilat setiap bicara soal cinta, tentang keluarga, dan tentang pulang.
“Mungkin adat bisa menunggu. Tapi waktu... tidak,” ucapnya pelan.
Tetapi ketika Bart tau jika pihak kerajaan ingin mengadakan adat. Ia langsung antusias.
"Dad ... Dekorasi ini bagaimana?" tanya Virgou putus asa.
"Loh, yang suruh kalian cepat siapa?" tanya Bart tak mau disalahkan.
"Daddy!" protes Leon dan Frans.
Bart acuh, Daud jadi tameng pria itu. Herman pun setuju akan mengadakan tradisi yang nyaris ia tinggalkan karena banyaknya kesibukan.
"Kita berangkat hari Minggu, batalkan semua pesanan!" sungut Virgou kesal.
Bart sudah meminta Rasya dan Rasyid menyusun baju-bajunya di koper. Walau dua pemuda itu sudah jadi CEO mereka tetap mendapat imbalan dari Bart.
"Ayo kita rubuhkan keraton Jogjakarta dengan semua keturunan kita!' serunya antusias.
"Wayo ... Pesgo!" seru semua bayi ikut senang karena akhirnya mereka jalan-jalan.
Dimas dan Seroja hanya mengikuti kemauan pria paling tua di sana.
Bersambung
Ah ...
Next?
keren banget meski msh kicik
salut.....
tegang eh di gantung