Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Jantung yang Tertusuk Jarum Gaib
Jangan sentuh jarum itu, Aris... jika kamu mencabutnya, maka seluruh desa ini akan musnah tertelan bumi. Suara parau itu menggema di ruangan bawah tanah yang pengap, memantul di antara tumpukan tulang yang berserakan. Aris Mardian menoleh dengan napas memburu, mendapati sosok lelaki tua dengan jenggot putih yang menjuntai hingga ke pusar sedang berdiri di kegelapan sudut ruangan.
"Siapa kamu? Sekar sedang sekarat dan kamu menyuruhku untuk diam saja melihatnya menderita?" teriak Aris sambil menggenggam tangan Sekar yang mulai mendingin.
"Aku adalah saksi dari sumpah yang tidak pernah selesai, dan jarum di dada gadismu itu adalah pasak bagi kemarahan bumi Sukomati," jawab lelaki tua itu tenang.
Aris menatap jarum perak raksasa yang menembus dada Sekar Wangi dengan perasaan hancur yang luar biasa. Cahaya korek api yang mulai meredup memperlihatkan bagaimana darah Sekar tidak mengalir ke lantai, melainkan merayap naik mengikuti ukiran pada permukaan jarum.
Jarum itu bergetar hebat, mengeluarkan bunyi berdenging yang frekuensinya membuat telinga Aris mulai mengeluarkan darah segar.
"Aris... sakit... tolong cabut... aku tidak kuat lagi..." rintih Sekar dengan kelopak mata yang mulai memutih.
"Bertahanlah, Sekar! Aku akan mencari cara tanpa harus menghancurkan desa ini!" balas Aris sambil mencoba menghentikan getaran jarum itu.
Lelaki tua itu melangkah maju, memperlihatkan kakinya yang ternyata tidak menapak pada tumpukan tulang, melainkan melayang tipis di atas udara. Ia membawa sebuah gulungan kain mori tua yang dipenuhi oleh tulisan mantra berwarna merah marun yang sangat pekat.
Sebagai seorang perancang bangunan, Aris menyadari bahwa letak meja batu tempat Sekar berbaring adalah titik pusat beban dari seluruh struktur bawah tanah desa ini.
"Jika pasak ini dicabut tanpa pengganti, maka ruang hampa di bawah kita akan meledak dan menarik seluruh bangunan ke dalam perut bumi!" seru lelaki tua itu.
"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkan Sekar menjadi tumbal abadi di sini!" raung Aris dengan amarah yang memuncak.
Lelaki tua itu menunjuk ke arah lengan Aris, di mana garis hitam di bawah kulitnya kini menyala dengan warna ungu yang sangat pekat. Ia menjelaskan bahwa darah Aris memiliki kemampuan untuk mengikat kembali struktur yang retak, karena Aris adalah keturunan sang arsitek pertama desa.
Aris harus memindahkan beban kutukan itu dari jantung Sekar ke dalam garis hitam di lengannya sendiri menggunakan teknik jahitan sukma.
"Gunakan pisau bedah gadismu itu, gores garis hitammu dan tempelkan pada pangkal jarum!" perintah sang lelaki tua dengan nada mendesak.
"Aris, jangan... itu akan membunuhmu... biarkan aku saja yang pergi..." bisik Sekar sambil mencoba menepis tangan Aris.
Aris tidak menghiraukan peringatan Sekar, ia segera mengambil pisau bedah yang terjatuh di samping meja batu dengan gerakan cepat. Ia mengiris telapak tangannya sendiri tepat di atas garis hitam yang berdenyut, membiarkan darah kentalnya membasahi logam jarum perak yang panas.
Seketika, getaran jarum itu berpindah ke tubuh Aris, membuat tulang-tulang di sekujur tubuhnya terasa seperti sedang dipatahkan secara paksa.
"Pindahkan energinya melalui napasmu, Aris! Jangan biarkan jantungmu berhenti berdetak!" teriak lelaki tua itu sambil membacakan mantra dari gulungan kainnya.
Aris merasakan panas yang luar biasa merambat dari jarum menuju nadinya, membakar setiap jengkal pembuluh darah yang dilewati oleh kekuatan gaib tersebut. Sekar Wangi tersedak hebat saat jarum itu mulai melunak dan berubah menjadi cairan perak yang terserap masuk ke dalam luka di telapak tangan Aris.
Wajah Sekar perlahan kembali merona, meskipun lubang di dadanya masih mengeluarkan asap tipis yang berbau melati terbakar.
"Aris! Kamu melakukannya... tapi lihat lenganmu!" seru Sekar sambil berusaha duduk dengan sisa kekuatannya.
Lengan Aris kini dipenuhi oleh pola jahitan permanen yang tampak seperti timbul di atas permukaan kulitnya, membentuk sebuah denah yang sangat rumit. Aris terjatuh lemas, matanya berkunang-kunang karena kehilangan banyak energi hidup dalam waktu yang sangat singkat.
Lelaki tua itu menghilang bersamaan dengan padamnya cahaya korek api, meninggalkan aroma kapur barus yang sangat tajam di udara.
"Kita harus segera keluar dari sini, Aris, sebelum para pemuja kain tanpa wajah menemukan tempat ini!" ajak Sekar sambil membalut luka Aris.
"Aku tidak bisa merasakan tanganku, Sekar... rasanya seperti ribuan jarum masih menusuk di dalam sana," jawab Aris dengan suara yang sangat lemah.
Sekar memapah Aris menyusuri lorong tulang yang kini mulai runtuh karena pasak utamanya telah berpindah tempat ke tubuh Aris. Mereka merangkak keluar melalui celah di bawah akar jati yang tadi mereka lewati, namun pemandangan di luar sudah berubah total.
Hutan jati itu kini dipenuhi oleh kabut merah yang sangat tebal, dan suara seruling tulang mulai terdengar bersahut-sahut dari segala arah.
"Mereka sedang memanggil penguasa bawah tanah, Aris! Pasak yang kamu ambil telah membangunkan sesuatu yang jauh lebih besar!" bisik Sekar dengan penuh kengerian.
"Ke mana pun kita pergi, mereka akan tahu posisi kita karena detak jantungku sekarang terhubung dengan tanah ini," sahut Aris sambil menatap lengannya yang berpijar.
Tiba-tiba, permukaan tanah di depan mereka mulai terangkat dan mengeluarkan gelembung-gelembung air keruh yang sangat panas. Dari dalam air tersebut, muncul sebuah wajah yang sangat besar, terbuat dari jalinan rambut manusia yang panjang dan terus bergerak-gerak liar.
Aris menyadari bahwa ini adalah bentuk nyata dari kutukan yang selama ini ia pelajari melalui denah-denah kuno keluarganya.
"Itu adalah Penglihatan di Dalam Air Keruh... kita harus menyeberangi rawa ini sekarang juga!" perintah Aris sambil menyeret langkahnya.
"Tapi Aris, air itu mendidih! Kita akan matang sebelum sampai ke seberang!" protes Sekar sambil menahan langkah.
Aris menempelkan telapak tangannya yang terluka ke permukaan air yang panas, dan seketika air itu membeku menjadi es hitam yang sangat kokoh. Ia menyadari bahwa pola jahitan di lengannya kini memberinya kekuatan untuk mengendalikan struktur alam di sekitar Desa Sukomati.
Namun, setiap kali ia menggunakan kekuatan itu, Aris merasakan sebagian dari jiwanya seolah-olah ditarik paksa untuk masuk ke dalam kegelapan.
"Lari, Sekar! Jangan biarkan es ini mencair sebelum kamu sampai di tanah yang kering!" teriak Aris sambil menahan rasa sakit di dadanya.
Mereka berlari di atas es hitam yang licin, sementara wajah rambut di bawah mereka terus mengikuti dengan mulut yang terbuka lebar siap memangsa. Saat mereka hampir mencapai tepi, sebuah tangan dari air keruh itu berhasil menangkap pergelangan kaki Sekar dan menariknya dengan sangat kuat.
Sekar menjerit, tubuhnya terseret ke dalam air yang mulai mencair kembali karena energi Aris yang melemah.
"Aris! Tolong aku! Airnya mulai masuk ke dalam paru-paruku!" teriak Sekar yang mulai tenggelam di dalam pusaran air keruh.