Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 02 - Kompensasi
"Eungh ...."
Suara lirih itu lolos dari bibir Aruni, seiring kesadarannya yang perlahan kembali. Kelopak matanya terasa berat seolah ada beban yang menahannya untuk terbuka.
Dengan susah payah, dia mencoba mengangkat tubuhnya dari pembaringan, namun gagal. Kepalanya berdenyut hebat, seperti baru saja tertimpa palu besar.
Setelah beberapa detik berjuang menenangkan diri, dia berhasil membuka matanya dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing.
Pandangannya menyapu pelan ke seluruh penjuru kamar. Dindingnya bersih, berwarna putih tulang, tanpa hiasan apa pun. Tak ada lukisan, tak ada gantungan, bahkan tidak ada aroma khas pengharum ruangan yang biasa ia gunakan. Kamar itu terlalu rapi, terlalu dingin, dan terlalu sunyi, jauh berbeda dengan kamarnya.
Aruni mengerutkan kening. Keningnya kini ia pijat pelan, berusaha mengusir sisa pusing yang belum juga reda.
Dia menoleh ke sisi kanan, sekadar ingin memastikan keberadaan seseorang, atau mungkin mencari jawaban atas apa yang terjadi. Namun apa yang dilihatnya justru membuat matanya membulat sempurna.
Seorang pria tidur membelakanginya. Punggungnya bidang, kokoh, dengan guratan otot yang tergambar jelas oleh cahaya pagi yang menerobos dari sela tirai.
Namun yang paling mencolok adalah tato bintang kecil di sisi kanan lehernya. Tanda itu membuat Aruni tercekat. Dia mengenali tato itu, dah karena itu tubuhnya bereaksi spontan dengan rasa takut.
Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Keringat dingin merembes di pelipisnya meski udara di kamar begitu sejuk.
Dengan gerakan sangat hati-hati, dia menggeser selimut yang menutupi tubuhnya, dan seketika darahnya serasa berhenti mengalir.
"Ya Tuhan?"
Tubuhnya polos, tak ada sehelai benang pun menempel di kulitnya.
Selimut tebal berwarna putih menjadi satu-satunya penghalang antara tubuhnya dan dunia luar.
Napas gadis itu tercekat, dan tenggorokannya kering. Untuk beberapa detik, dia merasa seperti akan pingsan. "Tidak, ini tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"
Pikiran buruk menjalari benaknya dengan liar. Dia menatap punggung pria itu sekali lagi, penuh tanda tanya, panik, dan rasa takut yang bergemuruh dalam dada.
"Rajendra?" Nama itu lolos seketika, Aruni ingat betul karena bukan sekali dua kali dia melihat seseorang dengan ciri khas yang sangat mudah dikenali itu.
Selang beberapa saat, yang punya nama seolah berbalik dan benar saja, dugaan Aruni benar. Pria di sampingnya adalah Rajendra, presiden mahasiswa yang dijuluki sebagai donatur kampus oleh beberapa karena tak kunjung lulus juga.
Bukan itu masalahnya, status Rajendra di kampus sama sekali tidak penting. Akan tetapi, yang jadi masalah dan cukup dianggap miris ialah, Rajendra adalah calon adik iparnya.
Ya, fakta itu membuat Aruni bergetar hebat. Dia bingung sampai tidak bisa berpikir jernih tentang apa yang harus dia lakukan.
Haruskah menghindar perlahan dan pura-pura tidak terjadi apapun nantinya? Atau, perlukan klarifikasi tentang apa yang terjadi semalam?
Dua-duanya sama sekali bukan pilihan, tapi Aruni masih berusaha mempertimbangkan. Kelamaan berpikir, sebelum keputusan berhasil dia ambil mata tajam Rajendra sudah lebih dulu terjaga.
Beberapa saat terdiam, dia juga tampak kebingungan dan sontak menyingkap selimut seolah memastikan keadaannya juga.
Begitu dia mendapati keadaannya, Rajendra menggigit bibir dan mengacak rambutnya. "A-apa yang terjadi? Kamu kenapa bisa di sini?"
"Harusnya aku yang bertanya, apa yang terjadi dan kenapa kamu bisa bersamaku di sini? Hah?" Sembari menahan selimut yang membalut tubuhnya agar tidak jatuh, Aruni melayangkan tatapan tajam disertai pertanyaan beruntun dengan suara gemetarnya.
Bahkan, mata Aruni berkaca-kaca dan berusaha menjaga jarak dari Rajendra.
"Aku, aku tidak bisa mengingat apapun, Aruni cuma ...." Dia tak melanjutkan perkataannya, tapi dari permulaan yang dia utarakan sudah cukup jelas ke mana arahnya.
"Cuma apa? Jangan setengah-setengah aku butuh kejelasannya!!" Suara Aruni meninggi, dan ini adalah kali pertama dia berani berucap tanpa menjaga sikap di hadapan pria itu.
Selama ini, di kampus dia harus menjaga sikap karena kedudukan Rajendra memang cukup di segani.
Sementara beberapa bulan terakhir, dia baru mengetahui fakta bahwa Rajendra adalah adik kandung calon suaminya. Jelas saja mereka harus bersikap layaknya keluarga dekat walau cukup sulit bagi Aruni sebenarnya.
.
.
"Aku tidak tahu ... aku butuh waktu untuk mengingatnya dan ... aku siap memberikan kompensasi atas-"
PLAK!!
Tamparan keras itu menggema di ruangan. Suara telapak tangan yang membentur pipi laki-laki itu terdengar begitu nyaring, menusuk keheningan pagi yang menyesakkan.
"Tutup mulutmu, Rajendra!!" seru Aruni dengan suara bergetar penuh amarah dan jijik.
Wajah pria itu tersentak ke samping. Bekas telapak tangan Aruni langsung tampak jelas di pipinya, merah, panas, menyala. Tapi yang membuat Aruni makin muak adalah betapa datarnya ekspresi Rajendra. Seolah tamparan itu hanyalah hembusan angin yang tak berarti.
Aruni menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kemarahan yang mendidih di setiap inci tubuhnya. Matanya berkaca-kaca, bukan oleh rasa takut, tapi oleh rasa hina. Perasaan tercabik, diinjak-injak, dilukai tanpa bisa membela diri.
Dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kompensasi? Apa dia pikir harga dirinya bisa dibayar dengan uang?
Beberapa detik hening. Lalu pria itu menatap balik, dan di wajahnya tergambar sesuatu yang bahkan lebih menusuk dari perkataannya, ketenangan yang dingin, kosong.
"Lalu apa?" tanya Rajendra pelan, nada suaranya datar, tanpa rasa bersalah. "Kamu berharap apa selain kompensasi? Pernikahan?"
"Dasar badjingan!!" Aruni berteriak sekencang-kencangnya, sampai suaranya serak dan napasnya terputus-putus.
Tangannya mengepal kuat-kuat, kukunya sampai menusuk ke telapak tangannya sendiri. Tak peduli lagi dengan tubuhnya yang hanya dilindungi selimut, Aruni menerjang Rajendra seperti singa yang terluka parah, liar, marah, dan dipenuhi rasa tak berdaya yang menyesakkan.
Aruni memukul dadanya, mencakar bahu dan menampar wajahnya berulang kali. Tangisnya pecah di tengah amarah yang menggelegak, membuat tiap serangannya seolah bertenaga dari dalam luka yang tak kasat mata.
Rajendra sempat tak melakukan perlawanan. Dia hanya diam, menerima hujan pukulan dan cakaran itu dalam diam. Tapi saat Aruni tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, ia mulai geram.
Dia mengangkat tangannya, lalu menggenggam pergelangan Aruni dengan kasar, menahan gerakan wanita itu dengan paksa.
"Cukup!" bentaknya, kemudian mendorong tubuh Aruni kembali ke tempat tidur.
Aruni berontak, menjerit, meronta sekuat tenaga, tapi Rajendra terlalu kuat. Dia menahan kedua tangan Aruni dan menguncinya di atas kepala, membuat gadis itu tak bisa bergerak.
"Jangan berlagak sebagai korban sendirian, bisa jadi kita sama-sama korban di sini."
"Se-tan!! Jangan berusaha cuci tangan, pasti semua ini kamu yang merencanakan!!"
"Cih, kamu kira aku akan tertarik sama cewek style kampungan sepertimu? Hah?"
Diam, tidak ada tanggapan dari Aruni. Keduanya hanya beradu pandang dengan menyimpan sejuta kebencian di dalamnya.
"Dengar ya, aku sudah cukup baik dengan menawarkan kompensasi ataupun pernikahan kita memang dibutuhkan, tapi sikapmu justru begini dan membuatku sepertinya berubah pikiran."
"Baik kamu bilang? Dengar!! Aku masuk ke sini, dalam keadaan semua terasa gelap dan aku kehilangan kesadaran ... esok harinya, aku bangun dalam keadaan sehina ini bersamamu, coba jelaskan di mana letak kebaikanmu, Rajen-"
Brak!!
Belum selesai Aruni menuntaskan pertanyaannya, suara pintu dibuka secara paksa terdengar seketika.
Beberapa saat setelahnya, suara berat dari seorang pria bertubuh tegap dan rahang tegas itu juga turut menyelinap di indra pendengaran Aruni.
"Oh, jadi ini bridal shower yang kamu maksud, Aruni?"
.
.
- To Be Continued -