Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
"Aku kecewa karena suamiku sendiri berniat menjandakan aku demi membahagiakan wanita lain."
Pelangi Faranisa, seorang gadis taat agama yang dijodohkan dengan pria brutal. Di malam resepsi pernikahan, ia dipermalukan oleh suaminya sendiri yang pergi tanpa permisi dan lebih memilih mabuk-mabukan.
Pemberontak, pembangkang, pembuat onar dan pemabuk berat. Itulah gambaran sosok Awan Wisnu Dewanto.
"Kamu tidak usah terlalu percaya diri! Aku tidak akan pernah tertarik denganmu, meskipun kamu tidak memakai apa-apa di hadapanku!" ~ Awan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyusul
“Ini ya rumahnya?”
Mobil milik Awan berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Beberapa kali Awan melirik ponsel demi memastikan tidak mendatangi alamat yang salah. Pandangannya berkeliling ke sekitar, rumah orangtua Pelangi berlokasi di sebuah perumahan yang cukup padat dengan dinding menyatu antara rumah satu dengan rumah lainnya.
Awan pun melihat kondisi jalan. Ia yakin mobil lain tak akan muat untuk melintas, karena ukuran gang yang cukup sempit membuat mobil besarnya memakan lebih dari separuh badan jalan. Alhasil, Awan harus memarkir mobil di sebuah lahan kosong tak jauh dari rumah sang mertua dan berjalan kaki untuk pulang.
Sepanjang menuju rumah, Awan harus merasa risih dengan tatapan beberapa tetangga yang mengarah kepadanya. Pernikahan Pelangi memang sempat menjadi bahan perbincangan hangat para tetangga setelah dikabarkan ditinggal sang suami di malam resepsi.
Pria itu mengetuk pintu rumah dan menunggu beberapa saat, hingga terbuka. Diikuti dengan kemunculan Zidan di sana. Awan dapat melihat sepasang mata hitam Zidan menyiratkan ketidaksukaan sesaat setelah membuka pintu.
“Assalamu’alaikum,” ucap Zidan setelah hampir satu menit menunggu kakak iparnya yang tak kunjung memberi salam.
Awan tersadar. “Wa’alaikumsalam.”
Pandangannya langsung menerobos masuk melalui celah yang tersisa dari tubuh Zidan yang berdiri kokoh di ambang pintu, untuk mencari keberadaan istrinya.
“Kak Pelangi di dalam.”
Awan melirik Zidan dengan kedua alis yang saling bertaut.
Gue juga tahu, makanya gue ke sini!
Zidan menggeser tubuhnya demi mempersilahkan sang kakak ipar untuk masuk ke rumah. Wajahnya yang datar tanpa senyuman benar-benar disadari oleh Awan.
“Siapa yang datang, Nak?” tanya Ayah Ahmad yang tengah duduk di ruang keluarga bersama Ibu Humairah.
“Mantu Ayah!”
Dahi Ayah Ahmad sempat berkerut mendengar nada bicara putranya yang tak biasa. Namun mengetahui siapa yang datang tentu membuatnya senang. Ini adalah pertama kali Awan berkunjung ke rumahnya.
Senyum terulas tipis di bibir Awan kala tatapannya tertuju kepada seorang pria paruh baya dengan sarung dan peci yang langsung berdiri menyambut kedatangannya. Awan menyalami kedua mertua dan mencium punggung tangan.
“Assalamu’alaikum, Ayah ... Ibu!”
“Wa’alaikumsalam, Nak,” balas Ayah Ahmad dengan menepuk bahu menantunya.
Jika Zidan menyambut Awan dengan ketus, lain halnya dengan Ayah Ahmad dan Ibu Humairah. Awan sempat mengira Ayah Ahmad atau pun Ibu Humairah akan menegur atau bahkan memarahinya.
Kelakuan tidak sopannya yang menghilang di resepsi pernikahan, selain itu Zidan mungkin sudah mengadukan dirinya yang merupakan seorang pemabuk. Tetapi, jauh di luar perkiraan, mereka malah bersikap sangat ramah dan begitu hangat.
Hampir sepuluh menit Awan duduk menemani sang mertua mengobrol, namun Pelangi tak kunjung terlihat.
“Ibu, Pelangi mana, ya?” Akhirnya Awan memberanikan diri bertanya.
“Pelangi di dapur, Nak. Sedang membuat minuman.”
Belum satu menit Awan menanyakan keberadaan istrinya, Pelangi sudah muncul dari arah dapur dengan membawa nampan di tangannya. Secangkir teh ia geser ke hadapan sang suami. Keduanya saling tatap satu sama lain dan kemudian sama-sama menunduk malu. Layaknya sepasang kekasih yang baru bertemu.
“Diminum, Nak Awan. Jangan malu-malu. Ini kan rumah kamu juga.”
“Iya, Bu.”
Pelangi kemudian duduk di samping ibu, membuat sang ibu mengusap bahu putrinya. “Nak, suami kamu kan ada di sini, kamu duduk di sampingnya dan layani dia!”
Pelangi menunduk malu. Meskipun Awan adalah suaminya, namun belum pernah sebelumnya ia terlihat dekat dengan laki-laki lain di hadapan keluarganya. Pelangi pun duduk di sisi Awan. Memotong kue brownies dan menggeser ke hadapan suaminya.
“Diminum, Mas!” ucapnya sedikit gugup.
“Itu kue, Kak! Masa’ diminum,” celetuk Zidan.
Awan pasti sudah menyemburkan tawa jika tidak sedang dalam posisi terintimidasi oleh Zidan. Sikap malu-malu Pelangi terasa sangat lucu dan menggemaskan.
Satu hal yang Awan temukan dalam keluarga istrinya yang hampir tak pernah ia lihat di dalam keluarganya, kasih sayang di antara mereka terlihat begitu nyata dan tulus satu sama lain. Mereka saling memberi bahagia dalam kesederhanaan. Awan tak lagi heran jika Pelangi memiliki sikap dan hati yang sangat lembut.
..........
Sudah masuk waktu shalat Isya. Semua sedang bersiap. Di rumah sederhana itu ada sebuah ruangan kecil yang dijadikan mushola agar mereka dapat shalat berjamaah. Ibu Humairah dan Pelangi sudah menggunakan mukenah duduk di bagian belakang. Sementara Ayah Ahmad lebih dulu berada di shaf terdepan. Hanya Awan dan Zidan yang belum tampak di sana.
Awan masih mematung di tempat wudhu dengan celana bahan sudah digulung hingga lutut, dan ujung kemeja terlipat hingga batas sikut. Ia sedang berusaha mengingat urutan wudhu mulai dari mencuci tangan hingga kaki. Awan bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya melakukannya.
Zidan berdecak dalam hati melihat kakak iparnya.
Kasihan Kak Pelangi. Laki-laki yang menjadi imam dalam kehidupannya bahkan lupa cara wudhu.
Zidan maju dan berdiri di samping Awan.
“Ada sebuah kisah tentang orang yang tidak pernah shalat. Suatu hari dia ke masjid. Shaf-nya paling depan, lebih depan daripada imam. Kenapa? Karena dia datang ke masjid untuk pertama kalinya bukan untuk shalat, tapi sebagai jenazah yang akan dishalatkan. Hidup di dunia itu singkat, hanya antara menunggu waktu shalat dan menunggu waktu dishalatkan."
Awan terdiam.
"Kak Awan sudah berapa lama tidak shalat sampai lupa cara wudhu? Jangan hanya menunggu waktu dishalatkan.”
Awan menyipitkan matanya.
“Lo nyumpahin gue mati?” gerutu Awan dalam hati.
***