Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang
5 hari berlalu, Inaya yang menunggu kepulangan suaminya mulai tidak tenang. Ia berusaha tetap optimis, mungkin saja tertunda karena badai. Hingga dirinya tidak fokus dalam pekerjaannya.
Angka-angka yang ia masukkan ke dalam komputer tidak sesuai hingga menyebabkan dirinya di tegur Suhar yang mengecek laporannya.
“Apa kamu ada masalah di rumah?” tanya Suhar yang baru kali ini melihat Inaya tidak fokus dalam pekerjaannya.
“Maafkan saya, Pak. Saya akan segera memperbaikinya.”
“Baiklah! Jika kamu ada masalah, tolong jangan bawa kemari agar tidak mengganggu kinerjamu.”
“Baik, Pak.” Inaya keluar dari ruangan Suhar dengan wajah lesu.
Amelia tidak berani menyapa Inaya karena beberapa hari ini ia sering melihat Inaya melamun.
Inaya memperbaiki kesalahannya dengan mengulang semua data yang telah ia masukkan. Saat jam makan siang, ia bahkan tidak keluar untuk makan siang dengan tetap berkutat di mejanya. Ia hanya meminum susu hamilnya untuk mengisi perut.
Ketika jam pulang, Inaya mencoba menghubungi Yanuar untuk mencari tahu kabar kapal suaminya, tetapi Yanuar mengatakan jika dirinya juga belum mendapatkan kabar.
Tepat 3 hari kemudian, saat Inaya baru saja pulang dari kerja. Rumah kedua mertuanya terlihat ramai. Beberapa di sana, Inaya mengenalinya sebagai keluarga dari mertuanya dan ada pula Nenek Weko, sedangkan yang lain ia tidak mengenalnya.
Setelah memarkir motornya di depan teras, Inaya hendak mendekat ke rumah sang mertua tetapi ia justru mendengar suara lantang sang Nenek.
“Semuanya gara-gara Weko nekatmenikahi Inaya! Kalau saja ia tidak memaksakan pernikahannya, semua ini tidak akan terjadi!”
“Weko dan Inaya tidak salah, Bu.” Suara Harto terdengar bergetar.
“Iya, Bu. Ini musibah.”
“Musibah apa, Bu?” tanya Inaya yang sudah ada di hadapan mereka semua.
Ibu Sintya segera mendekati Inaya dan memeluknya. Beliau yang menangis, tidak dapat berbicara ataupun mengatakan apa yang terjadi kepada Inaya. Bapak Sintya ikut mendekat dan mengusap Pundak Inaya.
“Kuatkan hatimu, Nak. Weko dinyatakan hilang 3 hari yang lalu dan sampai sekarang belum ditemukan.” Kata Bapak Sintya dengan suara tertahan.
“Mas, hilang?” suara Inaya tercekat.
Ia merasakan nyeri di perutnya dan pandangannya mulai kabur. Semua orang dikejutkan dengan Inaya yang pingsan. Segera mereka mengangkat tubuh Inaya dan membawanya masuk ke dalam kamar Ita.
Mida dan Ibu Sintya menjaga Inaya di dalam kamar sedangkan yang lain masih berkumpul di depan rumah. Nenek Weko bahkan tidak merasa simpati dengan keadaan Inaya karena masih merasa ini adalah salah pernikahan mereka.
“Bu, jangan berkata seperti itu lagi. Inaya tidak salah, begitu juga dengan pernikahan mereka.” Harto mencoba membujuk sang ibu.
“Kamu mungkin tidak tahu karena kamu tidak pernah mendengarkan ibu! Pernikahan mereka itu dipaksakan saat keadaannya merugikan Weko! Jika saja mereka tidak buru-buru menikah dan menunggu tanggal baik untuk mereka, semuanya tidak akan seperti ini!”
“Ini semua musibah, Bu. Tidak ada sangkut pautnya dengan perhitungan tanggal mereka.”
“Asal kamu tahu! Mereka menikah di Jum’at Pahing dan Weko juga hilang di hari itu!”
“Bu, perhitungan itu hanya mitos.”
“Kamu jangan membelanya! Jangan kira aku tidak tahu kalau mereka telah “kumpul kebo” sebelum menikah, makanya Inaya hamil duluan!” semua orang terkejut dengan ucapan Nenek Weko.
“Itu tidak benar, Bu!” Harto meninggikan suaranya.
“Benar, Bu. Inaya dan Weko tidak pernah melakukannya. Mereka murni menikah dan Hamil juga karena Inaya halangan saat pernikahan mereka.” Bela Bapak Sintya.
“Kenapa kalian membelanya? Apa kalian tidak menganggapku sebagai Ibu?”
Baik Harto ataupun Bapak Sintya hanya bisa diam. Mereka tahu jika mereka menjawab, sang ibu akan semakin murka.
“Salahku yang mencurigainya, Bu. Weko sendiri yang mengatakannya, kalau mereka melakukannya setelah resmi suami istri. Bahkan mereka saja tidak pernah berpegangan tangan saat mereka belum menikah.” Mida yang tidak tahan, keluar dari kamar dan bersuara.
“Apa kamu yakin Weko tidak melindungi istrinya? Kalian tahu sendiri, sejak menikah, Weko tidak lagi dirinya yang bebas.”
“Weko berubah menjadi lebih baik, Bu.” Mida masih berusaha membela.
“Lebih baik? Nyatanya, Weko harus menanggung musibah karena pernikahan yang dipaksakan!”
Semua orang terdiam. Mereka tidak bisa lagi membantah sang ibu jika pembahasannya adalah perhitungan. Selama ini mereka mengabaikan perhitungan kolot itu karena hal ini. Tetapi keluarga Inaya yang masih kolot justru menggunakannya, sehingga ibu mereka bersikeras ini adalah kesalahan hari pernikahan.
Tidak mendapatkan kabar dari tim pencarian, semua orang membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Inaya yang pingsan juga telah siuman, tetapi hanya bungkam setelah mendengar percakapan mereka.
“Na, ini tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan kalian ataupun hitungan itu. Kamu harus kuat menghadapi cobaan ini.” Kata Ibu Sintya.
“Iya, Na. ini semua murni musibah.”
“Iya, Bu. Saya pulang ke rumah dulu, mau mandi.” Inaya turun perlahan dari tempat tidur dan berjalan ke pintu penghubung.
Mida menghentikan Ita yang ingin menemani Inaya. Beliau mengatakan untuk memberikan waktu kepada Inaya.
Selesai mandi, Inaya melaksanakan sholat ashar yang terlewat sekaligus sholat maghrib. Dalam setiap sujudnya, ia melantunkan doa selamat untuk Weko. Ketika ia bersimpuh dalam doa, air matanya tidak dapat lagi dibendung.
Inaya menumpahkan semuanya sambil mendoakan suaminya. Ia memohon kepada Allah, semoga suaminya ditemukan dalam keadaan sehat wal’afiat.
“Bukan aku mengingkari kuasa-Mu, ya Allah. Hamba meyakini musibah ini, tetapi hamba masih belum bisa menerima jika suami hamba tiada.” Inaya kembali bersujud dan melepaskan mukenanya.
“Uh!”
Saat ia akan berdiri, ia kembali merasakan nyeri di perutnya. Ita yang sedari tadi mendengarkan doa Inaya segera menghampiri kakak iparnya dan membantunya berdiri.
“Apam au periksa, Mbak?” Inaya menggeleng.
“Mbak belum makan, kan? Mau makan apa? Aku akan belikan.”
“Aku tidak nafsu makan, Dek.”
“Tapi Mbak harus makan! Kasihan dede bayi kalau Mbak Nana tidak makan.” Inaya mengusap perutnya.
Ia kembali menangis mengingat suaminya yang berjanji akan kembali dengan selamat. Ita memeluk Inaya seraya menguatkannya.
Setelah Inaya tenang, Ita membuatkan susu hamil untuk Inaya dan pamit untuk membelikannya makan malam. Ita membelikan Inaya martabak telur tanpa kol, boba brown sugar dan sup buntut. Ia berharap kakak iparnya mau makan karena semua itu adalah makanan yang Inaya makan saat hamil.
Sayangnya, Inaya tidak menyentuh sup yang dibelikan Ita. Ia hanya memakan satu iris martabak telur dan menghabiskan susunya.
“Bagaimana keadaan Inaya?” tanya Mida yang melihat Ita kembali.
“Tidak mau makan dan sekarang sudah tidur.”
“Apa sebaiknya kamu libur lagi untuk menemaninya?”
“Aku besok ada ulangan, Bu. Tidak bisa izin.”
“Ya sudah. Biar Ibu yang menemaninya besok.”
“Besok Mbak Nana masih kerja, Bu.”
“Dengan keadaannya yang seperti itu, apa bisa bekerja?” Ita terdiam.
Ia juga terpukul dengan kabar hilangnya sang kakak. Tetapi ia harus tetap tegar untuk menguatkan kakak iparnya karena Weko pernah menitipkan Inaya kepadanya.
“Dek! Kalau Mas melaut, titip Mbakmu, ya? Dia bisa saja kesepian di rumah sendiri atau merasa kangen dengan Mas. Kamu harus jadi temannya. Ajak dia jalan-jalan, makan-makan atau belanja, biar tidak khawatir dengan Mas.”