Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Yang Setia
Tanpa menghiraukan pemandangan diluar kaca taxi, kini netra dan pikiran hanya ada penglihatan kosong, sebab tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Sebenarnya cintaku masih begini kuat pada kak Ryan, tapi disisi lain hati begitu sakit dan teriris. Benci yang tertanam merasuk didalam dasar hati. Tak hanya menghadapi kepedihan penghianatan, tapi juga menenggelamkan kepercayaan serta kesetiaanku.
Ibu menatap sedih dan tak banyak bicara. Sekali-kali mengelus rambut tanda bahwa beliau menyimpan kekhawatiran.
"Kalian kok pulangnya cepat sekali? Ada apa ini? Kok bawa koper segala?" tanya Bapak, yang langsung saja tangan punggung beliau kucium.
Ibu memberi isyarat agar tutup mulut.
"Kepala Mila sekarang pusing. Aku mau undur diri masuk ke kamar dulu, Pak!" pamit ku meminta izin.
"Tapi, Nak?" cegah beliau.
"Sudah, Pak. Biarkan anak kita istirahat. Nanti Ibu akan ceritakan."
"Baiklah kalau begitu. Kamu masuklah untuk istirahat."
"Em, terima kasih atas pengertiannya, Pak."
Sungguh, sekarang aku adalah anak yang tak berbakti pada orang tua. Pikiran yang kusut dan galau membuat mulut ini malas dan enggan untuk sekedar berkata-kata, sehingga membuatku tak bisa menjawab pertanyaan Bapak.
"Cepat sekali kalian balik. Tidak jadi acara masak dan makan-makannya, Bu?"
Suara mereka keras sekali.
"Gak jadi, Pak! Masak-masaknya. Semuanya jadi hancur karena ada adegan yang membuat kami syok," cerocos ibuku, yang mengantikan atas pertanyaan bapak.
Bisa terdengar jelas obrolan mereka.
"Ada apaan sih sebenarnya?" Bapak semakin dibuat bingung atas tingkah kami yang aneh.
"Nanti saja, Pak! Sekarang kepalaku rasanya juga ikutan berdenyut, akibat ulah menantu kamu itu.'
"Ya, sudah kalau gitu. Kamu istirahat juga sana."
"Hm, Pak."
Dalam keheningan disiang hari, panasnya yang menyengat mulai masuk ke celah-celah jendela.
Akupun yang dilanda kesedihan, membuat tubuh yang lemah langsung saja merosot kelantai kamar, dengan tangan sudah memegang lutut, untuk menenggelamkan kepala diantaranya. Sekarang airmata kembali tumpah, atas segala torehan luka.
"Kenapa kau tega sekali padaku, Kak? Apa salahku? Apa selama ini bakti dan cintaku kurang, sehingga kau berani menghadirkan dia diantara hubungan kita?"
"Apakah cintamu benar-benar hanya mempermainkan ku saja?."
Kerjaan sekarang hanya mengurung diri, akibat sebuah nasib yang tak diinginkan menimpaku.
Hati benar-benar begitu hancur atas penghianat nya, yang sudah mulai memupuskan akan rasa cinta ini padanya. Padahal benih-benih cinta kemarin, mulai tumbuh subur untuk selalu mencintainya, namun kini bagai barang yang pecah, telah rusak dan hancur berkeping-keping.
Ibu berkali-kali mengetuk pintu untuk mengajak makan, namun jangankan untuk mengisi perut, sekedar meneguk air saja tak tertelan lagi.
Malam pun telah menampakkan kepekatan warnanya, namun mata enggan sekali terpejam. Sungguh lebih baik sakit gigi, ada obat yang bisa menyembuhkan, daripada sakit hati tak akan ada penyembuhan yang bisa mengobatinya, bahkan sakit hati yang sudah terlalu dalam tersimpan dihati, sampai matipun biasanya akan bisa terbawa.
Sudah 3 hari diri ini meminta izin untuk tidak bersekolah, dengan mengirim surat beralasan sakit. Walau sebenarnya badan tak sakit, tapi hati dan pikiran sedang tersakiti, dan pastinya konsentrasi dalam pelajaran akan terganggu, sehingga lebih baik tidak usah sekolah dulu.
"Assalamualaikum," Suara seseorang bertamu.
"Walaikumsalam. Eeh ... ternyata kamu Tio yang bertamu, ayo masuk!" sapa Ibu pada teman sekelas.
"Kamu tidak sekolah? Kok pagi-pagi sudah datang kesini?" tanya ibu yang terdengar olehku.
"Hehe, tidak buk. Biasalah, saya lagi cuti," jawab Tio terdengar cengengesan.
"Sekolah kok cuti. Kamu sendiri tuh yang bolos."
"Hehe, Ibu tahu aja."
"Mila nya ada 'kan, Buk? Kok sudah 3 hari tidak masuk sekolah. Memang sakitnya parah 'kah, Buk?" Tio penasaran.
"Mila ada dikamar sedang istirahat. Dia tidak sakit kok! Cuma pikirannya saja lagi buanyak," jawab santai Ibu.
"Ooh, bolehkah saya ketemu sama, Mila?."
"Boleh, sebentar akan ku panggilkan dia dulu. Kamu tunggu dulu, akan Ibu buatkan minuman juga."
"Duh, Bu. Tidak usah repot-repot. Saya hanya sebentar saja kok."
"Tidak repot. Hanya air minum saja."
"Ya sudah kalau begitu, Bu. Terima kasih."
Tidak ada kegiatan. Sehari-hari cuma terbaring lemah di kasur. Ruang tamu dan kamar terlalu dekat posisinya, jadi kalau ada orang berbicara pasti terdengar.
"Mila ... Mila, kamu keluar dulu sebentar. Ada teman kamu yang sedang ingin bertemu," panggil ibu.
"Iya, Bu. Sebentar," saut ku yang mencoba bangkit dari pembaringan.
Tidak enak jika tak menemui, sedangkan Tio sudah rela bolos hanya untuk mengunjungi ku.
Lingkar hitam mata sudah nampak, kini ditambah lagi muka 'pun sudah mulai pucat, akibat tak ada nafsu makan. Di lidah makanan itu rasanya pahit semua, yang sama dengan sepahit nasib hatiku.
Dengan langkah malas, kini kaki mencoba berjalan untuk menemui tamu yaitu Tio.
Tio adalah teman terbaikku disekolah. Orangnya baik hati, suka menolong orang, dan pastinya wajah Tio juga lumayan tampan. Rambutnya yang sedikit ikal, disertai lesung pipi di kiri kanan, menjadi daya tarik tersendiri untuknya. Cukuplah untuk menarik perhatian cewek-cewek disekolah.
"Mila, kamu kenapa? Kok muka kamu pucat begitu? Kamu beneran sakit? Tapi kata ibu kamu tadi---?" tanya Tio khawatir.
Tangannya langsung saja diletakkan di keningku, untuk memeriksa suhu tubuh.
Kami begitu akrab. Sudah bagaikan saudara sendiri. Kadang tidak ada rahasia diantara kami. Sangat nyaman pertemanan ini.
"Aku gak pa-pa, Tio! Hanya kepalaku sedikit agak pusing saja."
Tangan sudah berusaha memijit-mijit pelipis, yang terasa berdenyut.
"Oh ya, kenapa kamu disini? Kenapa tidak pergi sekolah?" tanya pura-pura tidak tahu.
Jam masih menunjukkan diangka 7.15.
Rasa penasaran sekarang menerpa, sebab Tio telah memakai seragam sekolah, tapi sekarang bertengger duduk manis dirumahku.
"Biasa, malas. Kekasih hati tidak masuk sekolah, jadi akupun tak harus masuk sekolah juga 'lah," jawabnya santai.
"Memang siapa yang kamu maksud kekasih hati?" tambah pertanyaanku polos.
"Ya kamulah!."
"Tio, ishh."
Mata sudah membulat sempurna. Pastinya kaget serta marah, akibat mendengar ucapan yang tiba-tiba dari mulut Dio.
"Hahaha, jangan marah, Mila. Semakin kamu marah, semakin aura kecantikanmu semakin keluar. Lihat! Muka kamu yang marah itu, menampakkan betapa cantiknya kamu sekarang, jadinya tambah sayang saja aku kepadamu," goda Tio.
"Tio, kamu yaak!" pekikku marah.
Ku cubit lengannya. Nakal juga nih orang.
"Hahaha, iya ... iya. Cuma bercanda saja, tahu! Lagian nanti suami kamu bisa-bisa marah besar terhadapku, istrinya telah ku goda dan berhasil terebut," jelasnya.
"Ciih, ngak usah ngomongin masalah dia," cegah ku.
"Kenapa, kok gitu? Bukannya kalian--?."
Hanya diam yang kulakukan sekarang, dan tak mau membeberkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Duh, gimana yah? Maaf tidak bisa bercerita." Kedua tangan bertangkup didepan dada.
"Hemm ... ok lah kalau kamu ngak mau cerita. Santai saja. Kayak siapa aja."
"Oh ya, kamu sudah minum obat?" tanya Tio, yang melihatku masih memijit pelipis.
"Sudah, tapi rasa pusingnya masih ada."
"Sekarang gantilah pakaianmu, untuk ikut aku sekarang! Kita akan cari angin," perintah Tio.
Dorongnya dengan menyenggol lengan pelan. Selalu bisa diandalkan untuk menghibur. Kami selalu tertawa riang bersama. Kalau disekolah tidak pernah ada rasa sedih. Tio mampu membuat orang bahagia.
"Ngak ah, kamu aja sendirian yang pergi. Lagi malas banget untuk keluar," tolak ku atas ajakannya.
"Ayolah! Sekarang bangunlah! Aku janji akan menyenangkan hatimu. Ku jamin pasti kamu tidak akan menyesal seumur hidup bila ikut denganku," ajaknya lagi.
"Cih. Tapi, Tio."
"Aaah, ngak ada tapi-tapian. Ayolah kamu bangkit dan ganti baju, lalu kita berangkat sekarang."
"Turuti saja kemauan, Tio. Carilah hiburan di luaran sana! Biar beban pikiran kamu sedikit hilang," simbat Ibu.
Rutinitas pagi Ibu bersih-bersih rumah, sedangkan Bapak kerja mencari nafkah.
Beliau ikutan menyuruhku saat mendengarkan pembicaraan kami. Beliau memberi izin dan mendukung penuh atas ajakan temanku itu.
"Nah ... ibu kamu saja mendukung, ayo cepat! Sekarang kita berangkat," respon Tio.
"Hehh, baiklah kalau begitu." Hembusan nafasku panjang.
Dengan rasa malas ku turuti saja ajakan Tio. Benar juga kata ibu, biarlah diri ini mencari angin untuk menghilangkan stress, dari pada terus menerus berkurung diri didalam kamar.
enaknya kalau ketahuan bukan hnya dihajar tp bakalan kena karma