Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 - Warisan yang Terlupakan
Pintu menara terbuka perlahan, mengeluarkan suara "krieeek" dramatis yang membuat bulu kuduk sedikit meremang. Di baliknya, ruangan besar penuh aroma buku tua dan debu sihir terbuka lebar.
Tapi aku bahkan belum sempat mengagumi ruangan itu, karena... tiba-tiba ada sesuatu—eh, seseorang—yang berlari ke arahku.
“Arlaaaan!!!” seru seorang wanita dengan suara yang menggetarkan udara dan... entah kenapa, juga hatiku.
Sosok tinggi, ramping, dan sangat berisi itu berlari ke arahku dengan tangan terbuka lebar seperti akan menyambut cinta sejatinya yang baru pulang dari medan perang. Mata ungu cerahnya berbinar-binar, senyum lebar di wajahnya... dan dada—yang... wow—bergoyang seiring langkahnya.
“Eh?” aku terpaku.
Lyra, yang sejak tadi berdiri di sampingku, langsung bergerak seperti kilat.
Tep! Satu tangan Lyra menahan tubuh wanita itu tepat sebelum dia sempat menabrakku dengan pelukan mautnya.
“H-Hah!?” wanita itu—yang ternyata guru sihir kerajaan—terhenti mendadak, berdiri hanya beberapa jengkal dariku, napasnya terengah, wajahnya bersemangat seperti anjing peliharaan yang melihat tuannya pulang.
“Seraphine-sensei,” kata Lyra tegas, tapi tetap sopan. “Tuan Arlan baru saja siuman dari koma selama enam hari. Saat ini... beliau belum mengingat banyak hal.”
Seraphine membeku.
“Hah...?” Matanya melebar. “Koma? Enam hari!? Amnesia?!”
Lyra mengangguk. “Ya. Ingatannya kabur, dan kami masih mencoba membantu beliau memahami kondisi tubuhnya sekarang.”
Seraphine mendadak mundur satu langkah, lalu... terduduk di lantai seperti kehilangan energi.
“Tidak... jadi... Arlan tidak ingat... siapa aku...?”
Aku memiringkan kepala. “Uh... maaf. Sepertinya tidak.”
Dia menggigit bibir bawahnya, lalu tiba-tiba menggenggam kedua tanganku. “Namaku Seraphine Sallia! Aku guru sihir kerajaan sekaligus murid satu-satunya dari ibumu, Lady Elenora! Aku... sangat... sangat... merindukanmu!”
Aku hanya bisa menatapnya sambil berpikir keras. Oke, ini... bukan situasi yang biasa kuhadapi.
Seraphina akhirnya berdiri kembali, meski ekspresinya masih seperti baru saja kehilangan harta karun—atau ditolak pas lagi siap-siap lamaran.
“Kalau begitu... kita mulai dari awal,” ucapnya sambil mengatur napas, mencoba tetap anggun.
“Arlan... maksudku, Tuan Muda Arlan, selamat datang kembali ke Menara Sibilia. Aku... kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu lagi.”
Dia membungkuk elegan. Tapi efeknya agak berkurang karena belahan dadanya terlalu fokus menyita perhatian. Aku mendengar Lyra mendengus di belakangku.
Ruangan itu... sangat luas. Dindingnya melengkung, penuh rak buku dari lantai hingga langit-langit. Kristal-kristal sihir terapung di udara, berputar perlahan seperti planet dalam miniatur kosmos. Aroma jamur kering, tinta tua, dan bunga-bunga herbal mengisi udara. Aneh... tapi entah kenapa terasa familiar.
Seraphine memandu kami lebih dalam ke ruang tengah, di mana ada meja besar dari kayu hitam berukir, dipenuhi gulungan, pena bulu, dan secangkir teh yang... masih berasap.
“Sebelum apapun, aku ingin tahu satu hal, Seraphina,” kataku serius. “Apa yang kau ketahui tentang sihir?”
Dia tersenyum bangga. “Sihir adalah manifestasi kehendak melalui energi murni yang dipengaruhi oleh afinitas elemen dan mantra pengatur. Ada lima elemen dasar—api, air, tanah, angin, dan cahaya—dengan beberapa cabang khusus seperti petir, bayangan, atau ilusi. Untuk menggunakannya, seorang penyihir harus menyalurkan mana melalui lingkaran sihir atau perantara, seperti tongkat atau jimat.”
Aku mengangguk pelan. “Oke... dasar banget.”
“Hah?” Seraphine menoleh.
“Tidak, maksudku... itu masuk akal. Tapi... itu seperti... halaman pertama buku sihir dari dunia lam—eh, maksudku... sangat permukaan.”
Dia memiringkan kepala. “Permukaan?”
Aku menatap kristal terapung. “Kau pernah mendengar tentang penggabungan elemen? Atau manipulasi sihir tanpa mantra? Atau tentang konsep afinitas ganda dan penguatan tubuh melalui penyelarasan energi?”
Seraphine terdiam.
Lyra juga terdiam. Oke, berarti aku barusan bilang sesuatu yang di dunia ini masih dianggap fiksi.
“Jadi,” gumamku. “Begitu terbatas, ya...”
Seraphine menggigit bibir bawahnya. “Aku... maaf. Tapi benar. Pengetahuan sihir di dunia ini belum banyak berkembang. Setelah Lady Elenora tiada, tidak ada lagi yang bisa mengembangkan teori-teori baru. Kami hanya bisa melestarikan apa yang diajarkan beliau.”
Aku menarik napas panjang. “Ibu... jadi benar beliau guru sihir kerajaan?”
Seraphine mengangguk pelan. “Bukan hanya guru. Beliau... satu-satunya penyihir sejati yang pernah kulihat. Dan beliau... meninggalkan banyak hal. Tapi tidak semua bisa kami pahami.”
Dia lalu berjalan ke rak buku di dinding barat dan menyentuh simbol di sisi kayu.
Klik.
Bagian rak itu berputar perlahan, memperlihatkan pintu kecil tersembunyi di balik tumpukan buku. Seraphina menoleh padaku dan tersenyum kecil.
“Aku tidak pernah bisa membuka ini... Tapi, saat mendekati anda tadi, aku merasa sesuatu bereaksi.”
Aku menelan ludah. Oke. Ini terasa seperti momen kunci dalam game RPG.
Dengan perlahan, aku mengulurkan tangan ke arah pintu itu.
Begitu jariku menyentuh permukaan ukiran... klik... pintu terbuka sendiri, memperlihatkan ruangan kecil di baliknya. Tidak ada cahaya... tapi entah kenapa, aku merasa hangat.
Di dalam ruangan itu... ada rak-rak pendek, tumpukan buku berdebu, beberapa gulungan kertas, dan... sebuah tongkat kayu tua yang bersandar di dinding.
Aku masuk perlahan, dan segera mataku tertumbuk pada tulisan di salah satu buku.
“Catatan Eksperimen Sihir — Elenora.”
Tanganku gemetar.
Seraphine melangkah di belakangku. “Itu... salah satu dari banyak jurnal yang beliau tinggalkan. Tapi isinya terlalu sulit dimengerti. Aku... tidak pernah bisa menyentuhnya. Entah kenapa, seolah... jurnal itu menolakku.”
Tapi aku?
Begitu jemariku menyentuh sampul buku itu, aku merasakan sesuatu menyala. Seperti... resonansi.
Jurnal itu... menerima keberadaanku.
Dan saat aku membukanya, lembar-lembar pertama penuh dengan simbol-simbol, rumus, dan—ya ampun—bahasa teknis yang bahkan di dunia sebelumnya hanya kutemui di forum teori sihir fiksi tingkat dewa.
Tapi aku paham. Perlahan. Seperti membaca kenangan yang terlupakan.
Lyra mencondongkan tubuh, mengintip ke buku. “Apa ini? Seperti... resep aneh?”
Aku tersenyum. “Ini... bukan sekadar buku. Ini warisan. Ini... kunci.”
Hari itu, aku membaca hingga mata lelah. Seraphina menyiapkan teh, kadang duduk diam menatapku dengan wajah kagum seperti sedang menonton pahlawan legenda bangkit dari tidur panjang.
Dan dalam hatiku, aku tahu satu hal:
Jika dunia ini belum siap dengan sihir tingkat lanjut... maka akulah yang akan membukanya.
Dengan warisan ibu, dengan tubuh yang penuh gejolak sihir... dan dengan tekad seorang pria paruh baya yang pernah mati dan hidup kembali—
Aku akan mengubah segalanya.
Ketika aku menutup jurnal itu untuk sementara, karena mataku sudah seperti mau copot, Seraphine mendekat pelan-pelan, duduk di sebelahku.
“Anda... luar biasa,” bisiknya pelan sambil menatapku seolah aku adalah ramuan cinta kelas S.
Aku nyengir. “Aku cuma baca buku, lho.”
“Tapi cara anda membacanya... ahh, sangat... intelektual,” ucapnya sambil mendekat. Nafasnya hangat di leherku.
“Uh... oke?”
Tiba-tiba aku merasa ada yang menempel di lenganku. Sesuatu yang lembut. Dua... sesuatu.
Lyra mendecak keras dari belakang. “Seraphine-sansei. Jarak tubuh Anda. Tolong.”
Seraphine mengerucutkan bibir, lalu bergeser setengah sentimeter. Sangat simbolis.
“Yahh... hanya ingin mengekspresikan rasa kagumku. Lagipula, bukankah murid butuh... pelukan penyemangat dari gurunya?”
Aku menatap Lyra, berharap dapat bantuan.
Dia menatapku balik datar. “Silakan. Tapi saya tidak akan bertanggung jawab jika ada yang kesetrum sihir cinta.”
Aku terkekeh pelan.
Jadi begini, ya... rasanya jadi pusat perhatian dua wanita cantik di dunia isekai.
Bukan hal yang kuprediksi... tapi aku juga tidak mengeluh.