"Ganti rugi 80 juta atau menikah dengan saya?"
Kristal Velicia, gadis yatim piatu dengan paras yang sangat cantik menjadi penyebab kecelakaan sebuah mobil mewah.
Gadis itu di tuntut untuk ganti rugi atau menikah dengan pemilik mobil tersebut.
Pria tampan bersifat dingin bersama gadis cantik dan ceria.
Bagaimanakah nasib pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vgflia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33
Kristal tersenyum kecut, kejadian yang sudah berlalu kembali terlintas di benaknya. Malam itu adalah malam terakhir sebelum ia menandatangani kontrak pernikahan dengan Kay. Entah bagaimana ia bisa berakhir di rumah sakit, padahal setahunya ia sedang berada di makam kedua orang tuanya.
Kristal merogoh sakunya, sesaat gadis itu terdiam. Ia lupa kalau sedang memakai dress, dan juga tidak membawa apapun selain ponsel untuk membeli bakpao itu. Gadis itu mendengus kasar saat gerobak bakpao itu sudah menjauh dari area halte.
"Percuma banyak uang tapi tidak bawa uang." Kristal menggerutu kesal meninggalkan area halte. Ia seperti anak kecil yang tersesat di malam hari.
Berjalan menyusuri trotoar, Kristal menendang sebuah batu kecil, pandangannya terfokus pada batu itu dengan kedua tangannya di lipat ke belakang sambil memegang ponsel.
"Kakak! Aku mau balon itu!" Suara gadis kecil membuat perhatiannya teralih dari batu yang ia tendang dari halte tadi.
Tak jauh darinya seorang gadis kecil berdiri di samping lelaki berusia remaja, menunjuk beberapa balon gas dengan jari mungilnya. Lelaki itu berjongkok, mengelus kepalanya gadis kecil itu dengan tatapan sayang. "Itu bahaya, Ade suka diem-diem main api. Balonnya di isi gas, nanti meledak gimana?"
Gadis kecil itu melengkungkan bibirnya ke bawah. "Kakak selalu bilang bahaya terus, Ade sudah besar, sudah naik kelas dua!" serunya ketus dengan mata berkaca.
"Kata siapa? Sebesar apapun kamu di mata Kakak kamu tetap anak kecil." Lelaki remaja itu terkekeh saat mendapati tatapan tajam dari adik kecilnya. "Baiklah, baiklah. Tapi jangan main api ya, setelah ini kita pulang. Mama sama Papa pasti udah nungguin di rumah."
"Yeyyy! Beli balon! Om beli balonnya satu!" Gadis kecil itu berseru riang, berlari lebih dulu ke arah penjual balon. Sepertinya mereka baru saja selesai belanja di supermarket, terlihat dari dua kantong plastik belanjaan yang ada di tangan lelaki remaja itu.
Kristal menatap kedua kakak beradik yang sedang asik membeli balon. Mata gadis itu mulai memanas memandang interaksi keduanya.
"Kak Alvin, Kristi mau beli bola itu!"
"Itu buat laki-laki, Kristi. Main bola harus lari-larian, nanti kalo jatuh gimana?"
"Kristi udah gede, nggak bakal jatuh!"
"Di mata Kakak kamu tetep kecil. Pilih kita beli ice cream atau pulang sekarang?"
"Iya-iya kita beli ice cream! Dasar Kakak pelit!"
"Kalo Kakak pelit Kakak nggak beliin—jangan lari Kristi, nanti jatuh!"
"Nah, apa Kakak bilang, beneran jatuh, Kan? Dengerin omongan orang yang lebih tua makannya. Ayo sini, naik ke punggung."
"Kakak lututnya berdarah."
"Iya, ayo naik dulu nanti Kakak obatin."
Tangis Kristal pecah, terisak menatap kedua kakak beradik yang sudah menjauh dengan gadis kecil itu yang berada di gendongan kakaknya sambil menggeleng senang memegang balon.
"Kakak, jika suatu hari nanti terjadi sesuatu padaku. Apa Kakak akan kesepian?"
...***...
"Kristi? Hei, apa yang kamu lakukan di sini?" Calvin menutup pintu mobilnya dan berlari menghampiri Kristal yang duduk di pinggir jalan. Ia langsung melacak lokasi gadis itu setelah membaca pesan gadis itu yang mengatakan bahwa ia belum pulang.
Kristal mengangkat wajahnya, mata, hidung, dan bibirnya memerah karena menangis. Calvin berjongkok di depannya, memegang pipi gadis itu dengan kedua tangannya. "Ada apa? Apa ada yang menyakitimu? Hei, Sayang?." Calvin seketika panik saat Kristal kembali terisak.
Tidak tau harus berbuat apa ia akhirnya memeluk tubuh Kristal, menyandarkan wajah gadis itu di dadanya sambil mengelus punggungnya dengan lembut. Di saat seperti ini ia akan membiarkan Kristal menangis sejenak, membiarkan gadis itu melepaskan kesedihannya lebih dulu.
Setelah lima menit berlalu dengan isak tangis, Kristal akhirnya membuka suara. "Kak, aku minta maaf, Kak. Maafkan Aku." Suara seraknya sampai ke telinga Calvin, memilukan hati lelaki itu. Ia mengangguk, tangannya tak henti mengusap punggung Kristal.
"Aku... aku sudah menikah, Kak."
Tepat saat ucapan Kristal, tubuh Calvin menegang, tangannya yang berhenti mengusap punggung gadis itu. Melerai pelukan mereka Calvin menatap Kristal dengan mimik datar.
"Jangan bercanda, Kristal," ucapnya setenang mungkin, berusaha untuk berpikir positif—mungkin saja tadi ia salah dengar.
Kristal menggeleng, cairan beningnya kembali terjatuh. "Aku tidak bercanda, Kak. Aku sudah menikah."
Tubuh Calvin seketika melemas, ia menatap mata Kristal dengan lekat—mencoba mencari kebohongan dari ucapannya, namun tak ia temukan sedikitpun kebohongan di mata polos itu.
"Kenapa? Kenapa kamu menyembunyikan hal sebesar ini dariku Kristal! Apa bukan siapa-siapa bagimu? Hah?! Katakan padaku! Apa aku bukan siapa-siapa bagimu?!" Calvin meninggikan nadanya, meremas kedua bahu Kristal dengan kuat.
Kristal menunduk, kembali terisak. Calvin menengadah, memejamkan matanya sesaat sambil mengontrol nafasnya yang memburu. Ia kembali menatap Kristal yang masih menunduk. "Ceritakan semuanya padaku," ucapnya selembut mungkin agar tidak menakuti gadis itu.
Kristal mengangkat wajahnya—ia dapati lingkaran merah di mata Calvin. Untuk pertama kalinya ia melihat mata yang selalu memancarkan keceriaan itu redup, terpampang kekecewaan di pupilnya. "Aku—"
Calvin mengangkat tangannya menghentikan ucapan Kristal. Ia merogoh sesuatu di saku celananya. Masih dengan mimik datar Calvin mengangkat dagu Kristal, mengelap air mata serta cairan dari hidung gadis itu menggunakan sapu tangannya tanpa ekspresi sedikitpun.
Kristal diam menatap wajah Calvin. Lelaki itu terlihat sedang menahan emosinya, di lihat dari napasnya yang bergemuruh dengan dada naik turun.
Calvin memasukkan sapu tangannya ke dalam kantong celananya, matanya kembali menatap wajah Kristal—menunggu penjelasan darinya.
"Malam itu, aku sedang dalam perjalanan berangkat ke cafe."
Ia menceritakan semua kejadian dari awal tanpa terlewat sedikitpun. Siapa yang bertemu dengannya, mengajaknya membuat kontrak, isi dari kontrak, konsekuensi melanggar kontrak, bahkan sampai semua nama dari orang-orang yang menjadi keluarga barunya ia sebutkan. Tak ada yang gadis itu sembunyikan, ia bahkan menceritakan lebih lengkap pada Calvin di banding paman Wiliam dan yang lain.
Kristal tidak ingin menyembunyikan apapun lagi, termasuk pada lelaki yang sudah banyak menolongnya. Jika bukan karena Calvin ia mungkin tidak akan bisa bersekolah dan bekerja, melainkan hidup pontang-panting di jalanan seperti yang lain.
Tumbuh Calvin menegang, ia berdiri, berlari ke arah mobilnya dengan cepat dan kembali menghampiri Kristal. "Apa, apa dia lelaki yang menikahi mu?" Tangan Calvin gemetar menunjukkan gambar di layar handphonenya. Pasti bukan, banyak nama yang mirip di dunia ini. Ya, ia yakin dunia sebesar ini tak mungkin itu orang yang sama.
Kristal menatap layar ponsel milik Calvin dengan wajah bingung. "Kak, kalian saling mengenal?" Ia menatap Calvin setelah memandangi ponsel lelaki itu.
"Jadi benar? Dia yang menikah denganmu? Benar-benar dia?" Dengan suara bergetar Calvin kembali bertanya.
Kristal mengangguk kecil. "Iya, namanya Kay Lysander. Dia yang menjadi suamiku sekarang."
aku tunggu bab² selanjutnyaaa 😁
Nungguin ni