Ini adalah kisah cinta pria berkebangsaan Korea dan gadis berdarah Indonesia.
Waktu SMA, Ha joon tidak setampan sekarang. Pria itu gemuk dan selalu memakai kacamata tebal kemana-mana. Ha joon sangat menyukai Rubi, gadis populer di sekolahnya.
Namun suatu hari Ha joon mendengar Rubi menghina dan mengolok-oloknya di depan teman-teman kelas mereka. Rasa suka Ha joon berubah menjadi benci. Ia pun memutuskan pindah ke kampung halamannya di Seoul.
Beberapa tahun kemudian, Rubi dan Ha joon bertemu lagi di sebuah pesta pernikahan. Ha joon sempat kaget melihat Rubi yang berada di Korea, namun rasa dendamnya sangat besar hingga ia berulang kali menyakiti perasaan Ruby.
Tapi, akankah Ha joon terus membenci Ruby? Mulutnya berkata iya, namun tiap kali gadis itu tidak ada didepan matanya, ia selalu memikirkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biarkan aku periksa
Ruby menepis tangan Ha Joon dengan refleks, wajahnya memerah karena malu dan canggung.
"Nggak perlu Ha Joon. Aku bisa urus sendiri," katanya buru-buru sambil menarik ujung roknya kembali menutupi lutut.
Tapi Ha Joon tidak menjauh. Ia menatap Ruby dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Biarkan aku periksa. Kau ingin balik ke rumah sakit?" katanya, suaranya tidak lembut, tapi tak segarang biasanya.
Ruby menarik napas, mencoba mengatur denyut jantungnya yang terasa terlalu cepat.
"Aku baik-baik saja, sungguh. Ini hanya sedikit memar,"katanya sambil memaksakan senyum.
Ha Joon yang masih berlutut di depannya kembali mendongakkan kepala menatap gadis itu, tetapi tidak bicara kali ini. Hanya menatap dalam diam. Hal itu justru membuat Ruby terdiam dan makin deg-degan. Semoga Ha Joon tidak menyadari detak jantungnya yang sedang tidak baik-baik saja saat ini.
Pria itu terlalu dekat. Ruby tidak bisa bernafas dengan baik karenanya. Mungkin orang-orang akan merasa dia terlalu lebay, tetapi itulah yang sedang ia rasakan sekarang. Keberadaan
Ha Joon sangat berpengaruh padanya. Apalagi saat pria itu berada dalam jarak dekat seperti ini.
Ruby akhirnya membiarkan Ha Joon memeriksa lututnya yang masih agak bengkak dan membiru. Dari atas, ia bisa lihat wajah serius Ha Joon saat memeriksanya. Pria itu bukan dokter, tetapi Ruby ingat dia pintar dalam berbagai bidang.
Ha Joon menyentuh lutut Ruby dengan hati-hati, tangannya terasa hangat di kulitnya. Tatapannya tajam dan fokus, seolah sedang menganalisis cedera itu layaknya seorang profesional. Ruby hanya bisa memalingkan wajah, mencoba menahan diri agar tidak terus-menerus menatap garis rahang Ha Joon yang kini begitu dekat.
"Di kulkasmu ada es?" pria itu mendongak lagi ke Ruby.
"Es? Kau kehausan? Aku nggak ada kalau es cream." jawab Ruby polos. Saking gugupnya ia jadi tidak fokus.
Ha Joon lagi-lagi menatapnya lama sebelum tersenyum tipis, lebih seperti dengusan kecil.
"Es batu untuk di pakai mengompres bengkak lututmu."
Oh, es batu.
Ruby tersenyum canggung, lalu merutuk dirinya sendiri dalam hati. Ia malu sekali. Bisakah dia menghilang sekarang?
Ha Joon bangkit berdiri perlahan, lalu mengulurkan tangan.
"Ayo, aku bantu berdiri," ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. Ruby sempat ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. Sentuhan mereka singkat, tapi cukup membuat Ruby merasa seperti ada listrik kecil mengalir di telapak tangannya.
Setelah berhasil berdiri, Ruby berjalan pelan ke arah kulkas, masih merasa canggung. Ha Joon mengikuti dari belakang, tidak banyak bicara. Ia membiarkan Ruby sibuk sendiri mencari kantong es atau apapun yang bisa digunakan untuk mengompres lututnya.
"Ini," kata Ruby, akhirnya menyerahkan kantong plastik berisi beberapa bongkah es batu yang dibungkus kain bersih. Ia sedikit menyeringai, berusaha menutupi kegugupannya.
Ha Joon mengambilnya tanpa banyak bicara, lalu menarik Ruby kembali duduk di sofa. Ia berlutut lagi di depannya, seperti tadi, lalu mulai menempelkan kompres dingin itu ke lutut Ruby dengan perlahan. Ruby menggigit bibirnya, bukan karena sakit, tapi karena jantungnya berdegup terlalu keras.
"Aku heran," gumam Ha Joon tiba-tiba, membuat Ruby langsung menoleh.
"Apa?"
"Kau tetap ceroboh seperti dulu." Suaranya datar, tapi ada sedikit senyum terselip di ujung bibirnya.
Ruby terkekeh kecil, merasa sedikit lebih rileks.
"Dan kau tetap suka mengomentari setiap hal yang kulakukan."
Ha Joon menatapnya.
Ucapan itu membuat Ruby terpaku sejenak. Matanya mencari-cari arti di balik sorot mata Ha Joon, tapi pria itu sudah kembali menunduk, memperbaiki posisi kompres di lututnya.
Keduanya seperti sama-sama sadar kalau mereka sebaiknya tidak membicarakan masa lalu lagi, karena ujung-ujungnya mereka akan mengingat kenyataan pahit yang pernah terjadi di masa lalu.
Keheningan di antara mereka terasa kental. Ruby hanya duduk diam, membiarkan Ha Joon menempelkan es batu itu.
"Te-terimakasih." gumamnya begitu Ha Joon selesai mengompres lututnya. Pria itu membalas dengan anggukan kecil kemudian kembali duduk.
Keheningan dalam ruangan itu kembali terjadi. Tak ada satu pun di antara mereka yang bicara sampai ponsel Ha Joon berdering.
Panggilan dari Oh Jin young. Ha Joon segera mengangkatnya.
"Ada apa?"
"Kau di mana? Kau tidak lupa kan hari ini ada camping karyawan? Kita akan berangkat sore. Kau sudah berjanji akan ikut, kau tidak akan ingkar janji kan? Kau seorang CEO Joon-ah. Janji harus di tepati, kau akan datang kan?"
Pertanyaan Jin young yang bertubi-tubi seakan menolongnya. Ha Joon menjauhkan sedikit ponsel tersebut dari telinganya. Suara Oh Jin-young bikin gendang telinganya sakit.
"Oh ya, semua model baru akan ikut juga. Mereka diharuskan oleh ketua tim. Model yang bernama Ruby itu juga sudah mendaftarkan nama akan ikut. Kau yakin tidak ikut? Ha Joon? Joon, Joon-ah?"
Panggil Jin young lagi dari seberang. Ha Joon menatap ke Ruby sebentar sebelum menjawab Jin young.
"Baiklah, aku pergi." putusnya kemudian.
Ha Joon menutup telepon setelahnya. Ruby tidak tahu pria itu bicara dengan siapa, mungkin klien atau rekan kerjanya.
"Aku akan menghubungi agen untuk memperbaiki keran yang bocor."
"Ng-nggak perlu ... Aku bisa sen ..."
"Jangan membantah. Itu saja, aku pergi." balas Ha Joon datar.
Pria itu berdiri dari sofa dan keluar dari apartemen Ruby tanpa menoleh lagi. Setelah kepergian pria itu, Ruby baru bisa menghembuskan nafas lega.
"Ya ampun, canggung sekali tadi." ucapnya pada dirinya sendiri.
Ruby bersandar di sandaran sofa, menatap pintu yang baru saja ditutup Ha Joon. Wajahnya masih terasa panas, dan jantungnya belum juga tenang. Ia menutup wajah dengan kedua tangan.
"Kenapa sih aku begini terus kalau di dekat dia?" gumamnya.
Beberapa detik berlalu sebelum ia bangkit dan berjalan tertatih ke dapur, mengambil segelas air dingin untuk menenangkan dirinya. Namun pikirannya terus memutar ulang kejadian tadi. Sorot mata Ha Joon, sentuhan hangat di lututnya, dan cara pria itu bersikeras membantunya. Semua terasa sangat ... membingungkan.
Ruby menatap lama pantulan dirinya di kaca lemari dapur sebelum masuk ke dalam kamarnya. Hari yang sungguh melelahkan, tetapi ia justru merasa hari ini jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
semoga saja
aslinya ke inginan hatinya
Ruby mungkin belum mau terbuka sama hajoon soal insiden kecelakaan dia dulu yah, it's oke pelan2 aja Ruby .