Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
"Jangan keluar dulu, ada beberapa orang berpakaian pendekar menuju kemari.".
"Kakek tahu dari mana?" tanya Ranu penasaran.
"Nanti kau akan tahu sendiri, Ranu!" Suara lelaki tua itu kemudian berubah menjadi suara Empu Barada.
Ranu tertegun ketika mendengar suara lelaki tua di depannya berubah menjadi suara Empu Barada.
"Kakek Barada?"
"Tidak usah kaget seperti itu, Ranu. Titipkan Dewi kepadaku dan hadapi mereka! Semakin banyak pertarungan yang kau alami, maka kemampuanmu akan terus meningkat."
"Baik, Kakek. Kalau ada yang menjaga Dewi, aku tidak akan bingung untuk melawan mereka."
Ternyata benar yang diucapkan Empu Barada. Tidak lama kemudian, tiga orang lelaki tua berjalan memasuki kampung dan berhenti tidak jauh dari gapura. Ranu sebenarnya bisa saja terus bersembunyi di dalam rumah, tapi demi meningkatkan kemampuannya, dia akan berusaha melawan mereka bertiga.
"Aku keluar dulu, Kek. Tolong jaga Dewi sampai aku kembali!" ucap Ranu.
Sebelum Ranu keluar dari rumah sederhana itu, dia memandang Dewi yang tersenyum kepadanya, "Kakang keluar sebentar, kamu tunggu di sini ya?"
Dewi mengangguk sambil terus tersenyum kepada Ranu. Entah mengapa, senyum yang terkembang di bibir Dewi membuat semangatnya semakin bertambah.
Ranu kemudian membuka pintu rumah dan berjalan keluar menuju ketiga orang yang memandanginya dengan teliti.
"Berhenti, Anak Muda!" kata salah seorang dari mereka bertiga yang memiliki perawakan tinggi namun bertubuh kurus.
"Ada apa, Anak Tua? Eh keliru ... ada apa, Pak Tua?" tanya Ranu sambil memandang kalung tengkorak kecil berwarna merah yang tergantung di leher ketiga lelaki tua tersebut.
Tidak ada satupun dari ketiga lelaki tua itu yang menjawab pertanyaan Ranu dan mereka terus memandangi pemuda tersebut dengan teliti.
"Broto, Warno ... pemuda ini yang dikatakan Iblis hitam. Dia yang membawa gadis kecil itu!"
"Apa kau tidak salah, Joyo. Aku tidak melihat gadis kecil itu bersamanya," sahut Warno yang berperawakan agak pendek namun memiliki tubuh yang lumayan kekar.
"Betul, Pak Tua. Nampaknya teman kalian ini perlu diperiksakan matanya!" sahut Ranu sambil terkekeh.
"Diam kau, Anak Muda. Aku tidak berbicara denganmu!" bentak Joyo dengan sengit.
Ranu terkekeh mendengar bentakan yang diarahkan kepadanya. Tidak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya.
"Kau itu dari dulu tetap saja bodoh, Warno! Bisa saja pemuda ini menyembunyikan gadis itu di suatu tempat di sekitar sini."
Warno menggaruk kepalanya sambil berusaha berpikir. Namun semakin keras dia berpikir, malah tidak ada yang dipikirkannya.
"Percuma kau berpikir! kau ini seperti buaya, besar badan saja, tapi otak cuma sejempol kaki," bentak Joyo.
Lelaki tua yang satunya tetap memandangi Ranu dengan seksama. Dia merasa bahwa yang diucapkan Joyo benar adanya. Pemuda di depannya itu memiliki ciri-ciri yang sama persis dengan yang diberikan Iblis Hitam."Cepat katakan dimana gadis kecil itu dan kau akan kami lepaskan!" Broto yang mempunyai pembawaan tenang mencoba melobi Ranu.
"Gadis kecil yang mana, Pak Tua? Apa kau melihat aku membawa gadis kecil bersamaku?" tanya Ranu sambil memasang tampang bodoh.
"Aku tahu kau berbohong, Anak Muda. Cepat katakan saja di mana gadis itu? Kami berjanji tidak akan membunuhmu."
"Aku tidak membawanya sekarang, Pak Tua. Buka mata kalian baik-baik."
"Bedebah! Kau ini tidak bisa dikasih hati. Kalau kau tidak mau bicara baik-baik, maka aku akan memaksamu bicara!" Joyo yang terkenal memiliki emosi tinggi tidak bisa menahan amarahnya.
Lelaki bertubuh tinggi kurus tersebut kemudian melayangkan tangannya untuk menampar Ranu. Dengan cepat Ranu mundur satu langkah ke belakang hingga tangan joyo melintas mulus di depan wajahnya.
"Ternyata kau berani menghindar, Anak Muda! Baiklah, aku tidak akan segan lagi menghajarmu sampai kau mengaku." Joyo geram karena serangan awalnya bisa dihindari pemuda tersebut
"Kalian berdua jangan ikut-ikut! Biar aku sendiri yang menghajarnya!"
Broto dan Warno pun mundur beberapa langkah ke belakang.
Joyo langsung menggebrak Ranu dengan serangannya yang cepat dan berisi. meski bertubuh kurus, Ranu bisa merasakan jika serangan yang mengarah kepadanya mengandung tenaga dalam yang tinggi.
Ranu terus menghindari serangan Joyo sambil mengamati gerakan lelaki tua bertubuh kurus tersebut, tanpa sekalipun dia memberikan serangan balik.
Merasa dipermainkan oleh pemuda yang lebih pantas menjadi cucunya, Joyo menambah kecepatannya dan terus bergerak dengan begitu kesit mencoba menerobos pertahanan Ranu.
"Jangan menghindar saja, Anak Muda. Serang aku!"
"Aku tidak bisa menyerangmu, Pak Tua. Aku kuatir pukulanku akan membuat tulang di tubuhmu yang kurus itu rontok," jawab Ranu sekenanya.
"Hahaha ...! Kubilang juga apa, Joyo. Kamu itu harus banyak makan biar tidak seperti cacing yang menelan sapu lidi!" Warno tertawa keras mendengar ucapan Ranu.
"Diam kau, sapi bodoh!" Joyo menyahuti ucapan Warno.
"Hehehe, cacing menelan sapu lidi?""Biadab, Kau berani menghinaku! Terimalah seranganku!"
"Ternyata kau sudah benar-benar pikun, Pak Tua! Bukankah dari tadi kau sudah menyerangku?" Sambil berkelit ke bawah, Ranu terus memainkan emosi lawannya dengan ucapannya yang menghina.
Karena tidak mungkin untuk terus menghindar, Ranu pun mulai memberikan serangan balik cepat. Dia mengalirkan tenaga dalamnya untuk menambah kecepatannya.
Sebuah tendangan dia lepaskan menuju ulu hati Joyo, namun lelaki kurus tersebut bisa menghindari serangannya dengan menarik tubuhnya ke samping, dan memberikan serangan balik yang mengancam kepala Ranu.
Pemuda tanggung tersebut menangkis kepalan tangan Joyo, dan dengan cepat dia menendang perut lelaki kurus yang terbuka."Rontok!" teriak Ranu.
Bugh!
Joyo terdorong mundur setelah tendangan Ranu menghantam telak di perutnya. Nafasnya terengah-engah, senin-kamis, putus nyambung antara lelah dan emosi tingkat tinggi.
"Kamu yakin tidak mau kami bantu?" tanya Broto.
"Diam kau, Broto. Aku belum selesai bermain dengan kadal tengik ini!" sahut Joyo sambil terus menatap Ranu yang terkekeh melihatnya.
Joyo memompa tenaga dalamnya dan kemudian kembali melesat memberi serangan.
Kecepatan lelaki tua kurus tersebut semakin bertambah dan membuat Ranu kerepotan. Dia tidak menyangka jika lelaki tua itu masih memiliki tenaga dalam cadangan.
"Mati kau ...!' Joyo berteriak sambil melepaskan pukulan setelah melihat celah di pertahanan lawannya.
Bugh!
Punggung Ranu terpukul dengan keras hingga membuat pemuda tersebut terdorong jauh ke depan. Namun anehnya, Ranu tidak merasakan nyeri yang berlebihan, karena pukulan Joyo menghantam pedang Segoro Geni yang ada di punggungnya.
Joyo memegangi tangannya yang terasa ngilu karena menghantam pedang lawannya. segera lelaki tua kurus tersebut mengalirkan tenaga dalamnya untuk meredakan sakitnya.
"Tanganmu kenapa, Pak Tua? Makanya lain kali tangan itu diberi mata agar tidak salah sasaran hahaha!"
Tanpa menghiraukan ejekan pemuda di depannya, Joyo kembali memberikan serangan dengan kecepatan terbaiknya. Dia tidak ingin dibuat malu oleh seorang pemuda di depan kedua temannya. Namanya sebagai salah satu dari Tiga tengkorak Merah tentu yang menjadi taruhannya.
"Pukulan Tapak Racun!" Joyo melesat menyerang dan melepaskan salah satu jurus terkuatnya.
Ranu yang tidak sempat menghindar kemudian mencoba menahan serangan tersebut. Dia mengarahkan telapak tangannya ke depan dan memapak serangan Joyo yang mengarah kepadanya.
Blaaar! Blaar!
Benturan dua energi besar tersebut menimbulkan ledakan yang berulang. Warno dan Broto bahkan sampai mengeluarkan tenaga dalamnya untuk menahan tekanan yang mengarah kepada mereka berdua.
Debu mengepul tebal akibat benturan dua energi tersebut. Ranu terdorong Lima langkah ke belakang. Telapak tangannya tersa sedikit kesemutan karena tekanan energi lawan.
Sedangkan Joyo Terdorong lebih jauh lagi hingga punggungnya hampir menabrak sebuah pohon. Untungnya dia bisa menahan tubuhnya dengan menjejakkan kakinya ke tanah.
"Pemuda itu tidak bisa diremehkan. Tenaga dalamnya bisa mengimbangiku, bahkan di atasku," gumam Joyo.
Tak mau membuang peluang yang ada, Ranu bergerak dengan begitu cepat dan melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi kepada Joyo, "Rontok tulangmu, Pak Tua ...!"
Blaaar!
Sebuah ledakan keras terdengar bersamaan, dengan mendaratnya pukulan Ranu yang menghajar sebuah pohon besar di belakang Joyo hingga roboh.
Ranu mendelik tidak percaya jika serangannya meleset. Dia lalu menoleh kepada Broto yang sudah menyelamatkan Joyo.