Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 Remake: Menuju Vixen
Sore hari menyelimuti desa Zeen dengan cahaya lembut berwarna oranye keemasan. Langit tampak bersih, hanya dihiasi beberapa awan tipis yang melayang perlahan, seolah ikut menikmati tenangnya desa kecil itu. Deru angin senja membawa aroma kayu, bunga-bunga, dan makanan hangat dari kedai-kedai yang mulai ramai.
Sho dan Aria berjalan berdampingan, langkah mereka santai namun terarah menuju gerbang timur desa—tempat biasa para pelancong atau pedagang menyewa kereta untuk bepergian. Senyum kecil belum benar-benar hilang dari bibir Aria sejak mereka mampir ke toko bunga tadi. Sho pun terlihat lebih ringan, seperti baru saja melepas beban yang tak kasat mata.
“Kalau kita beruntung, mungkin bisa menumpang gratis karena kita punya sertifikat High Human,” ucap Aria dengan nada setengah berharap, setengah bercanda, sambil menunjukkan gulungan kecil yang ia simpan di dalam saku jubahnya.
Sho tersenyum miring. “Semoga saha kusirnya tahu cara membaca.”
Begitu mereka sampai, dua kereta kuda berjajar di sisi luar gerbang, masing-masing dengan kusir yang sedang bersandar santai sambil mengunyah roti atau menyikat pelana. Seekor kuda cokelat tua melenguh kecil, sementara kuda lain yang berwarna kelabu mengibaskan ekornya dengan malas.
Seorang kusir tua dengan rambut beruban dan kumis tebal menatap mereka dari bawah topi jeraminya. Ia mengangkat sebelah alis ketika Sho dan Aria mendekat.
“Anak-anak muda? Mau sewa kereta?”
Sho dengan yakin mengeluarkan sertifikat High Human-nya, memperlihatkannya dengan bangga. “Kami ingin menuju Vixen. Mungkin... dengan ini, kami bisa—”
“—Gratis?” potong kusir itu sambil terkekeh, suaranya berat namun tidak terdengar kasar. “Nak, kalian boleh saja High Human, atau bahkan anak raja. Tapi kuda kereta ini perlu rumput, dan saya juga perlu makan." Ia menunjuk kudanya, lalu ke perutnya sendiri. “Kalau kalian tidak mau bayar, kalian bisa lari ke Vixen. Tapi saya jamin, kaki kalian lebih mahal daripada ongkos saya.”
Aria terdiam, Sho hanya bisa tertawa kaku. Bahkan Persephone pun ikut tergelak dalam pikiran Sho.
“Ah... Vegitu ya. Ilahi di langit tapi miskin di bumi. Ini sungguh menyenangkan.”
Dengan terpaksa, Sho merogoh kantong kulit di pinggangnya dan mengeluarkan 50 koin perak. Setumpuk cukup besar, membuat kantong terasa ringan seketika. Setelah membayar, sang kusir langsung menyuruh mereka naik, dan kereta pun segera bergerak perlahan keluar desa, melewati jalan tanah berbatu menuju arah yang mengarah ke ibu kota wilayah, Vixen.
Di dalam kereta, Sho dan Aria duduk bersebelahan, diseberang mereka terdapat satu kotak kayu kecil tempat menyimpan barang. Cukup luas, namun getaran roda membuat tubuh mereka sesekali bergoyang tanpa sengaja, menyentuh lutut atau siku satu sama lain.
Sho menghela napas panjang dan bersandar, menatap langit senja yang mulai berubah warna keungu-unguan. “Tinggal empat koin emas lagi...”
Aria tersenyum kecil. “Setidaknya kita tidak harus lari ke Vixen.”
“Tapi kalau lari berdua mungkin lebih romantis.”
Suara Apollo muncul lembut di kepala Aria.
“Hmm... Berkemah di bawah langit malam, berbagi selimut akan terasa romantis nantinya...”
Suara Persephone muncul menggoda di pikiran Sho.
Mereka berdua mendadak diam. Pandangan bertemu, tapi buru-buru mengalihkan arah. Wajah Sho terlihat memerah sedikit, sementara Aria berpura-pura melihat keluar jendela.
Suara kuda dan roda kereta menjadi satu-satunya irama yang menemani mereka.
Perjalanan menuju Vixen baru saja dimulai. Namun bagi mereka, rasanya seperti menapaki babak baru yang lebih luas, lebih rumit... Dan lebih dekat dengan takdir yang menunggu di ujung jalan.
---
Matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan, memandikan dunia dengan cahaya jingga kemerahan yang semakin pudar. Langit mulai berubah warna, dari emas ke ungu tua, lalu biru gelap, hingga bintang-bintang pertama mulai bermunculan satu per satu. Jalanan yang mereka lalui mulai sepi, hanya sesekali terdengar suara burung malam atau desir angin menerpa pepohonan.
Sho yang semula bersandar santai, kini telah terlelap. Napasnya terdengar pelan dan teratur, matanya tertutup rapat seolah semua beban hari itu akhirnya menghilang bersama mimpi. Tanpa sadar, kepalanya perlahan tergelincir dan bersandar ke arah Aria.
Sampai akhirnya...
Bruk.
Kepala Sho kini berada tepat di pangkuan Aria.
Awalnya, Aria menatapnya sekilas dengan alis terangkat. Tapi dia tidak mendorongnya, tidak menegur, bahkan tidak merasa keberatan. Malah, tangannya bergerak secara spontan. Ujung jarinya menyusuri rambut cokelat Sho dengan lembut, menyisir helai demi helai seperti membelai makhluk kecil yang tertidur damai. Ada senyum tipis yang muncul di wajah Aria—bukan senyum mengejek atau geli, tapi tenang... Hangat.
Perjalanan mereka begitu sunyi dan damai, sampai satu suara muncul, mengacaukan semuanya.
“Lembut sekali... Kau pasti ingin mencium keningnya, kan?”
Suara Apollo terdengar ringan dan jahil dalam kepala Aria.
Tubuh Aria langsung menegang. Tangan yang tadi membelai rambut Sho, kini berhenti di tengah jalan.
“Mungkin ini pertama kalinya aku melihatmu begitu tenang, Aria. Lihat dirimu, bahkan sisi tomboy-mu bersembunyi di balik pipi merah itu.”
Aria mematung. Tatapannya kosong, pipinya mulai memanas.
“Astaga... Jangan bilang kau menikmati ini?” lanjut Apollo, tak henti menggoda.
“A-Apollo... Diamlah...” gumam Aria sangat pelan, nyaris tak terdengar. Ia menunduk, melihat wajah Sho yang masih terlelap, benar-benar tak sadar bahwa dirinya telah menimbulkan kehebohan dalam hati gadis itu.
“Hati-hati, Aria. Nanti kalau dia bangun dan melihatmu seperti itu, siapa tahu dia salah paham—atau malah berharap lebih?”
Apollo tertawa pelan.
Pipi Aria kini merah menyala. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela, berusaha fokus pada langit malam dan bintang-bintang yang mulai menghiasi cakrawala. Tapi tidak peduli ke mana pun ia memandang, sensasi hangat di pangkuannya dan suara nakal Apollo di pikirannya tak bisa ia abaikan.
“Kencan siang, dan sekarang dia tidur di pangkuanmu... Romantis sekali, bukan?”
Aria menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar terlalu cepat untuk ukuran perjalanan yang seharusnya tenang.
Namun, di tengah kekacauan emosinya sendiri, Aria tidak bergerak sedikit pun. Ia membiarkan Sho tetap tidur di situ—di tempat yang kini terasa seperti wilayah paling berbahaya... dan paling nyaman.
---
Waktu berlalu tanpa terasa. Cahaya bulan menggantung tinggi di langit, menebarkan sinar pucat ke atas tanah berumput yang sepi dan sunyi. Roda kereta akhirnya berhenti dengan suara berhenti yang lembut, dan suara kusir yang berat memecah keheningan malam.
“Maaf, nona,” ujar sang kusir sambil menoleh ke arah Aria, “Kita tak bisa lanjut malam ini. Jalanan di depan terlalu rawan. Binatang buas, atau... sesuatu yang lebih buruk bisa saja muncul.”
Aria mengangguk mengerti, lalu menoleh ke pangkuannya—tapi ia terkejut. Sho sudah tak lagi tidur.
“Eh?” gumamnya. “Kapan kau...?”
Sho menyandarkan tubuhnya di sisi kereta, mata rubi miliknya terbuka sepenuhnya, menatap langit yang dipenuhi bintang.
“Aku bangun sejak beberapa menit lalu,” ujarnya datar, tetapi suaranya tenang. “Tidurku bukan karena lelah... Tapi agar aku bisa berjaga malam ini.”
Aria menatapnya dengan heran, namun segera berubah menjadi kagum. Sebelum sempat menjawab, suara Apollo muncul dalam kepalanya.
“Hmm... Lihat siapa yang lebih bijak dari yang terlihat. Anak itu... cukup tahu cara bertahan hidup. Lumayan.”
Sho berdiri dan beranjak turun dari kereta kuda. “Istirahatlah. Aku akan berjaga.”
Aria ingin membantah, tapi melihat mata Sho yang begitu tenang dan serius, ia memilih percaya.
“Baiklah,” katanya dengan senyum lembut, lalu mengangkat tangan. Sebuah percikan cahaya muncul dari telapak tangannya, lalu menyala perlahan hingga menjadi nyala api kecil yang berdansa dalam ketenangan malam. Walau lemah, sinarnya cukup untuk menjadi api unggun yang nyaman.
Sho melihat api itu dan tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Aria merebahkan tubuhnya dekat api unggun, menyelimutkan jubahnya dan memejamkan mata. Dalam beberapa menit, suara napasnya menjadi tenang dan teratur. Ia tertidur.
Kini hanya Sho dan malam yang tersisa.
Ia duduk bersila, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Dunia terasa lebih sunyi saat ia tenggelam dalam keheningan batin. Angin malam berhembus lembut, dan suara gemerisik pepohonan menjadi latar yang menenangkan.
“Bagus. Kau akhirnya bersemedi juga,” suara Persephone bergema pelan di dalam pikirannya. Suara sang dewi selalu terdengar indah, seperti bisikan alam itu sendiri.
“Persephone...” Sho bergumam pelan. “Sudah lama aku tak mendengar suara alam. Sejak kecil aku bisa... berbicara dengan bunga, bahkan pohon. Tapi... Beberapa waktu ini, semuanya terasa... Diam.”
“Kau tidak kehilangan kemampuanmu, Sho.”
“Sebaliknya... kemampuanmu terlalu kuat sejak menjadi inkarnasi resmiku. Suaramu menggema ke seluruh penjuru alam, dan mereka semua—pohon, bunga, akar—mendengarmu. Tapi kau belum siap untuk menerima semua jawaban sekaligus.”
Sho membuka matanya sedikit. Api unggun bergoyang tertiup angin. Matanya terlihat sayu tapi tajam.
“Jadi... Kau yang menyegelnya?”
“Aku menyegelnya sementara. Bukan untuk menghentikanmu… tapi untuk melindungimu.”
“Bayangkan, anak remaja yang tiba-tiba bisa mendengar ratusan suara tumbuhan dalam satu waktu. Tangkai yang memanggilmu, akar yang menangis, pohon yang berbisik ribuan tahun kenangan... Itu bisa membuat jiwamu runtuh sebelum kau siap.”
Sho terdiam. Ucapan itu terdengar berat—dan masuk akal.
“Tapi... malam ini kau sudah mulai menyentuh ketenangan itu kembali. Itu awal yang baik.”
Sho kembali memejamkan mata, meresapi setiap embusan angin. Ia mencoba mendengarkan bukan dengan telinga... tapi dengan jiwanya.
Dan di ujung keheningan itu...
...terdengar suara samar, seperti bisikan dedaunan yang jatuh ke tanah, atau suara akar yang menguap dalam tidur panjangnya.
Sho tersenyum tipis.
“Terima kasih... Persephone.”
Malam terus berjalan dalam keheningan yang mendalam. Api unggun menyala lembut di tengah gelap, memberi kehangatan bagi dua jiwa yang tengah menapaki jalan takdir mereka. Aria tidur dengan damai, sementara Sho duduk tenang, tubuhnya diam namun pikirannya mulai menyatu dengan alam di sekitarnya.
Angin membawa harum bunga liar dari kejauhan. Daun-daun berbisik pelan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sho kembali merasakan dunia berbicara kepadanya.
Dalam sunyi malam yang mengayun perlahan, perjalanan menuju Vixen belum benar-benar dimulai... Namun langkah menuju masa depan mereka, kini telah bergerak.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/