Seorang mafia yang kejam dan dingin menemukan dua bayi kembar yang cantik di dalam dus yang di letakkan di tempat sampah. Mafia itu merasa iba dan merawat mereka. Kadang dia kesal, lelah dan ingin rasanya melempar mereka ke belahan dunia lain. Itu karena mereka tumbuh menjadi anak yang jail, aktif dan cerewet, selalu menganggu kesenangan dan pekerjaannya. Namun, dia sudah sangat sayang pada mereka. Mereka juga meminta mami sampai nekat kabur karena tidak diberikan mami. Dalam perjalanan kaburnya, ada seorang wanita menolong mereka.
Wanita yang cantik dan cocok untuk menjadi mami mereka. Bagaimana usaha mereka untuk menjadikan wanita itu mami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dakilerr12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab.7
Malam berlalu, ayam tetangga sudah berkokok meminta untuk di keluarkan dari kandang. Anita sedang sibuk memasak nasi, biasanya dia tidak pernah memasak untuk sarapan. Cukup beli saja, toh dia hanya sendiri.
Berhubung sekarang ada si kembar maka Nita memasak, kasihan mereka nanti kelaparan.
Jam menunjukkan pukul 05.00 pagi. Nita membangunkan mereka yang tidur bertumpuk di kamarnya. Mereka saling memeluk hanya saja dalam posisi terbalik. Kaki bersanding dengan kepala. Bukan kepala dan kepala. Nita membangunkan mereka dengan sabar. "Dhara, Dhira, ayo bangun! Sholat subuh dulu sayang." Suara lembut Nita mengalun di telinga mereka, membuat mereka kembali terbuai dan susah bangun.
"Kalau kalian susah bangun berarti ada setan di matanya, harus di sembur pake air mantra." Nita pergi ke kamar mandi dan membawa air di gayung.
"Kakak sembur ya. Bismillah ..."
"Huah ...." Dhara bangun dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu dia mengucek-ngucek matanya.
"Ehm ...." Dhira menggeliat dan menggaruk-garuk rambutnya. Kaki mereka saling menindih ke badan kembarannya ibarat guling. Nita tersenyum geli melihatnya.
"Hei, cepat bangun! Kalian belum sholat subuh," seru Nita. Dhira segera duduk dengan mata yang masih terpejam. Nita memasukkan tangannya ke dalam gayung lalu mengepretkannya pada wajah Dhira dan Dhira.
"Kakak!" gerutu keduanya. Nita hanya terkekeh.
"Biar matanya gak sepet. Ayo cepat sholat, keburu habis waktunya!" Mereka akhirnya bangun, tidur pun percuma, tidak akan nyenyak, karena selalu diganggu Kakak cantik.
Mereka lantas ke kamar mandi dan sholat bergantian, karena hanya ada satu mukena. Selagi mereka sholat Nita memasak untuk sarapan, hanya makanan sederhana dan cepat. Yaitu dadar telor. Selesai masak dia bergegas mandi.
Dia harus cepat berangkat kerja atau gajinya akan dipotong. "Kalian sudah selesai sholatnya?" tanya Nita.
"Sudah Kak," jawab mereka kompak.
"Ya sudah, kalian makan dulu ya, Kakak mau mandi."
"Iya Kak." Dhara dan Dhira mengambil piring, nasi dan telor dadar lalu membawanya ke depan. Mereka makan sambil lesehan di atas karpet ruang tamu.
"Dhir, makannya cuma ini doang tapi enak, ya."
"Iya, enak. Makan yang banyak!" ucap Dhira. Dhara mengangguk semangat. Mereka makan dengan lahap.
Nita sudah tampil cantik, lalu dia mengambil tas dan beranjak ke dapur. Nita kemudian mengambil nasi untuk sarapan dan bergabung dengan si kembar di depan. Nita tersenyum melihat mereka makan dengan lahap. Syukurlah mereka tidak pilih-pilih makanan.
"Kakak mau kerja?" tanya Dhara.
"Iya, kalian gak apa-apa 'kan, ditinggal berdua aja?" Nita sebenarnya cemas meninggalkan mereka berdua. Namun, tidak mungkin juga membawa mereka bekerja.
"Kakak tenang saja, kami sudah besar dan akan saling menjaga. Kalau ada apa-apa kami akan minta bantuan tetangga," ucap Dhara, dia tahu Nita khawatir.
"Baiklah, kalian boleh main ke tetangga tetapi jangan lama-lama takut mengganggu. Juga jangan jauh-jauh, kunci rumah setiap keluar. Hati-hati bicara pada orang asing, jangan mau ikut jika ada yang mengajak kalian pergi. Satu lagi, jangan bawa masuk orang lain ke dalam rumah. Mengerti!"
Nita memberi tahu mereka apa yang boleh mereka lakukan dan apa yang tidak.
"Iya Kak, mengerti," jawab mereka kompak.
"Maaf, Kakak tidak bisa mengajak kalian."
"Kami mengerti, Kakak harus bekerja. Kalau kami ikut nanti Kakak di marahi bos Kakak. Kak Nita jangan khawatir, kami pasti akan baik-baik saja."
"Insyaallah! jangan bilang pasti, tidak ada yang pasti di dunia ini. Kalian jangan lupa sholatnya ya."
"Iya Kak," ucap Dhira.
"Kalau sudah makannya, simpan piringnya di belakang biar nanti Kakak yang nyuci. Kalian cuci tangan aja."
"Iya, Kak." Mereka pergi ke belakang, membawa piring kotor yang kosong.
Walau Nita bilang dia yang akan mencuci piring. Si kembar tetap melakukannya. Mereka tidak ingin merepotkan Kak Nita yang sudah baik pada mereka.
Nita ke belakang membawa piring kotornya. Dia sudah selesai makan. "Kenapa kalian mencucinya? Biar nanti sama Kakak saja, sekalian."
"Gak apa-apa Kak. Sini, biar Dhara yang cuci. Kakak pergi kerja aja."
"Ya, sudah. Terima kasih, ya."
"Sama-sama Kak."
Nita mencuci tangan dan berangkat kerja. Sampai di depan pintu dia teringat kalau anak-anak tidak punya uang. Dia kembali ke dalam. Nita mengambil uang dari dalam tasnya.
"Dhara, Dhira. Ini pegang uangnya, takutnya kalian mau jajan. Maaf Kakak cuma bisa kasih sedikit uangnya, Kakak berangkat, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, makasih Kak," ucap Dhara.
Mereka lalu melihat uang yang di berikan Nita. Dua puluh ribu untuk berdua, Dhara dan Dhira saling tersenyum.
"Uang segini hanya 0,1% uang jajan kita sehari. Tetapi buat Kak Nita ini adalah uang makannya satu hari," ujar Dhara
"Kak Nita sangat baik pada kita yang hanya orang asing. Bahkan rela memberikan jatah uang makannya. Dia tulus dan sayang pada kita. Pokoknya aku mau Kak Nita yang menjadi Mami kita," ucap Dhira
"Hm, bagaimana caranya membuat mereka bertemu?" tanya Dhara
"Siapa?" Dhira bingung.
"Kak Nita dan Papi," jawab Dhara.
"Oh, Kita suruh aja, Papi jemput." Dhira memberi usul.
"Jangan dulu! Nanti saja kalau sudah beberapa hari, biar Papi tahu kalau kita serius. Juga untuk mengetes Kak Nita, apakah dia akan kesal, kalau kita lama-lama di sini?" Dhara menolak
"Hm, benar juga." Dhira setuju dengan pendapat Dhara.
"Sekarang kita ngapain?" tanya Dhira seraya melihat sekeliling rumah.
"Kita keluar yuk! Bosan di rumah terus. Kita jajan aja di warung," jawab Dhara sambil menunjukkan uangnya.
"Yuk!" ucap Dhira semangat, matanya berbinar.
Mereka berdua keluar, tidak lupa mengunci pintu. Setelah itu mereka pergi mencari warung di sekitar rumah. Dhara melihat ada warung kecil yang menjual makanan ringan.
Dhara mencolek Dhira dan menunjuk warung itu. Dhira tersenyum dan mengangguk. Mereka mendekati warung dan membeli beberapa macam makanan ringan.
"Ade, anak mana? Ibu baru lihat," tanya penjaga warung.
"Kami, saudaranya Kak Nita."
"Nita? Anita Sulaeman?"
"Iya, bu."
"Oh, pantesan kalian cantik-cantik, kembar ya?"
"Mukanya aja sama, ya kembarlah!" jawab Dhira.
"Hehe, iya." Penjaga warung terkekeh.
"Jadi berapa, Bu?" tanya Dhara.
"Lima ribu aja," ucap ibu penjaga warung, Dhara memberikan uang dua puluh ribu rupiah.
Ibu itu mengembalikan uang lima belas ribu rupiah.
"Makasih, bu." Dhara menerima uang itu.
"Sama-sama."
Dhara dan Dhira lalu pulang. Mereka tidak langsung masuk ke dalam rumah melainkan duduk-duduk dulu di teras. Dhara membuka makanan yang tadi mereka beli.
"Enak juga, kenapa kita gak pernah makan snack kaya gini, ya?" tanya Dhara sambil makan snack yang tadi mereka beli dengan harga murah hanya seribu per satu snack.
"Mana boleh sama papi," jawab Dhira.
"Iya, sih benar."
Saat mereka sedang asyik makan snack, pintu rumah sebelah rumah Kak Nita terbuka. Keluarlah seorang ibu dengan anaknya. Mereka melihat si kembar.
"Eh, siapa ini? Maaf, ade siapa?" tanya ibu itu.
"Kami saudara Kak Nita, kenalkan ini Dhira dan saya Dhara." Dhara menjawab dengan jelas dan tegas.
"Oh, saya Ibu Wawan. Ini anak saya Wawan."
"Oh ... Ibu, ibunya Wawan, jadi di panggil Ibu Wawan."
"Ya, begitulah."
Dhara dan Dhira terkekeh. "Lucu juga ya." Ibu itu tidak tersinggung dengan Dhara dan Dhira. Dia sendiri kadang heran. Setelah menikah, tetangga jarang memanggilnya dengan namanya sendiri.
Dulu nama suami, setelah punya anak berganti jadi nama anaknya.
"Wawan umur berapa, lucu banget, sih."
Dhira gemas dengan Wawan.
"Baru dua tahun, Kakak." Ibu Wawan menjawab dengan menirukan suara anak kecil. Mereka lalu membicarakan banyak hal.
***
Nita merasa tidak tenang dalam kerjanya. Dia selalu teringat dengan si kembar. Apalagi saat ini sudah hampir jam makan siang. Untuk pulang tidak mungkin sebab pembeli sedang ramai.
Pintu terbuka masuklah seorang pria tampan menggunakan jas mahalnya. Di belakangnya ada beberapa orang yang berpakaian sama. Hanya saja yang paling depan lebih terlihat berkarisma dan berwibawa. Nita terpana melihat pria itu.
"Tuan, di sinilah Nona kembar, terakhir terdeteksi alat pelacak," lapor salah satu anak buah Alkana. Dia mencari anak kembarnya yang bikin pusing. Bikin pusing, kok di cari.
Walaupun begitu dia sangat menyayangi mereka dan merindukannya. Rumah terasa sepi tanpa kehadiran mereka.
"Hm, apakah mereka makan di sini? Mereka tidak membawa apa pun, lantas bagaimana mereka membayarnya?"
"Saya sudah memeriksa CCTV, ada seseorang yang mengajak mereka makan, Tuan."
"Siapa?"
"Selamat siang Tuan-Tuan, selamat datang di restoran kami. Silahkan lewat sini Tuan." Tiba-tiba datang seorang pria menyela pembicaraan mereka
"Apa Anda Manager di sini, atau pemilik restoran ini?" tanya anak buah Alkana yang bernama Anton.
"Saya manager di sini Tuan, nama saya Malik."
"Boleh, saya minta tempat yang private?"
"Boleh Tuan, mari silahkan. Tempatnya ada di atas. Lewat sini Tuan." Malik sang manager, mengantar mereka ke tempat yang lebih privasi.
Mereka berhenti di depan pintu. Malik membuka pintu itu dan tampaklah ruangan yang lumayan luas, yang muat menampung sekitar sepuluh orang. Alkana masuk ke dalam bersama tiga anak buahnya.
"Maaf, bisa tolong kamu panggilkan wanita ini!" Anton menunjukkan foto seorang wanita pada Malik.
"Anita?"
"Iya, Anita. Panggil dia ke sini. Bos saya ingin bertemu dengannya."
"Maaf, kalau boleh tahu ada urusan apa bertemu dengan pegawai saya?"
"Ini bukan urusan kamu, ini masalah pribadi. Jadi bisa minta tolong panggilkan."
"Baiklah Tuan. Akan saya panggilkan. Oh iya, ini menu dari restoran kami, silahkan di pilih, nanti kalau mau pesan tinggal hubungi kami dengan ini."
"Baik,"
"Permisi Tuan-Tuan." Malik pergi ke luar dia lalu memanggil Nita yang sedang mengantarkan makanan.
"Nita, kamu ikut saya ke ruangan VIP! Ada yang mencari kamu."
"Mencari saya? Kenapa?"
"Saya juga tidak tahu, apakah kamu punya hutang?"
"Tidak."
"Kamu temui saja dulu mereka, nanti kamu akan tahu perlunya apa?"
"Baiklah."
"Ayo cepat, jangan membuat mereka menunggu lama." Malik dan Anita berjalan menuju ruang VIP. Malik mengetuk pintu dan membukanya setelah tamunya mengizinkannya.
"Maaf, Tuan. ini saya bawa Anita."
"Silahkan masuk, kamu gak usah ikut masuk. Siapkan saja makanan yang paling mahal di sini."
Anton melarang Malik masuk. Dia lalu mempersilahkan Anita untuk Masuk. Kemudian Anton menutup pintu.
"Silahkan duduk, Nona Anita." Anton menyuruh Anita untuk duduk.
Dengan gugup Anita duduk di salah satu kursi.
Dia merasa takut dengan mereka yang tampak seperti mafia-mafia di film yang dia tonton.
Walaupun tampan tetapi wajah mereka dingin dan terlihat garang.
"Kamu tahu, kenapa saya panggil kamu ke sini?" tanya Alkana.
Anita menggeleng, dia masih gugup bicara.
Suaranya seakan nyangkut di tenggorokan dan tak bisa keluar. Lagipula, mana dia tahu, kenapa dia di panggil? Bertemu saja belum pernah.
Alkana memberi kode pada Anton. Lalu Anton mengambil ponselnya dan menunjukkan video yang ada di ponsel itu, pada Anita.
"Kamu kenal mereka?" tanya Alkana. Anita menonton video itu lalu menganggukkan kepala.
"Dhara dan Dhira," jawab Anita gugup.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Alkana lagi.
"Di rumah saya."
"Dengan siapa?"
"Berdua saja, saya kebetulan tinggal sendiri."
"Jadi, kamu tinggalkan mereka berdua? Mereka masih anak-anak!"
"Tidak mungkin saya membawa mereka bekerja, saya bisa ditegur dan mereka juga akan jenuh. Kalau di rumah mereka bisa menonton TV dan tiduran."
"Terus, bagaimana kalau ada yang jahat pada mereka? Bagaimana kalau mereka lapar?"
"Saya sudah kasih mereka bekal uang dua puluh ribu. Saya juga sudah masak untuk makan siang mereka."
"Dua puluh ribu? Cuma dua puluh ribu?"
Anita yang semula merasa gugup menjadi kesal, karena pria ini meremehkannya. Pria ini terus bertanya seolah-olah dia mempunyai kesalahan pada si kembar.
"Dengar ya Tuan! Saya tidak tahu ada hubungan apa Anda dengan si kembar? Tetapi saya tegaskan, saya membawa mereka pulang atas permintaan mereka sendiri. Saya sudah berusaha sebaik mungkin agar mereka nyaman dan tidak kelaparan. Saya memang orang miskin, hanya itu yang mampu saya berikan untuk mereka. Tetapi saya tulus dan menyayangi mereka. Lagipula sebenarnya siapa Anda bagi si kembar?"
"Saya Papi mereka." Nita justru terkekeh mendengar Alkana adalah Papi si kembar.
"Kalau, Anda Papinya! Kenapa mereka terlantar luntang-lantung di jalan? Kelaparan dan tak ada tempat berteduh. Jangan-jangan kamu penculik ya, kamu mau jual mereka? Ayo ngaku!"
Alkana tersenyum miring, lalu dia merubah wajahnya menjadi tegas. "Antar saya ke rumahmu!"
"waduh bagaimana kalau ternyata mereka penculik?" batin Anita.
"Maaf, tetapi saya tidak bisa pulang sebelum jam kerja saya habis." Nita mencoba memberi alasan.
"Anton, bilang pada Pak Malik, saya ada perlu dengan karyawannya, Nita. Kalau dia melarang, kasih dia uang ganti rugi. Kalau dia tidak mau juga, beli restoran ini!" Alkana menatap tajam Nita.
Nita semakin yakin kalau Alkana adalah orang jahat. Dia berniat tidak baik pada Dhara dan Dhira. Dia harus mencari cara agar si kembar selamat.
"Apa sekarang kamu bisa mengantar saya?"
"Bisa."
***
Alkana merasa pusing dan kesal, tentu saja.
Bagaimana tidak? Anita sejak tadi hanya membawanya muter-muter di jalan. "Berhenti!"
Alkana memberi perintah pada supir untuk berhenti. Mobil di belakang yang mengikuti Alkana juga ikut berhenti.
Alkana menghadapkan tubuhnya pada Nita, matanya menatap tajam mengintimidasi. Nita tak berani melihatnya, dia memalingkan wajah menatap jendela. Jantungnya berdebar kencang. Gerak tubuhnya mencerminkan kalau dia sedang gelisah.
jgan2 Dominic kaka na anita yg tetpisah
kayanya anita bakal menimbulkan trauma