Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.33
Nama saya Bram, pemilik perusahaan xxx Jakarta. Andai saat itu Dokter tidak menolong nyawa saya, entah apa jadinya keluargaku," ucap Bram dengan wajah yang tampak bersyukur.
Sebagai seorang kepala keluarga, dia tahu betul bahwa keluarganya sangat bergantung padanya." Abrisam mengangguk, mencoba untuk mendengarkan dengan saksama, namun pikirannya terasa terbagi.
Dia tidak bisa melupakan ayahnya yang baru saja selesai dioperasi. Sebuah kekhawatiran melanda pikirannya, membuatnya terbayang-bayang akan kondisi ayahnya.
" Ah... maaf, Tuan Bram. Mungkin karena kejadiannya sudah sangat lama, jadi saya benar-benar tidak mengingatnya lagi," ucap Abrisam dengan nada merasa bersalah.
Dalam keheningan yang mendalam, Abrisam terpana dan kagum. Daya ingat pria paruh baya itu masih terpahat kuat, seolah-olah setiap detik dari masa lalu terekam jelas dalam benaknya. Sementara dia, Abrisam, bahkan terasa hilang arah, tak mampu menggali kembali kenangan-kenangan yang telah lama berlalu.
"Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya ingin mengungkapkan rasa senangku saat ini karena bisa bertemu Anda kembali.
" Tuan, apa yang sedang Anda lakukan di sini sendirian?"tanya Abrisam sambil menatap sekelilng pria itu.
" Putri saya sedang dirawat di rumah sakit ini, Dok, sedang menjalani perawatan," jawabnya.
" Memangnya putri Tuan sedang mengalami sakit apa?"
"Baru saja usai melakukan operasi mata dan Alhamdulillah berhasil." jawab Bram, nadanya menggebu-gebu, rasa syukur menyelimuti hatinya saat itu.
Namun, ketika Tuan Bram membuka suara, degup jantung Abrisam seketika berpacu, menyeruakkan kenangan-kenangan masa lalu yang seharusnya telah terkubur dalam-dalam. "Bolehkah saya mengetahui nama putri Anda, Tuan?" tanyanya, suara bergetar dan dada semakin sesak, seakan setiap kata yang terucap menarik benang-benang kenangan yang tak ingin diingat.
" Namanya...?
Belum sempat terucap," Permisi, Tuan, dokter Albert memanggil Anda."
Meski Bram belum sempat mengucapkan nama putrinya, tiba-tiba seorang perawat memotong percakapan ke-duanya dengan nada mendesak. Bram menatap perawat itu, kebingungan dan kekhawatiran terpancar dari kedalaman matanya. Napasnya tertahan, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hening yang memekakkan.
Pria paruh baya itu pun dengan tergesa-gesa memohon diri untuk segera menemui dokter. Pemuda tampan yang tertinggal hanya bisa mendesah dalam kekesalan, tersisa penantian yang menggantung tanpa kejelasan.
Sebelum berlalu, Abrisam menatap sekali lagi punggung pria paruh itu, seolah ingin segera mengetahui nama putri yang hampir saja terucat.
Abrisam berniat menemui Tuan Bram sekali lagi, tetapi ia teringat bahwa orang tuanya sedang menantinya.
Ia pun memutuskan untuk kembali menemui ibunya setelah beberapa menit berpikir. "Kenapa dia selalu menghantuiku? Apa yang sebenarnya saya inginkan dengan mengetahui tentang putri Pak Bram? Putrinya hanya memiliki nasib yang mirip dengan Ralda."
Pria itu tampak semakin frustrasi, bukan karena memikirkan kondisi sang ayah, melainkan karena sesuatu yang telah lama ia sembunyikan.
Dari kejauhan, Rani melihat putranya berjalan gontai, seolah-olah kehilangan semangat. Kekhawatiran semakin terpancar di wajahnya. Bukankah Mama Rani telah meminta putranya untuk berbagi cerita jika menghadapi masalah?
" Kamu dari mana saja, Nak? Kenapa lama sekali?" tanya ibunya dengan raut wajah yang cemas.
"Bagaimana kondisi Ayah, Ma?" Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, dia justru mengalihkan topik pembicaraan untuk menghindari membahas kejadian yang baru saja terjadi. Dia berusaha menghapus jejak pikiran agar bayangan Ralda tidak kembali mengganggu benaknya.
" Barusan Mama bertemu dokter, kita harus menunggu beberapa saat lagi," ucapnya dengan suara lirih.
"Saya ingin menemui Ayah," lanjutnya sambil melangkah pergi.
"Kamu belum menjawab pertanyaan Mama, darimana kamu datang?" tanya Rani tegas. Saat itu, tidak ada orang lain yang lalu lalang, hanya orang kepercayaan David, suaminya, yang berada di ruangan rawat. Mungkin karena itu, Rani berani menegur putranya di tempat terbuka seperti saat ini.
"Apa maksudmu, Ma? Abi baru saja mencari udara segar, Abi ingin tenang," jawabnya selemah-lembut namun dengan penekanan yang jelas.
Entah kenapa, kali ini Rani tidak percaya pada putranya. Apakah karena wanita yang dilihatnya tadi? Kecurigaannya semakin menguat.
" Jawab dengan jujur, siapa wanita dalam foto yang ada di ponselmu?" tanya ibunya langsung tanpa basa-basi.
Jantung Abrisam berdegup kencang mendengar pertanyaan itu.
"Dari mana Mama tahu?" gumamnya dalam hati.
"Foto yang mana, Ma?" ia coba mengelak. "Tidak usah berkilah, Mama tahu apa yang kamu sembunyikan," desak ibunya.
Abrisam mendesah pelan. Ibunya semakin mendesak, sementara ayahnya sedang sakit. Apakah ini waktu yang tepat untuk jujur, mengingat kondisi keluarganya yang sedang tidak memungkinkan?
" Ma, tolong, ini bukan saatnya untuk berdebat. Kita harus memikirkan kesembuhan Ayah saja," ujar Abrisam berusaha meredam emosi.
Tersadar oleh kata-kata putranya. Benar, mereka seharusnya mengutamakan doa untuk kesembuhan David. Tapi Rani merasa tidak tenang sebelum ia mendengar jawaban dari mulut putranya sendiri.
***
" Bagaimana kondisimu, Ralda?" Seorang dokter bersama sang paman berjalan menghampiri wanita cantik yang tengah duduk dengan wajah sedikit tegang. Namun, melihat kedatangan mereka, Ralda tersenyum lebar. Paman Bram sangat bahagia melihat keponakannya itu bisa tersenyum dengan semangat. "Saya baik, Dok," jawabnya lirih. "Baiklah, saya akan mencoba membuka perban di matamu ya, ikuti arahan dari saya." Dalam hati, Ralda merasakan degup jantungnya berpacu cepat, takut operasi matanya tidak berjalan lancar.
"Semoga saya bisa melihat kembali setelah menjalani operasi ini," batinnya dengan harap-harap cemas.
"Apa yang akan terjadi jika hasil operasinya tidak sesuai dengan harapanku? Bagaimana saya bisa menjalani hidup dengan baik?" Namun, Dokter Alvaro seakan merasakan kecemasan Ralda dan berusaha menenangkannya.
"Jangan khawatir, Ralda. Semuanya pasti baik-baik saja. Saya yakin kamu bisa melihat kembali setelah operasi ini. Percayalah pada kemampuan dirimu dan dukungan dari paman Bram," ujar dokter tersebut, meyakinkan Ralda dengan nada yang lembut dan penuh kepercayaan.
Dalam hati, Ralda merasa lebih tenang mendengar kata-kata itu dan semakin yakin untuk menghadapi proses pemulihan yang akan datang. Dokter Albert dengan hati-hati membuka perban mata Ralda sambil memberi aba-aba. Tidak lama kemudian, Ralda membuka matanya perlahan.
Ia mengikuti setiap instruksi dokter Albert.
"Ya, Tuhan, benarkah saya bisa melihat lagi? Ini bukan mimpi, kan?" ucapnya tak percaya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok. Berkat kegigihan Anda, Ralda bisa melihat kembali," ucap Bram sambil memeluk dokter tersebut dan mengucap syukur kepada Ilahi.
" Sama-sama tuan, Bram. Ini adalah tugas saya yang harus menyembuhkan pasien. Sekarang Ralda bisa melihat indahnya dunia kembali.
" Benar sekali, Dok, saya berhutang Budi pada Anda.
Sesaat dokter Albert menatap wajah cantik wanita itu, sesaat ia berpikir untuk ingin memiliki wanita tersebut, tapi ia sudah memiliki istri. Apakah dayanya, ia tak mampu melakukan apa-apa selain mengagumi kecantikan Ralda.
" Ya ampun, apa yang sedang kupikirkan ini? Tidak mungkin Bram setuju, kan?"gumamnya sambil menggeleng kecil.