Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persaingan tersembunyi
...Kadang, persahabatan diuji oleh jarak yang tak terlihat, dan setiap langkah kita membawa dampak yang tak terduga....
...🦋...
Setelah pengumuman peringkat ujian, aku—Kirana yang kini menggantikan posisi Aurel di peringkat tiga. Posisi yang dulu adalah miliknya. Sejak saat itu, hubungan kami mulai berubah, meskipun tidak ada yang benar-benar mengatakannya.
Hari-hari setelah pengumuman, Aurel mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Aku bisa merasakannya, dia merasa kecewa dan kesal karena peringkatnya turun dan posisinya kini digantikan oleh aku.
Suatu hari, saat aku berjalan menuju ruang kelas, Aurel menghampiriku.
“Kirana, gue denger lo mulai belajar lebih keras sekarang. Gimana kalau kita belajar bareng, ya? Gue rasa kita bisa bantu satu sama lain,” ujarnya dengan nada yang agak dipaksakan.
Aku terkejut dengan ajakannya. Biasanya, Aurel sangat percaya diri dan tidak pernah meminta bantuan seperti ini.
“Eh, Aurel, kalau kamu butuh bantuan, aku bisa bantu kok,” jawabku, meskipun aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
...
Namun, Aurel tidak hanya mendekatkan diri padaku, tetapi juga mulai menjauhkan aku dari teman-teman lain, terutama Dinda, Salsa, dan Intan.
“Gue pikir lo lebih baik belajar sendiri aja, Kirana. Kalau lo terlalu banyak gabung sama mereka, lo bisa kehabisan waktu belajar. Mereka nggak terlalu serius kok,” katanya suatu hari ketika kami bertemu di kantin.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku merasa terjebak. Aurel terus memberi alasan untuk menjauhkan aku dari teman-teman lainnya, seolah dia berusaha mengontrol pergaulanku agar aku lebih fokus padanya.
...
Sementara itu, Dinda, Salsa, dan Intan mulai merasakan adanya perubahan. Mereka kecewa dan merasa sedikit dijauhkan olehku.
Suatu sore, saat kami berkumpul di taman sekolah, Dinda akhirnya berkata dengan nada pelan, “Kirana, kok belakangan ini kamu sering bareng Aurel sih? Kamu tau kan, dia mulai berubah sejak dia turun peringkat.”
Aku terdiam, merasa bersalah. Salsa menambahkan, “Iya, Kirana. Dulu kita sering bareng-bareng belajar, tapi sekarang lo lebih sering sama Aurel. Kami cuma khawatir aja, lo nggak akan sama kayak dulu lagi.”
Intan yang biasanya pendiam, kali ini terlihat serius. “Aurel itu nggak seperti dulu, Kirana. Dia bukan cuma kecewa, tapi dia juga mulai mencari cara untuk balik ke posisi tiga besar. Dia sering banget ngajak kamu berdua aja, seolah-olah kita nggak ada di sini.”
Aku merasa berat hati mendengarnya. Aku tahu mereka kecewa, tapi Aurel terus memberi alasan bahwa kami harus fokus untuk mempertahankan posisi kami, seolah-olah persahabatan ini tidak penting lagi.
...
Beberapa hari setelah itu, orang tua Aurel datang ke sekolah saat aku sedang menunggu di depan gerbang untuk dijemput oleh Mamah. Kebetulan hari itu, Mamah Siska ada waktu luang untuk menjemput ku. Aku tidak menyangka mereka akan bertemu, tetapi saat itu mereka tampaknya sedang berbicara tentang kami, anak-anak mereka.
“Aurel pasti bisa kembali ke peringkat tiga besar, kan?” kata Bu Sari (Ibu Aurel), matanya berbinar penuh harapan. “Kami sudah sangat berharap agar dia bisa kembali menjadi yang terbaik. Kami ingin dia belajar lebih keras.”
Mamahku yang mendengar itu hanya tersenyum, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka. “Tentu saja, Aurel sangat pintar. Kirana juga sedang berusaha keras, jadi kita semua berharap mereka bisa tetap bersama dan berjuang di tiga besar,” jawab Mamah dengan nada diplomatis.
Aku merasa sedikit tertekan. Meskipun Mamahku mencoba bersikap biasa saja, aku tahu bahwa harapan mereka terlalu besar. Aurel yang selalu menjadi juara, kini merasa tersisih. Aku bisa melihatnya dalam sorot matanya yang mulai mengarah padaku dengan cara yang berbeda.
...
Setelah pertemuan itu, Aurel semakin sering mendekatiku, seolah mengharapkan aku bisa membantunya kembali ke posisi tiga besar. Dia mulai berbicara lebih banyak tentang bagaimana cara mempertahankan peringkat dan lebih sedikit tentang persahabatan.
“Kirana, kalau kita belajar lebih intens, kita bisa masuk tiga besar lagi, kok. Kamu pasti bisa bantu aku,” katanya suatu malam saat kami duduk di ruang kelas kosong, jauh dari teman-teman lainnya.
Aku mulai merasa cemas. Aku tahu aku ingin membantu Aurel, tapi aku juga merasa ada yang salah. Aurel tidak lagi memperlakukan aku seperti teman biasa, melainkan lebih seperti seseorang yang harus dia ajak berjuang untuk mengembalikan posisinya.
...
Beberapa hari kemudian, Dinda, Salsa, dan Intan mulai berbicara satu sama lain. Mereka merasa terabaikan dan cemas dengan perubahan yang terjadi pada hubungan kami.
“Kok Kirana jadi lebih dekat sama Aurel, sih?” Dinda bertanya, suara penuh kecewa. “Apa dia lupa sama kita?”
Salsa menggelengkan kepala. “Gue juga nggak ngerti. Sejak Aurel mulai ngajak Kirana berdua aja, kita jadi kesulitan deh. Rasanya kayak kita bukan bagian dari tim ini lagi.”
Intan yang biasanya lebih sabar, kali ini terlihat bingung.
“Aku cuma takut, nanti kita semua jadi terpecah. Kirana itu sahabat kita, tapi Aurel selalu mencari cara untuk menariknya jauh dari kita.”
...
Aku tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, aku ingin membantu Aurel, tetapi di sisi lain, aku tahu aku sedang mengorbankan hubungan dengan teman-temanku yang sudah lama bersama. Marvin yang menyadari perubahan ini, mencoba untuk menengahi, meskipun dia juga merasa bingung dengan situasi yang terjadi.
“Kirana, Aurel bukan satu-satunya temanmu, kamu tahu kan?” kata Marvin suatu hari, ketika kami berdua sedang duduk di luar kelas.
“Aku tahu kamu ingin bantu dia, tapi jangan sampai kamu mengabaikan yang lain. Dinda, Salsa, dan Intan itu teman-temanmu juga. Jangan biarkan semuanya berubah karena peringkat.”
Aku mengangguk pelan, namun hatiku terasa berat. Aku tahu aku harus memilih jalan yang benar, tetapi saat itu aku merasa terjepit di antara harapan orang tua, Aurel, dan persahabatan yang semakin renggang.
...
Keesokan harinya, aku berbicara dengan Aurel.
"Aurel, aku nggak bisa terus menjauh dari teman-temanku. Mereka juga penting buatku," kataku.
Aurel terdiam, menyadari bahwa aku tidak bisa mengorbankan persahabatan yang sudah terjalin lama.
Namun, seiring berjalannya waktu, Aurel mulai merasa usahanya sia-sia. Perasaan kecewa dan cemburu semakin mendalam, dan akhirnya, dia mulai menjauhkan diri dariku. Seiring waktu, aku mulai merasakan ada jarak yang semakin lebar antara kami, meskipun dia tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. Terkadang, aku merasa seperti ada yang berbeda, seolah-olah aku tidak lagi menjadi bagian dari dunia yang dulu kami bagi bersama. Aurel mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Citra, seolah kedekatannya denganku mulai memudar.
"Hadeh udah deh emang harusnya dari awal gue gak harus maksain buat deket sama lo, Kirana. Lo emang gak bisa diajak kerjasama." Kata Aurel.
"Maksud?" Tanyaku.
"Ya sebenernya gue udah muak sama sifat ke kanak-kanakan lo itu Kirana. Lo tuh anak nya manja, bawel, egois, lo juga selalu bercanda gak jelas. Iya sih temen yang lain bisa ketawa bahagia sama candaan lo, tapi bagi gue candaan lo garing tau gak dan kesannya itu lo caper!"
"Maksud kamu anggep aku caper, caper gimana, jelasin?" Tanyaku sedikit kesal.
Aurel menatapku tajam "Orangtua gue selalu ngebandingin gue sama lo semenjak lo rebut posisi gue di peringkat tiga!"
Aku terdiam, mencoba menahan emosi. "Aurel, aku gak pernah punya niat buat ngerugiin kamu atau bikin orangtua kamu ngebandingin kita. Aku bahkan gak tau mereka kayak gitu itu."
"Makanya gue sekarang lebih milih temenan sama Citra. Dia gak kayak lo, sifat lo terlalu ribet buat dingertiin!" ucapnya dingin.
Aku menarik napas. "Aurel, aku gak ngerti kenapa ini semua jadi sebesar ini. Kalau aku salah, aku minta maaf, tapi aku gak pernah bermaksud buat nyakitin kamu."
Aurel berbalik pergi ke arah Citra yang sudah menunggunya.
Aku menatap punggung mereka sejenak, lalu memutuskan untuk berbalik arah, mencoba menjauh dari suasana yang terasa semakin berat. Namun, langkahku terhenti ketika seseorang menarik lenganku.
Aku menoleh dan melihat Marvin berdiri di depanku, menatapku dengan sorot mata serius. "Kirana, tunggu. Aku mau ngomong," katanya pelan namun tegas.
Aku terdiam, menatapnya dengan bingung, tetapi membiarkan dia melanjutkan.
"Ada apa, Marvin?" tanyaku, mencoba menenangkan hatiku yang masih terasa kacau.
Marvin membawaku ke tempat biasa *tim kupu-kupu dan tim lion* kumpul. Ternyata mereka sudah menungguku disana.
"Duduk sini Kirana, mereka semua nyariin kamu." Ucap Marvin sedikit dingin, lalu ikut duduk di dekatku.
Dinda, Salsa, dan Intan langsung memeluk ku. "KIRANA KITA KANGEN BANGET" ucap mereka serentak.
Mereka melihat aku yang semakin terpuruk, menyesal dan terus-menerus menyalahkan diri sendiri.
“Kirana, jangan terlalu keras sama diri sendiri. Aurel yang berubah, bukan kamu,” kata Marvin, mencoba mempositifkan aku di-iyakan teman yang lain.
Mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasa terluka dan aku tidak bersalah dalam hal ini. “Kami tahu ini bukan salahmu, Kirana. Ini semua karena Aurel yang terlalu fokus pada peringkatnya,” kata Gayatri, meyakinkanku.
Aku merasa lega, meskipun hatiku masih berat. Aku tahu aku tidak sepenuhnya bersalah, namun rasa kehilangan itu tetap ada. Tak lama setelah itu, Aurel dikeluarkan dari *Tim kupu-kupu* karena sikapnya yang merusak persahabatan dalam kelompok. Keputusan itu semakin menguatkan perasaanku bahwa persahabatan sejati tidak bisa dibangun di atas ambisi yang berlebihan.