Kael Lancaster seorang komandan angkatan laut dan pengusaha besar, selalu menjadikan keluarganya sebagai pelabuhan hatinya. Ia yak pernah lupa menyelipkan cinta untuk sang istri Aeliana meskipun tak secara terang-terangan. Suatu hari Aeliana menemukan surat yang isinya terkesan mesra. Kecurigaan mulai menggerogoti hatinya dan bayang-bayang perselingkuhan merusak kepercayaannya. Di sisi lain, Kael tak menyadari kecurigaan istrinya. Ia berusaha menghadirkan kebahagiaan untuk wanita yang ia cintai. Apakah cinta mereka mampu bertahan melawan badai kesalahpahaman? atau akankah pernikahan karam oleh ombak curiga tak bertepi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arik Tri Buana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Ketakutan Yang Terpendam
Ketakutan yang Terpendam
Juvel akhirnya menemukan Aeliana si ruang keluarga, sedang duduk dengan tenang sambil menikmati teh. Ia segera mendekat dan menarik ujung bajunya.
“Ibu!”
Aeliana menoleh dan tersenyum. “Ada apa, sayang?”
Juvel hendak membuka mulutnya untuk bertanya tapi sebelum sempat mengeluarkan kata-katanya, sosok lain tiba-tiba muncul di pintu ruangan.
Ayahnya.
Juvel menoleh ke arah ayahnya yang baru saja masuk, masih mengenakan pakaian militernya yang rapi. Mata Kael yang tajam segera melirik putrinya.
“Ada apa, Juvel?” Tanyanya dengan suara tenang namun penuh wibawa.
Juvel yang tidak takut dengan ayahnya sendiri, langsung berlari menghampiri dan bertanya dengan suara polos.
“Ayah, apakah aku akan punya adik bayi?”
Kael yang baru saja ingin duduk langsung terdiam. Ekspresinya datar tapi ada sedikit ketegangan di matanya. Ia menoleh ke arah Aeliana yang juga tampak terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Wanita itu menggeleng tidak tahu.
“Siapa yang memberitahumu itu?” Tanya Kael.
“Aku mendengar para pelayan berbicara tentang itu. Mereka bilang ayah dan ibu selalu bersama setiap malam jadi mungkin akan ada adik bayi kecil Lancaster.”
Aeliana hampir tersedak tehnya dan langsung berdehem untuk menutupi rasa malunya. Sementara itu, Kael menghela napas dan mengusap wajahnya seolah sedang mencoba bersabar.
Setelah beberapa detik, Kael berjongkok hingga sejajar dengan Juvel.
“Tidak akan ada adik bayi.”
Juvel mengerutkan keningnya. “Kenapa?”
Kael menyipitkan matanya. “Karena ayah dan ibu sudah cukup dengan dua anak yang luar biasa seperti Julian dan Juvel.”
Juvel tidak puas dengan jawaban itu.
“Tapi kalau aku punya adik perempuan, aku bisa bermain boneka dengannya.”
Kael menghela napas lagi dan menepuk kepala Juvel. “Kau tidak perlu adik untuk bermain boneka.”
“Tapi kalau aku puny adik perempuan, aku bisa mendandaninya juga!”
Kael langsung berdiri tegak. “Tidak ada diskusi lebih lanjut.”
Juvel mendesah kecewa. Ia menoleh ke arah Aeliana seolah meminta bantuan tapi ibunya hanya tersenyum lembut dan mengangguk seakan setuju dengan pendapat ayahnya.
...…...
Malam itu, Aeliana bersandar di dada bidang Kael. Di luar, angin malam berbisik lembut, membawa suasana yang begitu damai. Namun ada satu hal yang masih mengganjal di benaknya. Pertanyaan yang dia tahan sejak percakapan Kael dan Juvel tadi siang.
“Kael, kenapa kau begitu yakin tidak akan ada adik bayi?”
Kael yang awalnya memejamkan mata langsung membuka perlahan. Jari-jarinya yang tadinya membelai lembut rambut istrinya terhenti.
“Kenapa kau menanyakannya?”
Aeliana mendongak, menatap wajah suaminya yang selalu terlihat tampan dan memesona.
“Karena aku penasaran. Kau tidak pernah benar-benar menjawabnya saat Juvel bertanya. Kau hanya menolaknya begitu saja, apa ada alasan lain?”
Kael menelan ludah dengan susah payah. Ia tidak menyangka Aeliana akan mengangkat topik ini. Dan saat ini ia mencoba mencari jawaban yang tepat, pikirannya justru ditarik ke masa lalu, ke saat -saat Aeliana melahirkan. Momen itu masih begitu jelas di kepalanya.
-flashback
Ia berdiri di depan pintu kamar dengan tangan mengepal kuat. Di dalam ruangan, terdengar suara jeritan istrinya, penuh dengan rasa sakit yang tidak bisa ia bayangkan. Kael yang biasa menghadapi perang, yang terbiasa dengan suara peluru dan jeritan para prajurit yang terluka, merasa tubuhnya melemah saat mendengar suara wanita yang paling dicintainya menderita.
Setiap kali Aeliana menjerit, setiap kali dokter dan bidan memberikan instruksi, setiap kali helaan napas Aeliana yang tersengal-sengal, Kael merasa jantungnya diremas begitu kuat hingga hampir tak bisa bernapas.
Ia merasa tercekik.
Ia ingat pada saat itu, pikirannya dipenuhi oleh artikel yang sempat dibacanya di koran beberapa waktu lalu tentang risiko melahirkan.
“Dua dari sepuluh wanita meninggal saat melahirkan.”
Ia tidak bisa melupakan statistik itu. Angka itu menempel di kepalanya, berputar-putar tanpa henti.
Skenario terburuk terus menghantuinya. Bagaimana jika Aeliana tidak selamat? Bagaimana jika dia kehilangan wanita yang paling dicintainya?
Ketika akhirnya suara tangisan bayi menggema di ruangan dan ketika dokter mengatakan bahwa ibu dan bayinya selamat. Kael baru bisa bernapas kembali. Namun ketakutan yang ia rasakan saat itu tidak pernah benar-benar hilang.
Sejak saat itu, ia mengambil keputusan tanpa ragu. Ia tidak butuh anak lagi. Ia hanya membutuhkan Aeliana. Wanita ini lebih berharga daripada segalanya.
-flashback off
“Kael?”
Suara Aeliana membawanya kembali ke masa kini. Kael menunduk, menyadari bahwa ia telah terdiam terlalu lama. Aeliana masih menatapnya, menunggu jawaban.
Kael mengulurkan tangan, menggenggam tangan istrinya erat.
“Aku takut…. Aku takut kehilanganmu. Saat kau melahirkan Julian dan Juvel. Aku tidak pernah merasa lebih takut dalam hidupku. Aku hampir gila mendengar jeritanmu di balik pintu. Aku tidak ingin mengalami itu lagi.”
Aeliana membeku.
Kael menatapnya dalam. Seolah-olah memastikan bahwa Aeliana benar-benar memahami ketakutannya.
“Aku tidak peduli dengan jumlah anak yang kita miliki. Yang aku pedulikan hanya kamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Jadi aku tidak akan mengambil risiko kehilanganmu lagi.”
Aeliana merasakan hatinya mencelos. Air mata mengenang di pelupuk mata Aeliana. Ia mengulurkan tangan dan membelai wajah suaminya dengan lembut.
“Kael…”
“Jangan memaksaku mengubah keputusanku. Aku tahu mungkin kau menginginkan lebih banyak anak tapi aku…aku tidak bisa mengambil risiko itu.”
Aeliana menggigit bibirnya. Ia ingin membantah, ingin mengatakan sesuatu tapi saat melihat ekspresi Kael yang begitu serius. Ia tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diubah secara mudah.
“Baiklah, Kael.”
“Apa?”
“Aku tidak akan membahas ini lagi. Jika itu adalah keputusanmu maka aku akan menghormatinya.”
“Terima kasih.”
Mereka mungkin tidak akan memiliki anak lagi, tapi itu tidak masalah. Yang terpenting mereka memiliki satu sama lain. Dan itu sudah lebih dari cukup.
...…....
Lista menatap bayangannya di cermin. Wajahnya kini tampak lelah dan penuh luka. Pipinya sedikit membengkak, sisa dari tamparan kasar yang diterimanya tadi malam.
Ia menelusuri luka itu dengan jemarinya yang gemetar. Penyesalan yang terlambat menimpanya. Awalnya Lista mencintai Anton dan Lista berpikir Anton juga mencintainya tapi itu hanya khayalan semu. Dia menikahinya karena satu alasan, ia tidak ingin kalah dari Kael.
Ketika pria itu tahu bahwa Kael pernah memiliki perasaan untuk Lista, dia segera melamarnya hanya untuk memuaskan egonya. Dan ketika pernikahan mereka tidak membawa dampak apa pun pada Kael, ketika Kael tidak menunjukkan rasa penyesalan atau kepedulian sedikit pun terhadap hubungan mereka, kemarahan pria itu mulai meledak.
Ia melampiaskannya pada Lista. Setiap kata kasar, setiap hinaan , setiap pukulan yang tak dapat dihindari. Saat itulah ia kabur dari rumah dan satu-satunya tujuannya adalah Kael. Ia sangat senang saat Kael membiarkannya tinggal.
Pria itu seakan memberinya harapan tapi itu lagi-lagi hanya khayalan Lista semata.