NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: Bullying

"Semoga aku tidak terlambat, Tuhan," ujar Raya sambil berjalan tergesa-gesa menuju kelasnya.

Namun, sayangnya, di tengah berbagai pikiran yang menguasai benaknya, ia harus kembali menghadapi masalah yang tidak ada habisnya, mulai dari rumah hingga kini, di kampus. Rasanya, seperti ada saja yang menghalangi jalan hidupnya.

"Heeeeyyy..." ujar seorang wanita yang mendekati Raya dengan wajah penuh rasa arogan. Raya menghentikan langkahnya, mengenali siapa wanita yang ada di hadapannya itu.

"Songong banget sih lo," ujar salah satu wanita lain yang tampak sejalan dengan wanita pertama, nada suaranya penuh dengan sindiran.

"Lo bisu ya, beg*?" ujar wanita yang kesal karena Raya tidak kunjung membalas.

"Akhhh..." Rintihan keluar dari mulut Raya saat rambutnya ditarik dengan kasar oleh wanita yang berada di hadapannya itu.

"Dasar cewek beg*... Gue panggil-panggil dari tadi, nggak ada jawaban, lo jadi orang jangan songong, deh. Berasa banget nih kampus punya nenek moyang lo!" ujar wanita lainnya, mengejek dengan nada tinggi.

"Udah lah, Na, ayo bawa ke tempat biasa, kita kasih pelajaran ke cewek songong ini," ujar seorang wanita yang sejak tadi berdiri di samping wanita itu.

"Jangan... Tunggu, kak... Aku harus masuk kelas. Kalau nggak, aku pasti terlambat. Ini sudah terlalu siang, aku pasti terlambat!" ujar Raya, memohon agar masalahnya tidak semakin panjang. Meski suaranya hampir hilang dalam kepanikan, ia berusaha tegar.

"Ehh... Emang kita peduli kalau lo telat, hah? KAGAK!!!" teriak wanita itu sambil tetap menyeret tangan Raya, memaksanya untuk mengikuti langkahnya.

Tak butuh waktu lama, kini ketiga wanita itu sudah sampai di rooftop kampus. Tempat yang selama ini menjadi lokasi aksi bullying mereka terhadap mahasiswa dan mahasiswi yang dianggap lemah atau berbeda. Di sini, mereka merasa punya kekuasaan untuk menghancurkan orang yang tak sejalan dengan mereka.

Mereka bahkan sudah tidak segan-segan lagi melakukan tindakan yang lebih kejam. Ada satu mahasiswa yang meninggal dunia beberapa waktu lalu akibat ulah mereka. Namun, seperti biasa, hukum di negeri ini tampaknya hanya berlaku untuk orang-orang yang lemah. Meski keluarga korban sudah berusaha meminta pihak berwajib untuk menyelidiki lebih lanjut, kasus itu tak pernah dibawa ke pengadilan. Uang dan kekuasaan memang bisa mengubah segalanya, dan kenyataannya, yang kuat selalu bisa melangkahi yang lemah.

"Akhhhh..." Raya merintih lagi saat lututnya menyentuh lantai semen yang kasar itu.

"Heii, siapa nih?" Seorang pria yang sejak tadi duduk di ujung rooftop sambil memainkan ponselnya, tiba-tiba menyapa.

"Mainan kita! Gue rasa dia cocok banget buat jadi mainan kita hari ini," ujar Anna, yang dengan santainya menggiring pembicaraan.

"Tiba-tiba?" tanya Arif, yang mulai merasa aneh dengan situasi ini.

"Biasalah... Si cantik ini berlagak sok jagoan di depan kita," jawab wanita lain yang ikut bergabung, menambahkan kekesalan pada Anna.

"Wow, Anna... Dia cantik juga, tapi kenapa lo sebut dia cewek songong?" ujar Arif sambil mengejek, matanya tak lepas dari Raya.

"Udah deh, Arif. Gue nggak mau ngomong panjang lebar. Lo tahu kan, gue butuh izin dari Arka," kata Anna, matanya menyipit.

"Dia belum datang. Mungkin lima menit lagi. Tapi, lo yakin Arka setuju kalau kita main-main sama cewek ini? Dia kan biasanya pilih - pilih loh," tanya Arif, sedikit ragu.

"Dia setuju kok... Nih, liat aja," kata Citra, yang tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan yang diterimanya.

"Seriusan, nih? Biasanya Arka lebih hati-hati, kan?" tanya Anna dengan tatapan tak percaya.

"Entahlah... Mungkin Arka juga lagi butuh hiburan. Gue denger dia ada masalah sama cewek penghibur yang minta pertanggungjawaban," ujar Citra, santai seperti nggak ada beban.

"Cewek penghibur?" Anna terlihat penasaran.

"Ehm... Cewek itu hamil," jawab Citra sambil mengangkat bahu.

"Hamil? Hahahaha," Arif langsung tertawa terbahak-bahak, diikuti tawa Anna yang hampir terbatuk.

"Bapaknya siapa, nih? Yang dimintain pertanggungjawaban siapa? Gila banget tuh cewek," ujar Arif, masih tertawa-tawa.

"Ya biasa lah, cewek-cewek murahan gitu," Citra menanggapi dengan santai.

"Ok, deh... Kita mulai dari mana?" tanya Anna, semangat seperti anak kecil yang baru dapet mainan baru.

"Main truth or dare aja, yuk. Gue rasa itu bukan permainan yang ngebosenin," kata Citra sambil menyeringai, memberikan usulan.

"Yuk, main... Tapi inget, jangan sampai dia kenapa-napa dulu, ya. Soalnya Arka belum datang," ujar Arif dengan serius, yang langsung disetujui oleh Anna dan Citra.

"Oke, gue yang mulai!" ujar Arif dengan penuh semangat, lalu memutar botol di atas meja. Botol itu akhirnya berhenti dan mengarah ke Anna. Arif yang melihat itu tersenyum penuh arti.

"Okay, Anna.. Truth or dare?!" tanya Arif dengan suara penuh tantangan.

"Truth..." jawab Anna sambil tersenyum bangga.

"Siapa orang pertama yang menikmati tubuh lo?" tanya Arif tanpa ragu, memberikan pertanyaan yang mengejutkan.

"Oh my God... Ini pertanyaan jebakan," ujar Anna sambil terkekeh geli, seolah pertanyaan itu adalah hal yang wajar saja.

"Martin," jawab Anna dengan bangga.

"Siapa Martin?" tanya Arif penasaran.

"Ketua BEM tahun lalu," jawab Anna, tetap dengan nada percaya diri. Citra tertawa mendengar jawaban itu. Dia tampaknya tidak percaya dengan apa yang baru saja diungkapkan.

"Hahaha... Berarti gue yang keberapa?" ujar Arif dengan nada bercanda.

"Emmm... I don't know, yang pasti bukan yang terakhir," jawab Anna sambil tertawa, merasa santai dengan suasana.

Raya, yang duduk di antara mereka, hanya diam dan menunggu apa yang akan mereka lakukan padanya. Dia tahu betul bahwa para kakak tingkatnya ini tidak mungkin hanya membiarkannya menonton permainan mereka begitu saja.

"Oke, sekarang giliran gue!" ujar Anna sambil memutar botol. Botol itu berhenti dan menunjuk ke arah Citra.

"WHAT? Giliran gue?" ujar Citra dengan nada terkejut yang terkesan di buat - buat .

"Truth or dare?" tanya Anna dengan semangat.

"Me? Dare!" jawab Citra dengan senyum sumringah, siap dengan tantangan.

"Baiklah... Sekarang, lo cium Arif, itu tantangannya," ujar Anna sambil tersenyum penuh arti. Citra tampak tidak terkejut dengan tantangan itu. Dia perlahan berjalan mendekat dengan langkah menggoda, menuju Arif yang sedang duduk santai dengan kaki terlipat di samping Anna.

"Permisi, Tuan... Saya ingin menjalankan tantangan saya," ujar Citra dengan suara menggoda. Anna yang mendengar itu hanya terkekeh geli.

"Sure, Nona!" jawab Arif tanpa ragu, lalu langsung melumat bibir Citra dengan penuh gairah. Raya, yang menyaksikan aksi tersebut, segera memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin melihat apa yang tidak seharusnya dia lihat. Namun, kejadian itu menarik perhatian Anna, yang dengan cepat berucap dan menghentikan aksi Citra dan Arif yang sedang sibuk berciuman.

"Kenapa lo? Pengen juga kaya gitu, huh?" ujar Citra, membuat Raya tertegun.

"Aku hanya tidak mau lihat," jawab Raya, berharap ucapannya tidak akan jadi masalah. Sayangnya, harapannya itu sia-sia, karena tiba-tiba tamparan keras melayang di pipi kanannya.

"Munafik..." ujar Citra sambil tertawa sinis.

"Lo kira lo itu malaikat, huh? Sok suci banget, loh jamet. Cewek kampung murahan gitu aja sok-sokan ngomong kaya gitu. Bukannya cewek kaya lo sering jual diri di tempat-tempat umum, hahaha. Nggak mau lihat karena dia bukan Om-om, kan? Cewek jamet kaya lo kan sukanya sama Om-om," ejek Citra, lalu tamparan kedua mendarat dengan sempurna di pipi Raya. Raya hanya memegangi pipinya, menahan rasa sakit yang bercampur panas akibat tamparan keras itu.

"Hey, sudah-sudah!" teriak Arif, melihat pipi Raya yang mulai memerah.

"Kesel banget gue sama cewek satu ini," ujar Citra dengan nada jengkel.

"Sudah, kita lanjutkan!" kata Anna, berusaha mengalihkan perhatian mereka. Dia kembali memutar botol tersebut, yang akhirnya mengarah kepada Citra lagi.

"Lah... Kok gue lagi?" ujar Citra, masih kesal karena kejadian barusan.

"Jadi, truth or dare, Citra?" tanya Anna, tetap tersenyum.

"Dare..." jawab Citra dengan nada menantang, meski emosinya belum sepenuhnya hilang.

"Lakukan tiga hal yang ingin kamu lakukan pada dia," ujar Anna, sambil tersenyum licik. Citra yang mendengar itu tersenyum lebar, lalu menatap Raya yang masih terdiam, menunggu apa yang akan dilakukan Citra padanya.

"Pertama, gue mau..."

PLAK! PLAK! PLAK!

Tiga tamparan mendarat dengan keras di pipi Raya, menggores kulit halusnya. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibir Raya. Raya mengusap darah yang keluar dari hidungnya, namun justru semakin banyak darah yang mengalir.

"Astaga, Citra! Lo nggak kasian apa? Hidung dia bisa patah, gimana?" ujar Anna dengan tawa pelan, disahuti gelak tawa dari Arif.

"Kejam banget lo, Cit! Kita belum puas main-main, lo udah langsung nendang gitu aja," ujar Arif, masih terbahak.

"Hahaha, serasa jadi psycho gue," ujar Citra sambil kembali duduk, meskipun matanya tetap terarah ke Raya yang meringis menahan sakit.

"Oke, are you ready, guys?" ujar Arif, lalu mulai memutar botol itu lagi. Akhirnya, botol itu berhenti dan mengarah ke dirinya sendiri. Anna dan Citra tertawa lepas, merasa puas dengan apa yang baru saja terjadi pada Arif.

"Oke, baby. Truth or dare?" tanya Anna dengan nada gemulai.

"Eummm... Truth deh," jawab Arif dengan santai.

"Sialan lo, curang!" ujar Anna sambil memanyunkan bibirnya, sedikit kesal.

"Hahaha, pilihan yang tepat. Gue yang bakal kasih pertanyaan," ujar Citra, sudah siap menjebak Arif.

"Diam lo, bocah! Biar gue yang kasih pertanyaan buat bajingan ini," ujar Anna, kesal karena tidak berhasil menjebak Arif.

"Sure, baby. Why not!" jawab Arif, tampak santai.

"Sebutin bagian mana dari wanita yang lo suka, dan yang paling bikin lo penasaran?" tanya Anna, menantang.

"Eummm... Sebenernya banyak sih, gue hampir suka semua bagian. Tapi kalau disuruh milih, gue lebih suka bagian miss V sama tengkuk belakang," jawab Arif dengan santai, tanpa rasa malu.

"Jadi, lo nggak suka bukit kembar?" tanya Anna, penasaran.

"Suka sih... Tapi gue lebih suka yang becek-becek," jawab Arif, yang langsung disambut dengan tawa geli dari semuanya, kecuali Raya tentu saja.

BEBERAPA WAKTU KEMUDIAN...

"Btw, di mana Arka? Kenapa belum datang juga? Gue udah bosen ngerjain orang ini, tapi masih aja nggak ada perlawanan. Mungkin kita harus lebih ekstrim lagi, ya?" ujar Anna, matanya bergerak cepat, mengedarkan pandangan kesana kemari, berharap bisa melihat orang yang dia tuju.

"Jangan dulu, tunggu Arka. Gue nggak mau liat dia murka. Ini aja kita udah main pukul-pukulan sama dia, semoga Arka nggak marah kalau dia liat dia udah berdarah-darah gini," ujar Arif, berbicara dengan nada agak khawatir sambil menatap ke arah Raya yang terkulai lemas, dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah segar.

"Akhh... Lo sih sensi banget. Gue bilang juga kan, jangan pukul keras-keras," ujar Citra, dengan nada menyalahkan Anna.

"Lah, kok salahin gue?! Lo juga mukulin dia tadi, Citra, bego!" jawab Anna, tidak terima dengan ucapan Citra.

"Udah, cukup diam! Nggak ada yang salah, cuma cewek bego ini aja yang lemah. Kenapa juga dia nggak ngelawan? Gue bosen main sama orang kaya dia," ujar Arka, berusaha menengahi dua wanita yang sedang saling berargumen itu.

"Sorry, gue agak telat, salah pake motor," ujar suara yang tiba-tiba muncul, kemudian terdiam begitu menatap wajah Raya yang sedang duduk terkulai, darah masih menetes dari hidung dan sudut bibirnya. Keadaan Raya benar-benar membuat suasana di sekitar mereka terasa mencekam.

"Ar..." Panggil Anna, dengan nada yang cukup tajam. Suara itu berhasil membuat Arka tersadar dari lamunannya dan kembali fokus pada teman-temannya.

"Ya... Siapa yang bawa dia?" tanya Arka, pandangannya sesekali masih melirik ke arah Raya yang terkulai lemas, tubuhnya tampak tak berdaya.

"Gue... Emangnya kenapa?" Tanya Anna dengan nada yang santai, meskipun matanya tak lepas dari sosok Raya yang tergeletak di lantai.

"Gak... Lanjutkan aja. Dia belum tepar, kenapa pada berhenti? Hari ini gue nonton aja, lagi malas ngotorin tangan," jawab Arka sambil duduk di samping Citra, wajahnya kembali mengarah ke teman-temannya dengan ekspresi yang tak peduli.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Arka, Citra, Anna, dan Arif kembali melanjutkan aksi mereka yang semakin brutal. Mereka mulai menyuruh Raya memakan dan meminum barang expired yang diletakkan di meja, hingga melakukan hal-hal konyol seperti menyuruhnya merangkak di tanah layaknya seekor anjing.

Namun, anehnya, Raya tidak pernah melawan. Dia berpikir, jika dia menurut dan menuruti mereka, mungkin mereka akan berhenti melakukan hal-hal yang tidak manusiawi ini. Namun, sayangnya, pepatah Sekali Iblis, Tetaplah Iblis itu memang benar adanya.

Walaupun Raya sudah terkulai tak berdaya lagi, mereka tetap memaksa dia untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Lebih parahnya lagi, mereka hanya tertawa terbahak-bahak saat Raya, dengan suara gemetar dan penuh rasa sakit, meminta pengampunan. Mereka tidak peduli, mereka menikmati setiap detik penderitaan yang dialami Raya.

"Bentaran guys.." ujar Arka akhirnya, dengan nada jenuh yang berhasil membuat ketiga orang yang sedang menyiksa Raya menghentikan aksinya. Mereka menatap Arka sejenak, lalu mundur dengan sedikit ragu, namun tetap dengan senyum yang sinis.

Setelah Arka mengeluarkan perintah untuk menghentikan penyiksaan, suasana menjadi sepi sejenak. Namun, tatapan mata Arka tetap tertuju pada Raya yang terkulai lemas, darah yang masih mengalir dari hidung dan sudut bibirnya membuatnya terlihat tak berdaya.

"Lo pikir, kalau lo diem, mereka bakal berhenti? Mereka gak akan berhenti bodoh, lawan mereka,," kata Arka dengan nada dingin, menatap Raya yang masih terdiam, wajahnya penuh luka.

Raya hanya menggigil, tidak bisa menjawab. Seluruh tubuhnya terasa berat, setiap gerakan begitu menyakitkan. Arka mendekat, seakan merasakan ketegangan yang masih ada di udara.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!