NovelToon NovelToon
Tetangga Gilaku

Tetangga Gilaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Enemy to Lovers
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."

"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"

Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2

Di sebuah sore yang cerah namun sibuk, jalan raya dipenuhi kendaraan yang berderet panjang. Suara klakson saling bersahutan, seperti berlomba siapa yang paling kencang suaranya. Asap knalpot bercampur dengan udara sore, menciptakan aroma khas kota yang sibuk. Sepeda motor saling selip di antara mobil-mobil yang berhenti, mencoba mencari celah untuk melaju.

Di tepi jalan, pedagang kaki lima menjajakan makanan ringan, seperti gorengan hangat dan minuman dingin, menjadi penawar lelah bagi para pengendara. Beberapa orang terlihat melamun di dalam mobil, mata mereka terpaku pada lampu merah yang terasa terlalu lama berganti. Di langit, matahari mulai tenggelam perlahan, menyisakan semburat jingga yang memanjakan mata, memberikan kontras indah di tengah kesemrawutan jalanan.

Di sana salah satu pengendara motor tampak memperhatikan suasana jalanan dengan asik, bukannya dia suka mengalami kemacetan di sore hari itu namun setiap hari dia melalui hal yang sama jadi sudah maklum. Raga menghela napasnya pertanda dia sangat lelah dan ingin cepat sampai. Sudah sekitar satu setengah jam dia berada di jalanan itu, sekitar beberapa belokan lagi dia sampai ke rumahnya.

Meski penuh keramaian, ada kehangatan tersendiri.  Raga memperhatikan seorang anak kecil di dalam angkutan kota melambai riang ke arah penjual balon. Seorang pengendara sepeda motor berbagi senyuman dengan pejalan kaki yang menunggu di trotoar. Di tengah hiruk-pikuk itu, sore tetap menjadi waktu yang memeluk semua orang, mengingatkan mereka bahwa meski macet, setiap detik tetap punya cerita.

Deru suara motor memasuki sebuah komplek yang mulai tampak sepi karena hari mulai berganti menjadi malam. Di komplek itu ada total 12 rumah saling berhadapan. Rumah Raga terletak di sebelah kiri nomor 4 dari ujung komplek. Rumah yang sudah di tempatinya dari lahir hingga dewasa sekarang.

Raga berhenti di depan rumahnya yang berpagar sederhana warna putih. Rumah itu sudah di renovasi beberapa kali, namun di dalamnya masih sama. Raga turun dari motornya yang dia parkirkan di luar garasi rumahnya. Di sampingnya rumah kosong yang sudah lama tidak berpenghuni kini terlihat ada kehidupan.

Raga memperhatikan rumah itu sambil menenteng tas di bahunya. Rumah yang dulu ia kenali pemiliknya.

Saat umurnya 12 tahun...

Anak perempuan itu menangis tersedu-sedu sambil menunggu seseorang di pinggir lapangan sepak bola yang ada di belakang rumahnya.

"Pulang sana!" Teriak salah seorang anak laki-laki berbaju biru yang sedang asik bermain bola dengan teman-temannya.

Tanpa ada jawaban anak itu terus menangis memegangi lututnya yang luka karena terjatuh barusan. Anak laki-laki terganggu dan menghampirinya.

"Pulang kataku! Kenapa kau terus menangis di sini sih? Mengganggu sekali."

Anak itu menatapnya dengan hidung berair dan matanya yang memerah, sambil terisak dia memegang ujung baju si anak laki-laki, "Ayo pulang bersama. Aku takut pulang sendiri." Sementara itu si anak laki-laki kesal karena ia masih ingin main.

"Lihat kakimu sudah berdarah seperti itu, pulanglah. Aku masih ingin main di sini," ucapnya sembari melihat kaki anak itu.

"Pokoknya aku mau pulang bersama!" Anak perempuan itu berteriak keras dan lanjut menangis menahan sakit di lututnya.

Anak laki-laki itu menarik kepangan rambut anak di hadapannya dengan kesal, "Kau menyebalkan!" ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan teman-temannya yang masih bermain di belakang sana, seorang anak menyadarinya dan berteriak memanggil namun tak dihiraukannya. Anak perempuan itu mengekor di belakang sambil menarik ingusnya yang terus turun.

Raga penasaran orang seperti apa yang akan menempati rumah itu. Tampak ada beberapa orang yang sedang memindahkan beberapa barang di kotak kardus dan berikutnya sebuah sofa berwarna biru di bawa masuk dengan digotong oleh dua pria berbadan gempal.

Di pekarangan seorang wanita yang mungkin berusia 40-an sedang mengawasi para pekerja itu. Mereka kemudian saling bertatapan dan sang wanita melemparkan senyuman ramah yang dibalas juga oleh Raga. Raga berpikir seperti menimbang sesuatu yang sepertinya tidak pernah melihat ada pengumuman apa-apa disekitaran rumah itu bahwasannya rumah itu akan dijual.

Tiba-tiba datang seorang pria berusia 55 tahun memakai kemeja berwarna merah hati dengan celana kain hitam lengkap dengan tas pinggangnya berhenti di depan pagar Raga.

"Aku tidak tau rumah itu dijual," ucapnya sambil membuka pagar Raga dan masuk menghampirinya yang sedang berdiri di samping tembok pembatas dengan rumah di sebelahnya.

"Saya juga rasanya tidak pernah lihat pak, mungkin yang pindah salah satu saudara mereka," ucap Raga beralih pandangan pada pria di sampingnya yang ia kenal sebagai pak RT di komplek itu.

"Bisa jadi seperti itu. Oh iya kau sudah kenal dengan penghuni rumah baru yang ada di ujung sana ? Dia janda beranak satu. Orangnya ramah, beberapa kali mengirimkan makanan ke rumahku." Pak RT melemparkan pandangan pada rumah yang terletak di ujung sana.

"Wah saya saja baru tau ada yang pindah pak. Saya selalu pulang larut beberapa hari ini," ucap Raga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jangan kerja terus Ga. Ingat hidup itu harus seimbang biar tidak stress." Pria itu meliriknya sambil lalu masih memperhatikan kegiatan di rumah sebelah.

"Mau bagaimana lagi pak, kerjaan menumpuk kalau tidak diselesaikan juga bikin stress," ucap Raga menghela napas.

"Ya sudah, saya pamit dulu mau siap-siap ke mesjid." Pak RT menepuk pelan pundak Raga dan melangkah keluar.

Raga bergegas masuk ke dalam rumahnya. Dia melemparkan tasnya perlahan dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Di bawah kakinya terdengar suara mengeong, Raga melirik sebentar dan mendapati kucingnya Biu sedang mengaruk-garuk celana jeans-nya tanda ia minta makan pada pria itu.

"Sabar kawan. Aku mandi dulu baru setelah itu aku akan mengurusimu," ucapnya sembari menuju tangga dan naik menuju kamarnya.

***

Lampu-lampu utama sebagian besar sudah dimatikan, hanya menyisakan beberapa cahaya redup dari lampu meja yang masih menyala. Suara riuh pekerja yang biasanya memenuhi ruangan kini berganti dengan keheningan, hanya terdengar sesekali suara mesin fotokopi yang masih beroperasi atau bunyi langkah sepatu yang bergaung di lantai.

Di sudut ruangan, terlihat seorang pekerja yang masih sibuk mengetik di depan layar komputer. Matanya sedikit sayu, namun tekadnya untuk menyelesaikan pekerjaan malam itu terlihat jelas. Di meja lain, secangkir kopi yang tinggal setengah mulai dingin, dibiarkan oleh pemiliknya yang sudah lebih dulu pulang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, namun di dalam kantor itu masih terlihat beberapa aktifitas termasuk Bri yang sedang mengetik sesuatu di komputernya. Dia masih sibuk dengan pekerjaannya dan memutuskan untuk menunda waktu kepulangannya.

Matanya sudah sangat lelah, beberapa kali dia memijat tengkuknya yang pegal karena berjam-jam terpaku di depan layar monitor. Mejanya terletak di sudut ruangan dan itu membuatnya agak sedikit khawatir dengan suasana kantor yang semakin sepi. Di meja lain terlihat Prima masih serius dengan beberapa berkas di tangannya.

Panggilan masuk Tante Dea...

Bri bergegas mengangkat panggilan tersebut, "Halo tante."

"Ya, tidak apa. Maaf jadi merepotkan tante. Harusnya Bri sendiri yang membereskan barang-barang pindahan malah jadi tante yang repot," ucap Bri pada tantenya yang ada di seberang sana.

"Baik tante. Terima kasih tante Dea." Bri mematikan ponselnya dan membuka sebuah buku catatan miliknya berwarna jingga.

Di dalamnya ada sebuah tulisan dengan judul 'Pindah Rumah' dia mengamati beberapa poin yang kemarin sudah ia persiapkan guna membantu lancarnya proses pindah rumah. Sekitar sebulan yang lalu dia masih tinggal di rumah tante Dea. Setelah mendapat pekerjaan baru dia memutuskan untuk pindah rumah karena jarak dari rumah tante ke lokasi kantornya sangat jauh.

Awalnya Bri ingin pindah ke kosan saja, ketika hari pertama bekerja dia sudah mensurvei beberapa kosan yang terdapat di sekitar kantornya namun setelah berunding dengan tantenya ia pun memutuskan untuk tinggal di rumah itu.

Rumah peninggalan mendiang orang tua Bri yang kuncinya di pegang oleh sang tante, rencananya nanti akan diberikan pada Bri jika dia menikah nanti.

Karena kesibukannya di kantor, tantenya membantu proses pindahan Bri. Sejujurnya dia sungkan tapi barangnya cukup banyak serta banyak perabotan di rumah itu harus diganti dan Bri tidak punya banyak waktu untuk mengurusnya.

1
Siska Amelia
okayy update kok dikit dikit
lilacz
dari segi alur dan penulisan membuat aku tertarik
lilacz
jgnn lama-lama update part selanjutnya ya thor
Karangkuna: terima kasih untuk dukungannya :)
total 1 replies
ulfa
wah genre favorit aku, dan ceritanya tentang enemy to lovers. ditunggu next part ya kak. semangat /Smile/
Karangkuna: happy reading, terima kasih sudah mampir :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!