Seorang gadis mandiri yang bernama Permatasari Anindya atau biasa dipanggil Sari, selalu gagal dalam menjalin hubungan.
Namun saat, ia mantap dengan pilihannya, tiba-tiba malapetaka itu terjadi, persis di tengah keraguan pada kekasih pilihannya yang tertangkap basah tengah bersama wanita lain.
Malapetaka yang membawanya pada seorang pria brengsek, yang telah mengikatnya diam-diam. Pria brengsek yang mulai candu akan tubuh Sari.
Siapakah pria brengsek itu? Siapakah pria yang Sari pilih? dan apakah ia akan bahagia?
Simak lagi ya guys
"Istriku Canduku 2"
Part David Sari
sebelumnya "Istriku Canduku" Part Mario Inka.
Novel ini novel dewasa, mengandung unsur 21+
Mohon untuk bijak membacanya 🙏
Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menerima balasan
Sari terdiam. Ia berpikir dengan apa yang baru saja Rama ucapkan. Ia kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menarik nafasnya kasar. Dulu, Rama memang pria pilihannya. Ia sangat senang dan berbunga-bunga, ketika Rama melamarnya di sebuah Restoran dengan romantis, tapi kini ajakannya menikah tak berarti lagi di hatinya. Rama bukan lagi pria untuk di pilih. Sejenak Sari berpikir lagi. David pun bukan pilihannya. Namun, dengan kondisi yag seperti ini, masih bisakah dia memilih yang terbaik? Sepertinya tidak.
“Aku tidak tahu, Mas.” Jawab Sari.
“Saat ini, yang ku inginkan adalah pulang, kembali ke flat Salsa.” Ujar Sari lagi.
“Tapi, bagaimana kamu bisa keluar, sementara di luar sana, orang bertubuh besar itu tidak tidur untuk menjagamu.” Kata Salsa.
“Nah, itu dia, Sa.” Rengek Sari.
“Aku punya ide, untuk membawamu keluar.” Sambung Rama.
Saat ini, Rama memang tak bisa memaksa Sari, tapi ia akan tetap membantunya. Ia akan membantu Sari dalam hal apapun, untuk meraih simpatinya kembali, terutama sebagai penebus maaf atas dosanya pada Sari.
“Aku akan keluar terlebih dahulu, lalu kamu dan Salsa keluarlah beberapa menit kemudian, dengan alasan ingin jalan-jalan di taman rumah sakit. Aku menunggu di luar untuk membawamu pergi dari sini.” Ucap Rama yang langsung di angguki Sari juga Salsa.
Sari tidak ingin tinggal di apartemen David, ia ingin kembali ke flat milik Salsa. Walau pun flat itu kecil, tapi sangat bersih dan nyaman, dan satu lagi, tidak ada si mata biru itu.
“Sar, kamu beritahu si David dulu.” Ujar Salsa, setelah Rama keluar dari ruangan itu.
“Ya, kamu izin kalau kita jalan-jalan ke taman.”
“Ngapain, aku malas telepon dia, Sa.”
“Supaya dia tidak curiga, Sar.”
Sari mengangguk. Saat ini ia memang butuh sendiri. Ia butuh ketenangan untuk bisa memikirkan lengkah apa yang akan ia ambil, karena saat ini pikirannya sedang buntu.
Sari meraih ponselnya. Ia menelepon David dengan panggilan video call.
Tut.. Tut.. Tut..
David sedang berbincang dengan Brian di sebuah mall, ia merogoh saku celananya dan melihat nama yang tertera pada layar itu dan langsung mengembangkan senyum.
“Kenapa lo? Kesambet tiba-tiba nyengir.” Kata Brian.
“Sebentar ya, Bro. Gue terima telepon itu.” David menjauh dari Brian.
“Hai, Sayang.” Bibir Sari langsung mencibir, mendengar kata itu dari mulut David.
“Hmm.. Di sini ada Salsa.” Sari menunjukkan wajah Salsa pada layar ponselnya. David pun sudah tahu siapa Salsa.
“Lalu?” Tanya David.
“Aku bosan, aku ingin ke taman bersama Salsa.”
Sejenak David terdiam.
“Boleh, tapi tetap dengan pengawasan orangku.”
Sari mengangguk.
“Baiklah.” David mengangguk.
“Terima kasih.” Lalu Sari mencoba ingin menutup sambungan telepon itu.
“Tunggu!” Teriak David.
“Apa?” Tanya Sari dengan menampilkan wajahnya lagi di sana.
“Miss you, Mmuuacch.” David mengerucutkan bibirnya untuk mengecup.
Sari kembali mengeryitkan dahinya, lalu memutuskan penggilan telepon itu sepihak.
Salsa hanya tertawa melihat adegan romantis itu.
“Bule itu sepertinya tergila-gila padamu, Sar.” Kata Salsa meledek.
“Emang, dasar bule gila.”
Keduanya tergelak.
Salsa sudah membawakan kursi roda untuk Sari.
“Ayo, kita keluar!”
Sari mengangguk dan menduduki kursi itu.
****
Di sebuah mall, yang merupakan mall milik David, ia duduk bersama Brian, teman dekatnya semasa kuliah di Inggris dulu. Saat ini Brian pun sedang meninjau hasil penjualan jewelery miliknya yang berada di mall itu.
“Telepon dari siapa sih? Langsung senyum-senyum sendiri gitu.” Ledek Brian sambil menenggak minuman bersoda di tangannya.
David tersenyum.
“Iya, gue suka banget cewek ini.”
“Siapa? Jangan bilang istrinya Mario?” Tanya Brian.
“Ya enggalah, mana mungkin Inka telepon gue.” Jawab David.
“Tapi, jujur, Dav. Lo bener pernah suka sama istrinya Mario? Ya,, emang sih dia cantik, tapi lo jangan gila lah.”
David kembali tersenyum, mengingat semua kegilaannya, termasuk kegilaannya di malam itu.
“Ya, jujur gue sempet mau ngerebut Inka dari Mario, bahkan gue bikin jalan buat ngejebak dia. Tapi takdir berkata lain, Bro. Justru sekarang gue kepincut assistennya.”
“Seriously.”
David mengangguk.
“Wah, gue masih punya banyak waktu buat denger cerita lo. Gimana ceritanya?” Tanya Brian antusias.
Lalu, David menceritakan semua kronologis malam itu, malam di mana seharusnya Inka yang terjebak, tapi justru Sari yang masuk perangkap.
“Gila lo, terus tuh cewek masih perawan?” Tanya Brian yang masih antusias menanggapi cerita David.
David kembali mengangguk, sambil meminum minumannya.
“Gue ketagihan dia, Bro.” Kata David.
“Bas*ard, lo. Anak orang tuh.” Sahut Brian.
“Justru, sekarang gue mau tanggung jawab. Gue mau nikahin dia, Bri. apalagi sekarang dia hamil anak gue.”
“Beuh, gila.. gila.” Brian masih tak percaya. Pasalnya ia sangat mengenal David, tidak ada dalam kamusnya itu suka, cinta, apalagi sampai menikahi seorang wanita.
Brian masih menampilkan jejeran giginya, ia tertawa dan menggelengkan kepalanya.
“Gue sih seneng denger lo sekarang udah mulai berubah, tapi gue sedih ya dengan nasib tuh cewek.”
“Loh kenapa sedih?” Tanya David.
“Ya, secara lo maksa dia, Bro. Lo ngga tanya dia suka sama lo apa ngga.”
“Kalau gue tanya itu ke dia, ya pasti jawabannya ngga lah. Sekarang gue emang harus maksa dia, Bri. karena gue yakin nantinya dia juga bakal cinta sama gue.”
“Dahsyat, Pe-de tingkat dewa lo.” Ucap Brian, membuat David pun tergelak, di iringi gelak tawa Brian kemudian.
Mereka saling berbincang, terkadang Brian membicarakan tentang putranya yang hampir berusia satu tahun, di tambah istrinya yang kini sudah berbadan dua lagi. Ketika mereka sedang asyik berbincang. Ada seorang pria yang menghampiri David dan memukulnya.
Bugh.
“Brengsek lo.” Pria itu masih terus memukuli David.
“Akhirnya, gue nemuin lo juga.”
Bugh.. Bugh.. Bugh...
David mendapatkan pukulan bertubi-tubi, dari mulai wajah, perut, dan kakinya.
“Rio, sabar.” Ucap Brian, sambil menahan tangan Mario yang masih ingin memukul David.
“Yo, Stop! Lo udah kaya orang kesetanan tau ngga.” Teriak Brian.
“Iya gue udah kesetanan, gara-gara kelakuan bejat temen lo.” Ucap Mario.
David masih memegang bibirnya yang mengeluarkan banyak darah. Namun, Ia tak melawan, karena ia pantas mendapatkan pukulan dari sahabatnya itu. Ia telah hampir saja merenggut kebahagiaan Mario, walau akhirnya takdir berbicara lain.
Brian memeluk tubuh Mario dan menenangkannya.
“Dav, lo pergi deh sekarang! Obatin luka lo, bibir lo ngeluarin darah terus tuh.” Ucap Brian.
David berlalu dari hadapan Mario dan Brian, tapi sebelumnya ia berkata, “Sorry, Yo.”
jd lah orang yg bisa menghargai pemberian orang lain, e tah itu ber harga (mahal) atau nggak (murah)