Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibakar Api Cemburu
Hubungan Kai dan Soya semakin hari, semakin dekat. Laiknya sebuah amplop dan perangko, keduanya semakin tak terpisahkan.
Akan tetapi, yang namanya sebuah hubungan tidak hanya selalu momen manis saja yang tercipta. Namun, terkadang kerikil-kerikil kecil pun turut menghiasi hubungan mereka, beruntung dua insan beda usia itu mampu melewati dengan baik.
Hubungan mereka pun, mereka tutupi dengan sangat baik. Mereka mampu berakting dengan rapi. Ya, tidak ada yang tahu jika Sophia adalah kekasih dari Kai Devinter saat ini. Bahkan Bruzetta dan Jayden sekalipun.
Terkadang Soya, ataupun Kai harus menahan perasaan cemburu satu sama lain meski tak terlihat. Kala ada seseorang yang mendekati pasangan masing-masing.
Seperti saat ini, hati Sophia sedang bergemuruh karena diselimuti ombak kecemburuan tatkala netranya menangkap seorang siswi yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan pada kekasihnya dengan dalih tidak mengerti soal-soal matematika yang diajarkan guru mereka, sehingga mereka meminta tolong Kai untuk menjelaskan.
Soya, gadis itu hanya tersenyum penuh makna saat gadis itu sengaja menempelkan tubuhnya pada sang kekasih hingga tanpa jarak.
“Hei, Pinguin Bantat, sejak kapan guru olahraga beralih profesi menjadi guru matematika?" tanya Bruzetta terang-terangan.
“Entah, sejak tadi mungkin, tapi menurutku semua itu percuma, iya, kan Jayden?" tanya Soya.
Jayden hanya menyeringai, “Aku tahu di dalam otak sadismu. Percuma karena mau siapapun yang menjelaskan soal matematika, kalau sekalinya goblok tetap saja goblok dan tidak akan mengerti, begitu maksudmu?"
Bruzetta sudah menyemburkan tawanya, “Sejak kapan dia rajin belajar? Hanya karena kaya belum tentu dia bisa masuk kelas unggulan. Otaknya hanya dipenuhi shopping, shopping, dan shopping saja."
“Kasihan sekali jika Pak Kai memiliki istri bodoh sepertinya yang hanya bisa menghabiskan uang saja, karena otaknya dipenuhi hal-hal bodoh tak berguna," timpal Jayden yang diakhiri dengan tawa oleh kedua sahabatnya.
Gadis yang duduk disebelah Kai itu memandang Soya dan sahabat-sahabatnya dengan wajah yang memerah. Amarah menyelimuti dirinya, tetapi nyalinya tak cukup untuk menghadapi seorang Sophia. Peraih sabuk hitam judo dan taekwondo. Sudah banyak anak yang ditumbangkan hanya dengan sekali bantingan.
Sedang Kai sendiri hanya menggelengkan kepalanya, beberapa bulan menjadi kekasih gadis itu membuatnya semakin mengenal gadisnya yang memiliki mulut mematikan jika berbicara. Tak heran julukan Satan Sophia disematkan untuknya.
Mengerti jika sedang diperhatikan, Soya membalas tatapan gadis itu dengan tatapan bengis yang tak kalah tajam.
Kai masih terus menerangkan bagian mana yang gadis itu tidak mengerti.
“Apa yang kau lihat?" tanya Jayden, mengikuti arah pandang Soya. Merasa sedikit aneh sebenarnya melihat raut wajah Soya yang tidak mengenakkan kala matanya bersitatap dengan Kai dan siswi lain yang berada di sampingnya.
“Anggap saja aku hanya memandang langit biru, tak perlu pedulikan aku," Soya menjawab dengan tatapan datar.
Gadis itu menggebrak mejanya sendiri sehingga kuah mie ayam yang sudah bercampur dengan sambal itu muncrat mengenai matanya dan mengakibatkan ia berteriak histeris.
“Auch, mataku. Panas ... pedas ... pedih!" pekik gadis itu. Kai yang berada disampingnya refleks menenangkan siswi disampingnya, mambantu membersihkan matanya yang terkena kuah mie ayam.
Dengan gerakan selembut awan tangan Kai mengusap mata gadis itu, tidak sampai di situ saja, Kai juga meniup mata sang gadis, membuat beberapa siswa yang melihatnya memekik menahan napas.
“Oh, bajingan sialan. Sepertinya kau benar Soya jika Cu Pat Kai itu adalah predator anak di bawah umur. Lihat saja baru beberapa bulan yang lalu ia bersikap manis padamu dengan menyuapimu, sekarang ia sudah melakukan hal manis dengan gadis lain," Bruzetta menyindir keras dengan suara 8 oktafnya, “mungkin sebentar lagi gadis itu akan membuka pahanya untuk Cu Pat Kai. Cih, dasar murah!"
“Bee, hentikan! Kau bisa dikeluarkan dari sekolah ini jika mengkritik terang-terangan seperti itu. Tenanglah tak perlu seperti itu, lagipula aku, tidak apa-apa," Soya berujar dengan tenang.
Tenang ... iya, dia harus tenang jangan mudah terpancing. Jika ia mudah terpancing dan berbuat lebih jauh lagi itu sama saja ia kalah.
Soya mengalihkan rasa cemburunya dengan mendengarkan lagu-lagu artis idolanya sembari makan sepiring batagor. Ia juga sedang melihat situs belanja online, rencananya ia akan membeli alat lukis yang baru. Persediaan cat juga habis.
Jayden melirik Soya matanya memandang berbagai produk yang ditampilkan di layar laptop.
“Ingin beli alat melukis lagi?" tanya Jayden yang dibalas anggukan gadis berwajah bulat itu.
“Aku juga ada urusan ke suatu tempat. Biasalah, jadi kalian nanti pulang saja lebih dulu. Tak perlu menunggguku," lanjut Soya lagi.
“Dasar orang sibuk. Hari ini kau tidak membawa motor omong-omong, lalu kau pulang dengan apa?" Jayden bertanya.
“Untuk apa pemerintah menyediakan taksi, jika tidak kita gunakan?"
Karena merasa gemas, Jayden mencubit pipi Soya hingga memerah dan menahan rasa pedih yang menjalar di sekitar wajahnya.
Bruzetta menghentikan cubitan Jayden, karena merasa kasihan dengan Anak Pinguin itu, “Jangan cubit bayiku!"
“Pelit sekali," cibir Jayden.
“Sudahlah ... aku akan masuk terlebih dulu. Sebentar lagi juga akan masuk kelas," ucap Soya sambil meninggalkan bangku kantin.
Kai hanya mampu menatap Soya dalam diam. Dia paham jika Soya sedang marah padanya lantaran diselimuti perasaan cemburu. Ia harus bicara dengan gadisnya nanti.
Kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler berjalan dengan semestinya, tak terasa sore telah datang, Soya sendiri langsung ke luar menuju halaman sekolah. Hiruk-pikuk siswa yang berhamburan keluar kelas begitu memekakkan telinga. Langkah kakinya yang jenjang membawanya ke sebuah halte menunggu sebuah taksi di sana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di bawah langit cerah berwarna biru bercampur cahaya senja berwarna keemasan, Soya masih setia menunggu datangnya taksi sembari berkirim pesan dengan Kai dengan maksud menyuruhnya pulang lebih dahulu tanpa menunggunya.
Dalam diamnya pikirannya menerawang jauh saat Kai mengajari siswi yang sengaja mencari perhatian dirinya. Hatinya berderu tergulung rasa cemburu. Akan tetapi, ia mampu menyembunyikan dengan baik.
Dalam diamnya pula, Soya mendengar suara klakson yang memecah lamunannya. Tampak sebuah mobil yang tak asing dalam penglihatannya.
“Soya, sedang apa kau di sini. Ke mana motormu?" tanya pria jangkung yang pernah mengisi dan bertahta di hatinya itu.
“Richard, aku sedang menunggu taksi dan tidak mengendarai motor hari ini, lagipula aku harus ke suatu tempat," jelas Soya lagi.
“Oh, ya. Kau mau ke mana?" Richard masih bertanya, “kalau memang ingin ke suatu tempat, aku bisa mengantarmu. Perempuan tidak baik pergi sendirian, tenang saja aku tidak akan macam-macam kok."
Soya berpikir sejenak, dalam hati ia masih curiga pada Richard, tetapi di sisi lain tawaran Richard terdengar menggiurkan karena ia bisa menghemat uang saku, “Serius, kau tidak merasa direpotkan?"
“Iya, ayo masuk. Akan kuantar ke manapun kau mau," ucap Richard dengan mimik wajah yang terlihat meyakinkan, hingga Soya mengiyakan ajakannya. Mereka masuk ke dalam mobil yang sedang dikendarai oleh Richard.
Keheningan menyelimuti suasana dalam mobil, rasa canggung yang mulai menggerogoti karena pertemuan terakhir mereka yang tidak bisa dikatakan baik.
“Soya, aku ... ehem! Aku minta maaf atas pertemuan kita terakhir kala itu. Aku ... aku sadar, tidak seharusnya aku berbuat seperti itu, karena aku menorehkan luka yang cukup dalam di hatimu. Kau mau, kan memaafkanku?" Richard menoleh pada Soya dan menatap Soya dalam.
Soya sedikit tergemap, tak menyangka Richard akan meminta maaf padanya dan suasana mobil berubah menjadi lebih canggung lagi daripada sebelumnya.
“Aku tahu kau masih merasa gundah dan aku juga tahu bahwa kau telah menemukan penggantiku. Tidak apa-apa, aku tahu kok. Kau bisa menganggap aku sahabatmu, atau bahkan kakakmu. Kita memulai semuanya dari awal dengan status yang berbeda," kata Richard, “oh ya, kau mau ke mana?"
Dengan pandangan lurus Soya menjawab, “Aku ingin membeli peralatan melukis, nanti aku akan ke butik sebentar."
“Lagi?" Richard menatap tak percaya. “Wah! Sepertinya kau sudah mulai aktif melukis lagi ya, Princess?"
“Itu merupakan terapi untukku. Kau tahu, kan, terkadang emosiku tidak terkendali dan mudah stress?" Soya balik menatap Richard. “Begitu banyak yang terjadi padaku, termasuk itu darimu, Richard."
“Aku minta maaf, oke? Kan, tadi sudah berjanji untuk melupakan semuanya dan memulai hubungan baru, hmm?" Richard berkata dengan lembut terlihat alisnya dinaikkan ke atas sedikit.
“Baiklah," jawab Soya.
Mereka bergegas menuju butik milik Soya. Ia ingin menengok butiknya sesekali. Roda mobil terus bergulir hingga sampai pada butik milik Soya. Gemerlap lampu yang menerangi bangunan butik. Desain interior yang mewah dan elegan mampu memberikan kesan nyaman.
Sophia mulai masuk ke ruangannya dan menyelesaikan pekerjaannya. Sementara Richard menunggu di sofa tunggal ruang tunggu. Jarum jam terus berjalan, 2 jam telah terlewati hingga Soya keluar dari ruangannya.
“Sudah selesai?" tanya Richard. Soya mengangguk dan berjalan mendahului Richard menuju mobil. Mereka langsung melanjutkan perjalanannya menuju toko alat-alat dan bahan untuk melukis.
Di dalam sebuah toko alat-alat lukis, Soya memilih alat-alatnya sesekali Richard membantu memberikan masukan. Disela-sela kegiatan mereka memilih alat lukis, Richard dan Soya terlibat dalam candaan yang dilontarkan satu sama lain.
Bahkan beberapa kali Richard mengusap sayang rambut Soya.
Mereka tidak menyadari jika sedari tadi ada sepasang mata yang menatap tajam kedekatan mereka, dengan kedua tangan yang mengepal kuat menahan rasa cemburu yang hampir membumbung tinggi.
“Sialan!" umpatnya.
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.