NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:592
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mencari Harapan di Tengah Kesulitan

16.1. Harapan Baru

Di dalam gelap malam, kerumunan itu berkumpul di sekitar lilin yang menyala, cahaya kecil itu berusaha menerangi suasana penuh kecemasan. Wajah-wajah mereka tampak letih, dengan bekas keputusasaan di mata masing-masing. Diskusi berlangsung hangat, tetapi kegalauan tetap menghantui.

“Bagaimana jika kita terus begini?” tanya Lina, suaranya bergetar. “Mau sampai kapan kita bergantung pada makanan yang ada? Kita butuh rencana jangka panjang.”

“Setuju,” sahut Rahmat, mengangguk. “Kondisi seperti ini tidak bisa bertahan selamanya. Kita harus menemukan cara untuk bertahan hidup lebih baik.”

Hasan, lelaki berperawakan sedang yang selalu tenang, mengangkat tangannya. “Aku punya ide,” ujarnya. “Bagaimana kalau kita bercocok tanam dengan peralatan seadanya?”

Gema ragu terdengar di antara mereka. “Tapi, di mana kita menemukan benih atau bibitnya?” tanya Rahmat skeptis.

“Benih bisa kita cari di sekitar sini,” Hasan menjelaskan. “Ada kemungkinan beberapa tanaman masih bertahan di luar. Kita bisa mencari sayuran liar atau biji-bijian dari bangunan yang mungkin terabaikan.”

Ulama yang mendengarkan dengan seksama, akhirnya angkat bicara. “Saudaraku, bercocok tanam adalah langkah bijak. Namun, ingatlah untuk berdoa kepada Allah sebelum kita memulai. Kita harus mohon petunjuk-Nya agar usaha kita diberkahi.”

Siti, seorang wanita bersemangat, mengangguk. “Aku pernah melihat beberapa jenis tanaman yang tumbuh liar di pinggir jalan. Jika kita dapat menanamnya, kita bisa memiliki sumber makanan baru.”

“Mungkin ada juga biji-bijian yang tersisa di toko-toko atau pasar yang hancur,” tambah Dika. “Kita perlu berkeliling dan melihat apa yang bisa kita temukan.”

“Jadi, kita perlu berbagi tugas,” Hasan melanjutkan. “Beberapa dari kita bisa mencari biji-bijian, sementara yang lain bisa menyiapkan lahan untuk menanam.”

Suasana diskusi mulai bersemangat. Meskipun masih ada kekhawatiran, rasa optimisme perlahan tumbuh di antara mereka. “Kita harus bekerja sama,” ucap ulama dengan tegas. “Dengan saling mendukung, kita bisa melewati masa-masa sulit ini.”

“Baiklah, mari kita rencanakan,” Hasan berkata, menatap wajah-wajah di sekelilingnya. “Kita perlu membagi kelompok untuk mencari bibit dan menyiapkan lahan. Kapan pun kita bisa mendapatkan sesuatu yang bisa ditanam, itu akan menjadi langkah besar.”

“Setuju!” seru beberapa orang, wajah mereka menunjukkan harapan baru. “Kita tidak bisa terus bergantung pada kebetulan. Kita harus berusaha keras.”

“Jadi, besok pagi kita mulai!” kata Dika. “Kita akan menjelajahi sekitar dan melihat apa yang bisa kita temukan. Kita bisa mencari di tempat yang masih mungkin menyimpan benih.”

Perencanaan berlangsung dengan penuh semangat. Mereka menggambarkan harapan akan masa depan yang lebih baik, ketika tanaman mulai tumbuh dan memberikan hasil. “Kita bisa bertani, membangun kembali kehidupan kita,” Siti menyemangati.

“Benar, kita harus optimis,” Hasan menambahkan. “Kita harus ingat bahwa harapan selalu ada, selama kita mau berusaha.”

Ulama kemudian mengingatkan mereka. “Setiap usaha yang kita lakukan harus diiringi dengan doa. Kita harus meminta petunjuk dan perlindungan Allah dalam setiap langkah kita. Hanya dengan keimanan, kita akan mendapatkan kekuatan.”

Dengan perasaan baru yang menggebu, mereka beranjak ke tempat tidur masing-masing. Harapan akan masa depan menggantikan kekhawatiran. Pagi yang baru akan membawa kesempatan, dan mereka bertekad untuk memanfaatkan setiap momen dengan sebaik-baiknya.

16.2. Pencarian Benih

Pagi itu, saat cahaya matahari mulai muncul, kerumunan itu berkumpul kembali di luar tempat mereka bermalam. Suasana penuh semangat dan harapan. Mereka bersiap untuk menjelajah dan mencari benih yang dapat digunakan untuk bercocok tanam.

“Siapa yang akan mencari di bagian barat kota?” tanya Hasan, memecah kebisuan pagi.

“Aku!” Siti segera mengangkat tangan. “Aku tahu ada beberapa bangunan tua di sana, mungkin kita bisa menemukan biji-bijian atau sayuran yang bisa tumbuh di sana.”

“Bagus! Lalu, aku dan Rahmat akan menjelajahi area timur. Ada kemungkinan kita bisa menemukan beberapa sisa pertanian yang ditinggalkan,” jawab Dika.

Ulama yang turut mendengarkan memberi dukungan. “Ingatlah, selama pencarian ini, jaga saling membantu dan bersikap waspada. Kita tidak tahu apa yang bisa kita temui di luar sana.”

Kelompok pun terbagi menjadi beberapa tim. Masing-masing bergerak ke arah yang telah disepakati, dengan semangat baru di dada mereka. Saat mereka berjalan menyusuri jalanan yang sepi, wajah-wajah yang sebelumnya muram kini mulai menunjukkan senyum.

Siti dan timnya tiba di bangunan tua yang terlihat terbengkalai. “Kita harus hati-hati. Mungkin saja ada halangan atau tempat yang berbahaya,” Siti mengingatkan.

Mereka mulai menjelajahi dalam bangunan itu. Debu menempel di setiap permukaan, tetapi mata mereka tertuju pada kemungkinan. “Coba lihat di sini,” Siti menunjuk ke sudut ruangan. “Ada beberapa kotak kayu. Mungkin ada sesuatu di dalamnya.”

Dengan hati-hati, mereka membuka kotak itu. Di dalamnya, mereka menemukan beberapa kantong kecil berisi biji-bijian. “Ini dia!” teriak Siti, matanya bersinar cerah. “Kita mungkin bisa menanam ini!”

Kebahagiaan menghampiri mereka. “Ayo, kita bawa ini kembali dan lihat apa yang bisa kita lakukan,” kata salah satu anggota kelompok.

Sementara itu, Dika dan Rahmat berkelana ke arah timur. Mereka berhenti di dekat bekas ladang yang dulunya subur. “Tempat ini seharusnya bisa menyimpan beberapa biji. Kita harus menggali dan mencari,” ujar Dika.

Ketika mereka mulai menggali, mereka menemukan sisa-sisa tanaman dan beberapa biji yang masih bisa digunakan. “Ini luar biasa! Kita bisa membuat lahan ini tumbuh kembali,” kata Rahmat dengan semangat.

Di sisi lain kota, ulama berjalan sendirian, merenung tentang perjalanan yang mereka lakukan. Ia menyadari betapa pentingnya kebersamaan dan iman dalam setiap langkah mereka. “Ya Allah, berikanlah petunjuk dan berkah bagi usaha kami,” doanya pelan.

Setelah beberapa jam mencari, kelompok-kelompok itu berkumpul kembali di tempat pertemuan awal. “Kami berhasil menemukan beberapa biji!” seru Siti dengan gembira.

“Kami juga!” Dika menambahkan. “Ada beberapa benih sayur dan biji-bijian. Jika kita bisa mengolahnya dengan baik, kita bisa mendapatkan hasil yang baik.”

Ulama tersenyum mendengar berita itu. “Alhamdulillah, ini adalah langkah awal yang baik. Mari kita mulai merencanakan bagaimana cara menanam dan merawat benih ini.”

Mereka mulai berdiskusi tentang bagaimana menyiapkan lahan. “Kita perlu mencari alat-alat yang bisa digunakan untuk menggali tanah dan menyiapkan lahan,” kata Hasan. “Kita bisa menggunakan benda-benda yang ada di sekitar kita.”

“Saya tahu di dekat bangunan tua itu ada beberapa alat pertanian yang tertinggal,” Siti menambahkan. “Kita bisa menggunakannya untuk membantu proses menanam.”

Diskusi berlanjut hingga menjelang sore. Mereka merencanakan langkah-langkah yang akan diambil dan membagi tugas untuk mencari alat dan menyiapkan lahan. “Kita harus segera mulai,” ulama berkata, semangatnya menular kepada semua yang hadir. “Dengan niat dan usaha yang baik, insya Allah kita akan mendapatkan hasil.”

Mereka berangkat dengan tekad dan semangat yang baru. Dalam perjalanan mereka, ada rasa percaya bahwa usaha dan doa akan membuahkan hasil. Sebuah harapan baru sedang tumbuh di antara mereka, seperti biji-bijian yang mereka temukan.

16.3 Persiapan Menanam

Keesokan harinya, dengan semangat yang menggebu, mereka berkumpul di tempat yang telah disepakati untuk memulai persiapan menanam. Suasana pagi yang sejuk membuat mereka semakin bersemangat. Di tengah kerumunan, ulama berdiri dengan wajah penuh harapan.

“Saudara-saudara, kita akan memulai perjalanan baru ini. Kita tidak hanya menanam benih, tetapi juga menanam harapan untuk masa depan,” ujarnya dengan suara penuh keyakinan.

Siti berdiri di sampingnya, “Mari kita buat kelompok untuk menyiapkan lahan. Sementara itu, beberapa dari kita bisa mencari air bersih untuk menyiram tanaman nanti.”

Dika menambahkan, “Aku dan Rahmat akan mencari alat yang kita butuhkan. Jika ada yang menemukan sisa-sisa pertanian, jangan ragu untuk mengumpulkannya.”

Mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok, masing-masing dengan tugas yang jelas. Sebagian mulai menggali tanah, membersihkan area yang kotor dan berdebu. Dengan tangan telanjang, mereka bekerja keras, mencangkul dan menggali, berusaha mempersiapkan tanah sebaik mungkin.

Di sudut lain, Siti dan beberapa wanita berusaha mencari air bersih. Mereka berjalan menuju sungai kecil yang sebelumnya keruh. “Semoga kita bisa menemukan sumber yang lebih baik,” kata Siti sambil terus mengamati sekeliling.

Ketika mereka tiba di sungai, mereka terkejut melihat air yang mulai jernih. “Lihat! Ini jauh lebih baik daripada yang kita temui sebelumnya,” ujar salah satu temannya, mengisi wadah yang mereka bawa.

Sementara itu, di area penanaman, Dika dan Rahmat berhasil menemukan beberapa alat pertanian yang tersisa di bekas ladang. “Kita bisa menggunakan ini untuk menggali lebih dalam,” kata Rahmat, menunjukkan sekop dan cangkul yang masih bisa digunakan.

Setelah beberapa jam bekerja keras, lahan mulai terlihat lebih siap. Ulama memimpin doa sebelum mereka mulai menanam. “Ya Allah, semoga usaha kami ini diberkahi dan memberikan hasil yang baik. Bantu kami dalam setiap langkah,” doanya dengan khusyuk.

Setelah berdoa, mereka mulai menanam benih. Siti memimpin kelompok wanita untuk menanam sayuran. “Kita harus menanamnya dengan penuh kasih sayang,” ujarnya sambil mengarahkan tangan ke tanah.

Dika dan Rahmat menanam biji-bijian dengan hati-hati, memastikan setiap biji terletak di tempat yang tepat. “Ingat, kita harus merawatnya dengan baik,” kata Dika. “Setiap hari kita harus memeriksa dan menyiramnya.”

Hari itu menjadi hari yang panjang namun penuh kebahagiaan. Dengan penuh harapan, mereka melihat benih yang ditanam, berharap bahwa upaya mereka tidak sia-sia. “Kita perlu membuat rencana untuk menjaga tanaman ini,” Siti berkomentar. “Siapa yang bertanggung jawab untuk menyiramnya setiap hari?”

“Aku bisa melakukannya!” Rahmat menawarkan diri. “Aku akan memastikan tanaman mendapatkan cukup air.”

Ulama menambahkan, “Dan kita juga perlu menjaga area ini dari hewan liar atau gangguan lainnya. Kita harus bekerja sama.”

Saat sore menjelang, mereka berkumpul kembali di tempat pertemuan. Ada rasa lelah namun bahagia di wajah mereka. “Hari ini adalah langkah awal yang sangat baik,” ucap ulama. “Kita telah melakukan sesuatu yang berarti.”

Mereka semua tersenyum, merasakan kebersamaan dan semangat yang semakin menguat. Dengan harapan baru yang tumbuh di hati mereka, perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik dimulai.

Di tengah situasi yang sulit, harapan tetap bersinar. Mereka telah menemukan kekuatan dalam kebersamaan dan iman, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

16.4. Ujian di Bawah Terik Matahari

Matahari bersinar sangat terik, menghantam permukaan tanah yang baru saja mereka olah. Rasa panas menyengat membuat banyak dari mereka berkeringat deras. Meskipun begitu, semangat untuk merawat tanaman tetap membara di dalam hati.

Ulama memandang sekeliling, “Saudara-saudara, kita harus menjaga semangat ini. Kita menghadapi ujian, tetapi kita harus tetap berusaha.”

Siti menutupi wajahnya dengan sapu tangan, “Ini sangat panas! Bagaimana jika kita mengambil jeda sejenak? Kita butuh air untuk menghidrasi diri.”

Dika, yang terlihat sangat lelah, setuju, “Ya, mari kita istirahat sebentar. Kita bisa meminum air yang kita ambil dari sungai tadi.”

Mereka semua sepakat dan duduk di bawah pohon yang memberi sedikit keteduhan. Siti mengeluarkan botol air yang telah diisi dari sungai, membagikannya kepada teman-temannya. “Sini, minum ini. Kita perlu menjaga stamina.”

Dengan setiap tegukan, mereka merasakan kesegaran yang mengalir kembali ke tubuh. Rahmat menatap ke arah ladang yang telah mereka tanam. “Aku harap benihnya tumbuh dengan baik. Ini adalah harapan kita untuk masa depan.”

Ulama mengangguk, “Ingat, setiap usaha yang kita lakukan adalah bagian dari ibadah. Kita harus terus berdoa agar Allah memberkati tanaman ini.”

Setelah merasa lebih segar, mereka kembali ke pekerjaan mereka. Meskipun terik matahari masih menyengat, mereka mulai melakukan penyiraman dan membersihkan lahan dari gulma. Beberapa orang mulai memikirkan cara untuk melindungi tanaman dari hewan liar yang mungkin datang.

“Bagaimana jika kita membuat pagar sederhana dari ranting dan batu?” saran Dika. “Itu bisa membantu mencegah hewan masuk.”

“Bagus! Kita bisa menggunakan apa pun yang ada di sekitar kita,” Siti menambahkan, bersemangat.

Ulama menjelaskan, “Bekerja sama dalam membangun pagar ini juga akan memperkuat kebersamaan kita. Mari kita buat tugas ini menjadi proyek bersama.”

Dengan semangat baru, mereka mulai mencari ranting dan batu di sekitar area. Semua bergerak cepat, berusaha menyelesaikan pagar sementara mereka terus menjaga tanaman dari bahaya. Waktu berlalu, dan meskipun lelah, mereka merasa puas melihat kemajuan yang telah dicapai.

Saat matahari mulai merunduk, mengubah warna langit menjadi oranye keemasan, mereka berkumpul kembali di bawah pohon. Siti menyarankan, “Kita harus mengadakan rapat kecil untuk membahas langkah selanjutnya. Apa yang perlu kita lakukan setelah ini?”

Ulama setuju, “Kita juga harus memikirkan cara untuk memperluas area pertanian. Jika kita berhasil, kita bisa membagikan hasilnya kepada yang lain.”

Rahmat mengangkat tangan, “Saya punya ide. Kita bisa mencoba mencari benih dari tanaman liar yang tumbuh di sekitar sini. Mungkin ada yang bisa kita manfaatkan.”

Semua mengangguk setuju, merasa optimis meski tantangan masih banyak di depan. Dalam kebersamaan, mereka merasakan kekuatan dan harapan. Saat itu, di bawah terik matahari, mereka tidak hanya menanam tanaman, tetapi juga menanam masa depan yang lebih baik.

16.5 Kerinduan pada Rumah yang Hilang

Di tengah pekerjaan yang melelahkan, tiba-tiba kerinduan menyelinap di hati mereka. Setiap orang di ladang mulai terdiam, memikirkan rumah mereka yang sekarang hanya kenangan.

“Kalau ingat rumah, rasanya seperti ada yang mengganjal di dada,” kata Siti sambil mengusap peluh di wajahnya.

Dika mengangguk, “Aku juga merindukan masakan ibuku. Tidak ada yang bisa menandingi rasanya. Makan hanya dari daun dan umbi ini terasa berbeda.”

Ulama, yang mendengarkan, berusaha menenangkan, “Kita semua merindukan rumah. Namun ingatlah, Allah telah mempertemukan kita di sini. Ini adalah kesempatan untuk membangun kembali apa yang telah hilang.”

Rahmat menghela napas, “Rumahku dulu penuh tawa dan kehangatan. Sekarang, aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Apakah masih ada di sana?”

Mereka semua terdiam sejenak, membayangkan rumah masing-masing. Bayangan atap yang kokoh, dinding yang hangat, dan kenangan bersama keluarga mengisi pikiran mereka.

“Kalau bisa melihat rumah lagi,” Siti berbisik, “aku ingin memastikan keluargaku baik-baik saja. Aku ingin memeluk mereka.”

Dika menatap langit, “Bagaimana jika kita bisa mengumpulkan informasi tentang keadaan rumah kita? Mungkin ada yang masih selamat di sana.”

Ulama memberikan harapan, “Kita bisa mencoba mencari cara untuk berkomunikasi dengan orang-orang di tempat lain. Mungkin ada yang memiliki cara untuk menyampaikan berita.”

Mereka mulai berbagi kisah tentang rumah masing-masing. Siti menceritakan tentang kebun kecil di belakang rumahnya, tempat dia bermain dengan saudaranya. Rahmat berbicara tentang ayahnya yang selalu mengajak berkebun bersama, menanam sayuran dan buah-buahan.

“Dan aku merindukan momen di sore hari, ketika kami berkumpul untuk makan malam,” tambah Dika dengan nada sedih.

Ulama menenangkan, “Ingatlah bahwa kita adalah satu keluarga di sini. Kita bisa membangun kembali rasa kebersamaan itu. Kita mungkin tidak bisa mengembalikan rumah kita, tetapi kita bisa menciptakan keluarga baru di sini.”

Mereka semua tertegun, menyadari bahwa kerinduan itu juga bisa menjadi motivasi untuk membangun sesuatu yang baru. Masing-masing mulai merasakan bahwa meskipun rumah fisik mungkin hilang, mereka masih memiliki satu sama lain.

“Mari kita terus berusaha. Suatu hari nanti, kita akan kembali ke rumah kita, atau bahkan membangun yang lebih baik di sini,” ucap ulama dengan tegas.

Dengan semangat itu, mereka kembali bekerja, tetapi kini dengan rasa kebersamaan yang lebih kuat. Kerinduan mereka pada rumah tidak lagi menjadi beban, tetapi justru mendorong mereka untuk saling mendukung dan membangun kehidupan baru di tengah tantangan yang ada.

1
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!