Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Setelah bernyanyi dengan suara pas-pasan yang bahkan lebih cocok menyakiti telinga, Mas Adi berhenti dan menatapku. Laki-laki itu terlihat tampan di depan sana. Namun jika kalian ada di sini dan mendengarkan suaranya aku yakin penilaian kalian tentang Mas Adi berkurang 60% Ya, jika kalian membayangkan suara Mas Adi seperti penyanyi Popular Indonesia sekelas Judika kalian
keterlaluan. Mas Adi tidak pandai menyanyi, suaranya cenderung fals. Bahkan kalau boleh memilih aku ingin menjadi tuli sebentar.
Tapi setidaknya tidak memalukan bangetlah karena ditopang dengan wajahnya yang tampan.
"Fir, udah lama kita bersama, berbagi sayang, cinta serta rasa. Maaf membuatmu selalu terluka selama ini. Sejujurnya aku telah berusaha untuk tidak menyakitimu tapi selalu saja aku mengingkari."
Mas Adi terlihat menjeda ucapannya namun dia tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dariku yang menatapnya sedikit serius. Aku rasa dia sedang menghapal ucapan yang disalinnya dari google. "Malam ini aku merasa sangat
antusias."
"Kanesa Alfira, maukah kau menikah
denganku?" Aku terbengong, Mas Adi benar-benar melakukan sesuai keinginanku. Dia menyediakan makan malam romantis dan melamarku.
"Mas, aku nggak bisa."
Aku menjawab dengan nada iseng.
"Tidak bisa?" tanya Mas dengan tidak percaya. "Aku lelah Mas."
"Lelah?" tanyanya lagi dengan wajah shok. "Apa yang membuatmu lelah?"
Mas Adi bertanya dengan sangat cepat, dia tidak percaya akan mendapatkan jawaban seperti ini. Alasannya? Karena tadi aku yang meminta dilamar jadi Mas Adi pasti berpikir aku akan
menjawab ya
"Aku lelah dengan hubungan ini." Aku menunduk, mencoba menahan
tawaku. "Udah gila kamu?" Pecahlah tawaku mendengar umpatan
Mas Adi di depan sana. Bukan hanya aku yang tertawa namun orang-orang di sekitar kami juga melakukan hal
demikian.
Mas Adi turun dari panggung. sementara aku belum berhenti tertawa.
"Mas, lucu kamu."
Aku memukul-mukul pundaknya sembari mengusap perut huncitku
yang terasa nyeri karena terlalu
banyak tertawa. Astaga, lucu sekali ekspresi Mas Adi.
tanyanya dengan nada dongkol "Udah puas bikin aku malu Fir?" sembari menyuapkan makanan ke dalam mulut.
Aku berhenti tertawa dan memasang
wajah marah. "Itu belum cukup ya Mas dengan sakit hati aku," tandasku.
Ya, memang belum cukup kan?
"Iya deh iya, makan makananmu Fir. Seharian ini kamu banyak kali
kelaparan," ucapnya. "Iya, saking laparnya aku bahkan ini makan kamu sampai ke tulang-tulangnya."
Mas Adi menatapku ngeri. Dia terlihat seperti suami yang takut istri. Atau aku yang memang mengerikan? Astaga
lucu.
Selesat lamaran Ala-Ala dan makan malam romantis by Mas Adi, kami pun
kaluar dari resto dan menuju salah. satu mall terdekat, ya sesuai ucapanku setelah makan aku akan pergi shopping.
"Matanya," tegur Mas Adi. Aku menghela napas.
Apa salahnya kalau aku menatap
orang lain? Aku kan punya mata masak tidak kugunakan untuk melihat? Aku kan tidak buta.
"Kenapa sih Mas? Rese deh kamu." Aku menatap Mas dengan gigi yang hampir mengeluarkan taring.
"Aku nggak suka kamu liatin cowok itu," tuturnya dengan nada marah.
Aku langsung cengoh.
"Yang aku lihatin bocah SMA. Mas.
Nggak mungkinlah aku suka sama dia.
Kalau aku natap nggak harus suka
kan?"
Aku gondok. Emosi. Mas Adi terlalu
berlebihan. Seolah-olah aku ini adalah
tahanannya.
"Kita nggak tahu namanya cinta
Fir, siapa tahu kamu tergoda sama berondong." "Oh jadi kamu tuduh aku bakal suka berondong nanti?" tanyaku.
Mas Adi malah hanya mengangkat
pundaknya.
"Aku nggak ngomong demikian,"
kilahnya.
Aku semakin gondok.
"Ih udah ya Mas aku malas debat gini. Masalah berondong lagi." "Kita ke Mali kan buat belanja bukan
aduh mulut."
Aku melangkah cepat meninggalkan Mas Adi. Heran, lelaki itu suka sekali menaikkan emosiku.
Kami mengelilingi Mall dan beberapa barangku sudah ada di tangan Mas Adi. Biar saja dia terlihat seperti pembantuku dari pada suami.
Aku tertawa jahat dalam hati. "Fir, kita beli stroller bayi yuk."
Aku menoleh ketika mendengar
ucapan Mas Adi
"Ih belum boleh Mas." sahutku.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Kita belum tahu jenis kelamin adek bayi, entar beli warna biru, lahirnya cewek. Beli warna pink lahirnya
cowok. "Ya beli warna netral, kayak hitam gitu.
"Terlalu gelap Mas."
"Merah?"
"Terlalu cerah."
"Putih?"
"Gampang kotor Mas."
"Oh kita beli stroller 12 warna aja." "Gila kamu Mas? Buang-buang duit itu namanya."
Di sebuah rumah mewah bernuansa.
monokrom, terlihat dua orang laki-laki
yang tengah berbincang. Yang seorang menggunakan Jas layaknya bos perusahaan sementara yang satunya masih lengkap dengan snelli.
"Kamu pulang Ko?" tanya si
berseragam snelli.
"Pulang?"
Laki-laki yang gayanya bak bos
perusahaan itu tertawa.
"Ini bukan rumahku sampai aku harus
pulang, aku cuma datang melihatmu."
"Dan kamu tidak berhasil
mendekatinya? Kamu tolol, teriaknya
diiringi sebuah tamparan.
Sementara lelaki yang baru ditampar
itu terhuyung ke lantai. Sudut bibirnya.
sobek karena tamparan keras itu. Dia
mengusap sudut bibirnya tapi tidak
berniat bangkit
"Ko, kita berhenti saja," sahutnya
dengan suara keras.
Sejujurnya dia jarang sekali meneriaki
laki-laki di depannya ini, selama ini dia
selalu menurut.
"Berhenti kamu bilang? Setelah hidup
kita bahkan hampir memakan debu
tanah, kamu nyuruh aku berhenti?
Nggak akan."
Si lelaki yang memakai jas itu melepaskan jasnya dan melemparnya di sofa. Dia menggulung kemeja hitamnya ke siku lalu menghampiri laki-laki bersnelli
Memukulnya tanpa belas kasihan.
"Kamu udah jatuh cinta he? Udah
bodoh? Aku kan udah ngomong jangan
Jatuh cinta sama perempuan."
"Tapi kita udah terlalu jauh. Misi kita
cuma buat Tano Group bangkrut,"
sahut laki-laki itu dengan nada lemah.
"Ko. Kamu nggak ingat apa kata.
bunda? Kita jangan balas dendam,"
lanjutnya.
Laki-laki yang dipanggil dengan
sebutan 'Ko' itu tersenyum sinis.
"Persetan dengan pesan Bunda!
Aku nggak peduli! Mereka harus
menderita, kalau perlu mati sekalian,"
ujarnya penuh emosi.
Matanya memerah dan tangannya
terkepal.
"Kamu," tunjuknya pada lelaki yang
masih tersungkur di lantai,
"Ikut aku ke Jakarta. Nggak usah
main-main dokteran di sini. Nggak ada.
gunanya kamu tinggal di sinil"
"Tapi Ko-"
"Kenapa? Takut ninggalin Nadia?
Bodoh kamu, udah tahu dia punya
suami malah kamu perjuangin.""Aku lebih baik, dari pada kamu Ko. Punya istri tapi nggak pernah kamu hargai."
Marko melotot. Tidak pernah ada berani menyentil masalah rumah tangganya bersama sang istri, hanya adik laki-lakinya ini saja."
"Tutup mulut kamu, apapun yang terjadi, besok kamu ikut aku ke Jakarta, "tandasnya