Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Luka
Dean tak ingat apa yang dikatakannya kepada Disty hingga wanita itu pergi. Kepalanya benar-benar berdenyut dan perutnya semakin mual.
Tertatih-tatih dia berjalan melewati jajaran pohon pinang dan pohon bonsai raksasa yang tumbuh di sisi kanan nyari menempel pada di sepanjang dinding rumah.
Dia tak peduli dengan Winarsih yang berdiri di sana menyaksikan pertengkarannya bersama Disty.
Dean hanya ingin ke kamarnya dan tidur. Meski tak yakin akan bisa tidur karena jantungnya semakin berdetak cepat, setidaknya Dean harus berbaring.
Saat menunduk di bawah sebuah bonsai dan mengeluarkan isi perutnya, Dean merasa sebuah tangan memijat tengkuk dan bahunya.
Sekilas dia melirik ke sepasang kaki wanita yang telah memberinya pijatan dan belaian lembut itu. Dean bisa menebak jika sepasang sandal jepit berwarna merah dengan hiasan gesper yang meriah itu berharga tak lebih dari tiga puluh ribu di Tanah Abang.
Winarsih yang beberapa hari terakhir ini selalu menjadi sasaran makian jika ia bertengkar dengan Papanya datang memijat-mijat bahunya.
"Win, saya mau ke kamar. Saya mau istirahat. Bantu saya," pintanya pada Winarsih.
Winarsih sesaat terdiam menatap dirinya. Tak tahu apa yang dipikirkan oleh pembantunya itu tapi kemudian Winarsih mengangkat tangan kanannya dan menaruh di pundak.
Tertatih-tatih mereka berjalan masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur utama yang memang tak pernah dikunci.
Dengan rasa kepalanya yang seperti mau pecah, Dean sempat berpikir tentang apa yang dilakukan wanita itu di luar kamar larut malam begitu.
Apa Winarsih baru saja bertemu dengan pacar mesumnya itu?
Dalam perjalanan mereka ke kamar, beberapa kali mereka terhuyung dan hampir jatuh.
Winarsih beberapa kali nyaris memeluk dan menegakkan tubuhnya kembali. Wanita itu benar-benar kuat meski nafasnya sudah mulai ngos-ngosan.
Dalam posisi Dean yang bertumpuan pada Winarsih, dada pembantunya itu beberapa kali bergesekan dan menempel ke dadanya.
Jantung Dean semakin berdebar tak beraturan. Wajah Winarsih yang kadang terlihat masih kekanakan rasanya tak pantas jika memiliki tubuh sesintal itu.
Beberapa saat kemudian akhirnya Dean bisa menghempaskan tubuhnya di ranjang. Beberapa titik peluh tampak di dahinya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit karena telah beberapa kali muntah.
"Minum," ucapnya memerintah Winarsih yang berdiri di dekatnya.
Dengan sigap pembantunya itu mengambilkannya segelas air putih dan membantunya untuk duduk.
Pandangan Dean masih buram, kepalanya serasa berputar-putar, detak jantungnya semakin tak beraturan dan bagian dirinya yang lain telah bangkit sepenuhnya.
Dalam pandangan kabur, Dean memandang Winarsih yang masih cantik dengan wajah nyaris tanpa make up. Bibir pembantunya itu masih sedikit berwarna merah jambu sisa lipstiknya tadi.
Saat Winarsih duduk di tepi ranjang untuk membantunya bangkit dan meminum air, lagi-lagi Dean tak sengaja menyentuh dada pembantunya itu.
Dean menghabiskan air putihnya dengan sesekali melirik belahan dada Winarsih yang menyembul tanpa wanita itu sadari.
Dada pembantunya itu benar-benar penuh. Dean mulai membayangkan melihat benda itu secara langsung. Dean menggelengkan kepalanya. Dia tahu jika Winarsih tak segera pergi dari kamarnya, malam ini bisa saja Dean akan menidurinya.
"Win... maaf," ucapnya. Suaranya bergetar, ia tak bisa lagi menahan efek obat yang tak sengaja diminumnya tadi.
"Iya Pak, nggak apa-apa. Ya sudah, Pak Dean istirahat. Saya pamit dulu," jawab pembantunya itu polos-polos saja.
"Maaf Win...." Ia langsung menarik tubuh Winarsih hingga jatuh ke sisinya. Gelas kertas yang berada di tangan wanita itu terlepas.
"Pak Dean!" Winarsih memekik.
"Aku nggak bisa ngendaliinnya. Aku butuh kamu malam ini. Kamu pasti juga sudah sering melakukannya." Dia berguling ke kanan hingga menindih tubuh wanita itu.
"Enggak Pak, saya nggak pernah begitu-begituan. Jangan Pak." Winarsih terlihat panik karena ia telah berada di atas tubuhnya.
Dada Winarsih kini terdorong ke atas karena tertindih oleh tubuhnya. Dia bisa melihat kulit kuning langsat yang sangat mulus di sana.
Malam itu, pembantunya mengenakan rok model A sejengkal di bawah lutut. Itu pakaian yang dikenali Dean dipakai oleh pembantunya saat tiba di sana. Tangan kanannya dengan cepat menarik rok itu hingga ke paha.
"Win, jangan belagak bego. Aku tau pacar kamu juga udah sering giniin kamu. Kamu nggak perlu teriak-teriak. Di rumah nggak ada orang. Kamu juga tau kalo teriakan kamu nggak ada gunanya di rumah ini, nggak akan ada yang dengerin kamu." Ia berbisik ke telinga kiri Winarsih.
Dean bisa menebak bagaimana gaya pacaran orang kampung yang dikenalnya. Pacar Winarsih yang terlihat sangat ngebet di depan pintu kamar malam tadi, pastilah pernah melihat tubuh pembantunya ini sebelumnya.
Jadi ia merasa, Winarsih pasti pernah bercinta sebelumnya. Gadis tak perawan di zaman sekarang sudah tak mengherankan lagi.
"Pak, saya belum pernah. Jangan Pak Dean, saya masih perawan." Winarsih merintih di bawahnya. Dean melihat airmata perempuan itu telah turun.
"Jangan munafik kamu," ucapnya sambil mencengkeram kedua tangan Winarsih dan mengangkatnya ke atas.
"Pak, saya masih perawan." Winarsih kembali mengucapkan kata-kata yang tak masuk akal di telinganya.
Tak mungkin, pikirnya. Dean menarik kaos lengan panjang Winarsih hingga ke bawah leher wanita itu. Dan sekali tarikan yang kembali dilakukannya, penopang dada pembantunya itu telah berpindah ke atas.
Sepasang benda paling luar biasa yang pernah dilihatnya. Luar biasa indah, besar dan begitu lembut. Puncaknya berwarna merah muda dengan titik yang terlihat begitu menggoda untuk dijelajahinya.
Saat lidahnya menyentuh bagian puncak itu, tangis pembantunya menjadi lebih keras. Dean tak peduli. Dia terus membenamkan wajahnya di dada putih mulus paling sempurna yang pernah dilihatnya.
Ia sudah tak tahan lagi. Ia harus memasuki tubuh Winarsih.
Winarsih yang menggeliat-geliat, meratap, merintih dan menangis membujuk untuk menghentikan aksinya berujung sia-sia.
Sedetik, dua detik, bagian tubuh Dean telah merangsek maju. Sedikit sulit, pikirnya. Apa memang sudah lama wanita ini tidak melakukan hal itu?
Dean semakin maju, dia tak akan mundur. Bagian tubuhnya sudah menjerit-jerit ingin merasakan kelembutan itu. Hingga empat sampai lima kali maju mundur, Dean berhasil melakukannya.
Perawan??! Pembantunya ini masih perawan??! Kepala Dean sibuk berpikir, tapi bagian tubuhnya di bawah sana tak bisa berhenti mengajaknya berayun.
"Pak!! Sakit!! Sakiiiit...." Mulut Winarsih yang berada tepat di bawah telinganya memekik dan meratap.
Seiring dengan pekikan Winarsih yang ia dengar, aksinya itu segera berakhir. Ia kelimpungan. Tak sampai dua menit namun ia sudah membanjiri pembantunya di bawah sana.
Ia meredam teriakan Winarsih dengan ciuman. Kekuatan berontak wanita itu mulai berkurang. Dan saat ia menoleh ke bawah sana, satu pemandangan membuatnya terperanjat.
Ada noda lain selain miliknya di bawah sana. Noda Winarsih. Wanita yang merintih kesakitan karena pemaksaan yang dilakukannya.
Dean merasa pikirannya yang kacau. Ia menyusun fakta dalam kebingungannya. Sejurus kemudian, dalam keadaan setengah sadar, ia menyadari bahwa apa yang dikatakan pembantunya tadi ternyata memang benar.
Winarsih masih perawan. Dan sekarang, dia telah mengambilnya dari wanita itu.
To Be Continue.....