Di tengah reruntuhan planet Zefia, Arez terbangun dari tidur panjangnya—sebuah dunia yang hancur akibat bencana besar yang dikenal sebagai Bang. Setiap seratus tahun, planet ini mengalami Reset, sebuah siklus mengerikan yang membawa kehancuran, memunculkan monster, dan membangkitkan kejahatan dari masa lalu. Dunia di mana perdamaian tak pernah bertahan lama, di mana peradaban selalu bangkit hanya untuk jatuh kembali.
Arez, seorang pahlawan yang terlupakan, bangkit tanpa ingatan tentang masa lalunya. Digerakkan oleh naluri untuk melindungi Zefia, ia harus bergabung dengan para Refor, pejuang pilihan yang memegang kekuatan elemen untuk menjaga keseimbangan dunia. Namun, Arez tidak menyadari bahwa ia adalah kunci dari siklus kehancuran yang terus berulang. Monster dan musuh dari masa lalu mengenali jati dirinya, tetapi Arez terjebak dalam kebingungan, tak memahami siapa dirinya sebenarnya.
Apakah di@ adalah penyelamat dunia, atau justru sumber kehancurannya? Apakah Arez akan berhasil?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daffa Rifky Virziano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ombak Laut
Saat pagi tiba, Arez dan Erlana bersiap untuk berangkat menuju pelabuhan. Begitu mereka melangkah keluar dari penginapan, mereka melihat Camelia sudah berdiri di depan, tampak gelisah dan penuh semangat.
“Eh, Camelia! Kamu sudah menunggu lama?” tanya Erlana, sedikit terkejut melihat kesiapannya di pagi hari.
“Hehe, tidak terlalu lama,” jawab Camelia sambil tersenyum hangat. “Aku hanya tidak sabar untuk ini. Kalian sudah siap?”
Arez mengangguk tegas. “Kami siap. Arahkan kami.”
Camelia mengangguk dan melambai, memimpin mereka berjalan melewati jalan-jalan sempit. “Baik, ikuti aku. Kita tidak boleh terlambat.”
Perjalanan menuju pelabuhan di pagi hari berlangsung dalam keheningan yang tegang. Meskipun matahari bersinar cerah dan angin laut berhembus lembut, ada sesuatu yang berat di udara. Suasana di sekitar mereka tampak tidak biasa, banyak orang yang berbisik-bisik dan menatap penuh perhatian. Mungkin mereka tahu bahwa hari ini bukan hanya sekedar hari biasa.
Setelah beberapa menit berjalan melewati gang sempit dan berliku, akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan yang Besar Yaitu Arena pertarungan. Camelia berhenti di depan pintu kecil dan menunjuk ke dalam.
“Kita sudah sampai di Arena. Ini adalah Arena para petarung,” kata Camelia. “Di sini kamu bisa memeriksa perlengkapan dan mempersiapkan strategi. Aku dan Erlana akan menonton di depan saat pertarungan dimulai. Kami akan mendukungmu.”
Arez melirik Erlana, yang tampak serius dan tenang. “Baiklah, aku akan memastikan semuanya siap,” katanya dengan penuh tekad, sebelum memasuki ruang persiapan.
Camelia memandang Arez dengan serius memberi tahu persiapan terakhir sebelum pertarungan dimulai.
“Ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui, Arez,” ucap Camelia sambil menarik napas dalam. “Pertarungan ini terbagi menjadi tiga fase. Sebagai penantang, kamu sudah diresmikan oleh dewan melalui aku, jadi semua aturan sudah jelas. Yang kalah harus menepati janji yang telah dibuat, tanpa pengecualian.”
Arez mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Fase pertama,” lanjut Camelia, “kamu akan melawan sepuluh anak buah Liloid sekaligus. Mereka mungkin bukan petarung terkuat, tapi jumlah mereka akan jadi masalah besar. Mereka sering menggunakan taktik licik, jadi kamu harus tetap waspada.”
Arez menyentuh gagang pedangnya, merasa berat di tangannya tapi tetap yakin. "Aku mengerti."
“Fase kedua akan lebih berat,” kata Camelia, suaranya merendah. “Kamu akan melawan tiga petarung terkuat Liloid. Mereka adalah prajurit yang berpengalaman, dan setiap dari mereka memiliki keahlian khusus. Mereka tidak akan mudah dikalahkan.”
Erlana, yang berdiri di dekat Arez, terlihat cemas. Namun, Arez tetap tenang. “Aku sudah siap untuk apa pun,” katanya dengan tenang.
Camelia mengangguk, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Dan fase terakhir... jika kamu berhasil sampai ke sana... adalah melawan Liloid sendiri. Pertarungan itu akan berlangsung sampai salah satu dari kalian benar-benar tidak bisa berdiri lagi. Tidak ada peraturan, Arez. Apapun boleh dilakukan, termasuk taktik curang. Itu sebabnya kamu harus sangat berhati-hati.”
Arez menarik napas dalam, merasakan ketegangan di udara. “Aku paham. Tidak ada jalan mundur sekarang. Aku akan menghadapinya.”
Camelia memandangnya, rasa hormat dan harapan terlukis di wajahnya. “Aku tahu ini tidak mudah, Arez. Tapi aku percaya kamu bisa melakukannya. Liloid telah membuat desa ini melenceng jauh. Hari ini adalah kesempatan kita untuk mengubah semuanya.”
Arez berdiri, membetulkan posisi pedangnya di pinggang. “Aku tidak akan mengecewakanmu, Camelia. Aku akan menyelesaikan ini.”
Camelia tersenyum, meskipun samar. “Terima kasih, Arez. Ingat, pertarungan akan berakhir hanya jika musuh benar-benar tak bisa berdiri lagi. Jadi, jangan lengah.”
Dengan tekad yang menguat, Arez mengangguk. “Baiklah, mari kita mulai.”
tak lama kemudian Liloid dan anak buahnya akhirnya tiba, langkah mereka penuh percaya diri. Kerumunan di sekitar arena mendadak menjadi riuh saat mereka melihat sosok Liloid, petarung yang telah membuat desa tersebut hidup dalam ketidak adilan. Liloid, dengan tubuh kekar dan tatapan tajam, menoleh ke arah Arez begitu ia melihat sang penantang menunggu di seberang arena.
Dengan langkah besar, Liloid mendekati Arez, dan sekeliling terasa sunyi. Aura ancaman jelas terasa dari setiap gerakannya. Ketika ia sampai di depan Arez, ia berbicara dengan suara rendah tapi menohok.
“Kita siap bertarung mati-matian, kan Arez?” gumam Liloid dengan nada yang berbahaya. “Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu kalah. Bersiaplah.”
Matanya memicing, sorot tajam penuh kebencian terpancar, tetapi Arez tetap diam, hanya menatap lurus ke arah Liloid tanpa sedikitpun goyah. Kesombongan Liloid jelas terlihat, namun Arez tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Mereka pun pergi memasuki ruang persiapan Arena
Di belakang mereka, Camelia dan Erlana tampak jelas kesal dengan sikap angkuh Liloid.
“Orang itu benar-benar menyebalkan,” Erlana bergumam sambil mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lebih tajam.
Arez melirik sekilas ke arah Erlana dan dengan tenang menjawab, “Tenanglah, Erlana. Aku akan berusaha sebaik mungkin.” Suaranya lembut, tapi penuh dengan keyakinan yang membuat Erlana, meskipun khawatir, sedikit tenang.
“Tapi kau harus berhati-hati, Arez,” Erlana menambahkan, kali ini suaranya melembut. “Dia bukan hanya petarung biasa. Aku bisa merasakan kebencian dan kekuatan gelap darinya.”
Arez tersenyum kecil, senyum yang menenangkan, meskipun situasi menegang di sekitarnya. “Aku tahu. Tapi jangan khawatir. Aku akan memastikan kita keluar dari sini sebagai pemenang.”
Camelia, yang sedari tadi mengamati percakapan mereka, akhirnya melangkah maju. Wajahnya penuh keyakinan dan dorongan. “Arez, ingat, ini bukan hanya tentang pertarungan. Ini tentang keadilan bagi desa ini. Kamu membawa harapan bagi banyak orang di sini. Liloid mungkin kuat, tapi kamu memiliki kekuatan yang lebih dari itu. Jangan pernah ragu.”
Mendengar kata-kata Camelia, Arez mengangguk dengan tegas. “Aku akan memberikan segalanya. Terima kasih atas dukungannya, Camelia.”
Camelia tersenyum, meski jelas terlihat ada kekhawatiran di matanya. “Kami semua mendukungmu, Arez. Kami tahu kamu bisa melakukannya. Oh iya Arez aku melupakan sesuatu, Liloid adalah petarung tangan kosong yang mempunyai elemen petir. Hati hati ya”
Arez mengangguk. Setelah itu, Camelia dan Erlana beranjak menuju barisan penonton, memberikan Arez waktu untuk fokus pada pertarungan yang akan dihadapinya.
Sebelum memasuki arena, Arez menarik napas dalam. Ia bisa merasakan energi di sekitarnya, tekanan yang kuat, namun ia tidak gentar. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya, melainkan tentang seluruh desa yang menderita di bawah bayang-bayang Liloid.
Langkah Arez tegas saat ia memasuki ruang Arena, angin pagi terasa menusuk namun membawa semangat baru. Sorakan penonton mulai memadati udara, dan pandangan Arez langsung tertuju pada Camelia dan Erlana yang berdiri di barisan depan, memberi semangat dengan tatapan penuh harapan. Liloid sudah menunggu di seberang, bersiap dengan senyum licik di wajahnya.
“Ini akan menjadi hari yang panjang,” bisik Arez pada dirinya sendiri.
Arez memasuki arena dengan langkah tegas, sorakan para penonton memenuhi udara seolah membentuk gelombang energi yang menekan dari segala arah. Debu-debu dari tanah arena beterbangan, berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Di hadapannya, Liloid berdiri dengan penuh percaya diri, senyum licik terukir di wajahnya. Penonton sudah tidak sabar menunggu pertarungan dimulai.
Tiba-tiba, suara keras memecah kerumunan. Seorang pria besar setengah buaya yang tampak garang dan membawa tongkat kayu dengan simbol-simbol misterius muncul di tengah arena. Dengan suaranya yang parau, dia mulai berbicara.
“Para hadirin! Hari ini adalah hari penting bagi kita semua! Hari Ombak Laut!” teriaknya, menggema ke seluruh arena. “Di sini, di tengah arena ini, Camelia telah menantang Liloid! Dan yang dia bawa sebagai petarungnya… adalah seorang pemuda dari ibu kota! Seorang pria yang dipanggil… AREZ!”
Penonton bergemuruh, sorakan mereka mengguncang tanah di bawah kaki Arez. Ada rasa ketidakpercayaan dan kekaguman dalam suara mereka.
“Woaaaaah!!!” teriak penonton, tak sabar menyaksikan pertarungan yang akan terjadi.
Wasit setengah buaya melanjutkan, “Apakah pria ini, pemuda dari ibu kota, bisa menandingi Liloid? Petarung terkuat kita yang selalu menang?!” Ia menambahkan bumbu drama dalam ucapannya, membuat penonton semakin antusias.
Arez tetap diam, tapi matanya berkilat penuh tekad. Ia menatap Liloid yang berdiri di seberangnya dengan senyum sinis di wajahnya. Liloid mendekat sedikit, melirik Arez dari ujung kepala hingga kaki, lalu berbicara dengan nada yang rendah tapi penuh ejekan
“Heh, bersiaplah berdujud didepanku” Liloid tertawa kecil.
Arez menatap Liloid dengan tenang, lalu membalas dengan suara rendah tapi tajam. “Mari kita lihat siapa yang akan bersujud.”
Tatapan Liloid berubah sedikit lebih tajam, tapi senyum sinisnya tidak menghilang. “Heh, sombong sekali untuk seseorang yang baru pertama kali bertarung di sini. Baiklah, mari kita lihat seberapa jauh nyalimu bertahan, bocah kota.”
Kerumunan penonton makin bersorak, suara mereka seperti badai yang menambah ketegangan di udara. Beberapa terdengar mengolok-olok Arez, sementara yang lain justru memuji keberaniannya.
Wasit setengah buaya, yang tampaknya menikmati suasana ini, mengangkat tangannya, membuat seluruh arena hening sejenak. “Pertarungan ini memiliki tiga fase! Fase pertama—Arezz akan melawan sepuluh anak buah Liloid! Jika dia berhasil, dia akan lanjut ke fase kedua, melawan tiga petarung terkuat Liloid! Dan jika dia bertahan, dia akan menghadapi Liloid sendiri di fase terakhir!”
Sorakan penonton kembali pecah, lebih keras dari sebelumnya. “WOOOOOAAAAAH!”
Liloid memberi tatapan licik ke arah Arez. Kemudian Liloid diminta menunggu sebelum gilirannya dan fase pertama dimulai.
Liloid melirik wasit dengan kesal, tapi ia mengikuti aturan. Dengan senyum licik, ia melangkah mundur dan duduk di kursi khusus yang telah disediakan di tepi arena.
"Baiklah, Nikmati dulu pertarunganmu melawan anak buahku, Arez," ucapnya sambil melipat tangan, seakan meremehkan.
Arez hanya menatap lurus ke depan, fokus pada arena yang mulai dipenuhi oleh sepuluh anak buah Liloid yang siap menyerang. Sorakan penonton semakin menggema saat mereka melihat petarung-petarung itu masuk, dan suasana semakin panas.
"Fase pertama dimulai!" teriak wasit setengah buaya, mengangkat tangannya. "Lawanlah mereka semua, Arez!"
Arez menghela napas, menggenggam pedangnya erat-erat. "Baik, saatnya memulai," gumamnya dalam hati, bersiap menghadapi tantangan pertamanya.
Untuk tulisan bagus dan rapi melebih standar tulisan author2 di sini kebnyakan. Pendeskripsian juga sudah bagus namun aku saran lebih menerapkan showing ke konten yg ada di cerita.
Untuk Alur termasuk lambat, World Building ada untuk pengenalan cukup, ada beberapa narasi yg janggal namun untuk tidak terlalu mengganggu keseluruhan bacanya.
Saranku, lebih eksplor setting Post Apocalyptic-nya dlu baik sebelum bertemu Elara ataupun ketika baru bertemu dengannya.
Feelnya menurutku bukan seperti novel Post Apocalyptic kebnyakan dan malah seperti Novel isekai pada umumnya.
Skrng jadi emas /Facepalm/