Anindya, seorang Ibu dengan 1 anak yang merasa sakit hati atas perlakuan suaminya, memilih untuk
bercerai dan mencari pelampiasan. Siapa sangka jika pelampiasannya berakhir dengan obsesi Andra, seorang berondong yang merupakan teman satu perusahaan mantan suaminya.
“Maukah kamu menikah denganku?” Andra.
“Lupakan saja! Aku tidak akan menikah denganmu!” Anindya.
“Jauhi Andra! Sadarlah jika kamu itu janda anak satu dan Andra 8 tahun lebih muda darimu!” Rima.
Bagaimana Anindya menghadapi obsesi Andra? Apakah Anindya akan menerima Andra pada akhirnya?
.
.
.
Note: Cerita ini diadaptasi dari kisah nyata yang disamarkan! Jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita, semuanya murni
kebetulan. Mohon bijak dalam membaca! Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Resmi Janda
Faris dan keluarganya pulang dengan lesu. Keputusan Anindya tak dapat diganggu gugat walaupun Ayah Faris mencoba memohon.
"Jika saja Ayah bisa menghentikan Mas Faris dan jika saja Ayah dan Ibu tak ikut menyembunyikan kebenarannya selama ini, semuanya tidak akan seperti ini. Berandai-andai pun percuma karena semuanya sudah terjadi."
Begitulah kata-kata terakhir Anindya. Baik Faris, Ayah dan Ibu Faris, mereka sama-sama memiliki penyesalan. Menyesal pun percuma karena semuanya sudah terjadi dan tak lagi bisa diperbaiki. Ayah dan Ibu Faris hanya berharap kelak cucu mereka tumbuh menjadi anak yang hebat, walaupun Ayah dan Ibunya berpisah.
Hanya Faris yang masih bersikeras ingin mempertahankan Anindya. Setelah sampai di rumah, Faris tak masuk ke dalam rumah melainkan memacu motornya. Faris pergi ke tempat ia pertama kali bertemu Rani dan menenggelamkan diri dengan minuman.
"Ran, Laki-laki yang biasanya bersamamu datang!" kata salah satu pegawai kafe yang dekat dengan Rani.
"Benarkah? Sedang apa dia?"
"Baru saja datang langsung memesan seperti biasa. Kamu kesini saja, jangan sampai diambil orang!" tanpa peringatan Rani memutuskan panggilan dan segera bersiap.
Rani mencari pakaian yang paling menarik dan berdandan. Tak lupa ia menitipkan Arka kepada saudaranya dengan mengatakan jika ia sedang ada janji dengan Faris. Sampai di kafe, Rani celingukan mencari keberadaan Faris. Rani menemukan Faris duduk di pojokan kafe dan sedang bersandar di meja. Ia menebak, Faris sudah dalam pengaruh minuman. Ia pun mendekat dengan percaya diri setelah sebelumnya menyemprotkan parfum ke tubuhnya.
"Sendirian saja, Mas?" tanya Rani berpura-pura.
"Hmmm" Faris menegakkan kepalanya.
"Mau aku temani?" Rani menggandeng tangan Faris.
Faris yang setengah sadar menurut saja. Rani membayar minuman Faris dan membawanya ke belakang kafe. Disana ada penginapan, Rani memesan kamar untuk mereka dan membawa Faris masuk.
Tak butuh waktu lama, Faris yang setengah sadar pun langsung terbuai dengan Rani yang dianggapnya sebagai Anindya. Tentu saja hal tersebut yang diinginkan Rani, tak masalah nama yang disebut Faris adalah Anindya. Mereka pun terlibat permainan panas hingga mereka tak ada lagi tenaga untuk melakukannya.
Sementara itu, Anindya sedang membuka ponselnya yang penuh dengan pesan dan panggilan tak terjawab dari Andra. Anindya menatap pesan terakhir Andra, yang mengatakan jika dirinya akan menemukan dimana ia berada. Ia yang tak ada keinginan untuk membalas candaan Andra pun mengabaikannya. Ia hanya membalas beberapa pesan yang penting, seperti Mbak Fitri yang meminta bantuannya atau Mbak Devi yang menagih laporannya.
Keesokan harinya, Anindya siap berangkat ke Pengadilan Agama untuk menghadiri sidang. Ketika sampai disana, Anindya menunggu sendiri, tidak ada tanda-tanda kedatangan Faris. Anindya justru bersyukur. Dengan tidak hadirnya Faris, pengadilan akan langsung mengabulkan gugatan cerainya tanpa melalui mediasi.
Benar saja, sampai waktu persidangan tiba Faris tak juga muncul. Anindya pun resmi menyandang status janda.
"Bagaimana, Nin?" tanya Ibu Faris ditelepon.
"Alhamdulillah.. Anindya resmi jadi janda, Bu."
"Faris tak mengajukan keberatan?"
"Tidak, Bu. Datang saja tidak."
"Syukurlah. Selamat menempuh hidup yang baru, Nak." kata Ibu Anindya terharu.
"Terima kasih, Bu. Besok kita buat syukuran sebelum Anin kembali."
"Kamu mau langsung kembali?"
"Iya, Bu. Anin harus cari kontrakan sendiri. Tidak mungkin Anin satu rumah dengan Mas Faris."
"Berapa tahun baru bisa pindah tugas?"
"Minimal 5 tahun, Bu. Tetapi bisa lebih cepat jika mengikuti suami. Berhubung Anin janda, hanya bisa menunggu waktunya saja."
"Iya, nanti Ibu ikut ya?"
"Benarkah? Anin senang sekali, Bu. Terima kasih."
Anindya sangat senang, sang ibu mau ikut dengannya. Ia pun berjalan menuju parkiran dan menyalakan motor. Ia ingin singgah ke pasar untuk membeli bahan masakan. Ketika Anindya baru saja sampai di pasar, ponselnya berdering berkali-kali memperlihatkan nama Andra disana. Akhirnya Anindya pun mengangkat panggilan tersebut.
"Ada apa!"
"Jangan ketus begitu, Mbak! Nanti cepat tua."
"Memang aku lebih tua dari kamu! Apa masalahnya?"
"Tidak, Mbak tidak tua!" Andra gelagapan.
"Katakan dengan singkat!"
"Aku di bandara Jogja!" seru Andra.
"Hah? Jangan bercanda!"
"Aku tidak bercanda, Mbak!" Andra mematikan panggilannya dan mulai berselfi dengan patung batu khas yang ada di pintu eskalator menuju stasiun dan parkiran mobil.
"Anak ini gila!" seru Anindya yang bergegas ke Bandara.
Satu jam kemudian, Anindya sampai di bandara. Andra yang sudah menunggunya di dekat stasiun pun melambaikan tangannya dengan sumringah, saat melihat Anindya membuka helmnya.
"Gila kamu!" seru Anindya sambil memukul bahu Andra.
"Aku tidak gila, Mbak! Ini namanya perjuangan!"
"Perjuangan apa?"
"Perjuangan mendapatkan cinta."
"Kenapa tidak main FTV sekalian kamu!"
"Jangan begitu, Mbak! Aku bersungguh-sungguh."
"Kamu tahu aku bersuami, kenapa masih mengejarku?"
"Aku tahu Mbak akan bercerai!"
"Ah dasar! Tinggi sekali koneksimu! Sesudah di Jogja, kamu mau kemana?"
"Cari penginapan dulu, Mbak. Nanti Mbak tanggung jawab bawa aku jalan-jalan."
"Jalan sendiri! Aku akan kembali lusa." kata Anindya sambil kembali ke motornya.
Dengan cepat Andra membonceng di belakang. Anindya ingin mengusirnya, namun ia urungkan karena sejak tadi, banyak mata yang memperhatikan mereka. Nahasnya, baru juga mereka berjalan beberapa kilometer hujan deras tiba-tiba mengguyur. Anindya pun berteduh di sebuah warung yang tidak buka.
Melihat hujan yang tak kunjung reda, Anindya mengeluarkan jas hujan dari dalam jok dan memakainya. Andra menumpang di belakang jas hujan Ponco yang Anindya kenakan. Anindya pun berhenti di sebuah guest house dan mendaftarkan Andra. Setelah itu, ia meninggalkan Andra begitu saja.
Sesampainya di rumah, Ibu Anindya sangat khawatir melihat anaknya menerjang hujan. Beliau pun meminta Anindya untuk segera mandi dan membuatkannya teh panas. Ardio baru saja tidur siang, jadi beliau bisa meninggalkannya dikamar sendirian.
"Kenapa tidak menunggu hujan reda?"
"Lama, Bu. Sini ingin segera pulang."
"Tapi berbahaya berkendara saat hujan!"
"Tak apa, Bu. Nyatanya Anin sampai rumah dengan selamat. Anin tidak ngebut, Bu." Anindya menenangkan sang ibu dengan menggenggam tangan beliau.
"Habis ini istirahatlah, kamu pasti lelah."
"Baik, Bu." Anindya memeluk sang ibu dan menghabiskan tehnya.
Didalam kamar, Anindya mencium kening Ardio yang masih nyenyak dan menyusulnya. Sedangkan Faris yang baru saja bangun, merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ia melihat seseorang yang ada disisinya.
"Rani?" gumam Faris.
Perlahan Faris beranjak tetapi terkejut dengan dirinya yang tanpa busana. Ia pun melihat ke sekeliling. Bukan kamarnya ataupun kamar di rumah Rani, lalu dimana? Faris menenggak air yang ada di nakas dan mengingat-ngingat kejadian tadi malam.
"Bodoh!" umpat Faris.
Dia mengingat kejadian semalam. Ia mengira sedang bersama Anindya. Ia pun melampiaskan semuanya, ia tak sadar jika yang bersamanya adalah Rani. Bahkan pagi tadi, ia sempat mengulanginya karena orang yang ia kira Anindya menggodanya. Dan disinilah dia yang baru bangun saat tengah hari.
"Mas..." panggil Rani dengan suara parau.
Rani mendekati Faris yang duduk dipinggir tempat tidur dan memeluknya dari belakang.
"Semalam kamu benar-benar hebat, Mas. Aku sampai terbuai dengan permainanmu. Kamu sangat menuntut sampai aku merasa menjadi perempuan yang sangat kamu inginkan." kata Rani mengeratkan pelukannya.
"Pagi tadi, aku sampai menginginkannya lagi. Aku mencintaimu, Mas. Dan.." Rani mendaratkan kecupan di punggung Faris dengan tangan yang sudah bergerak.
Faris yang masih merasakan sakit kepala pun menepis tangan Rani.
"Kepalaku sakit, Ran!"
"Itu karena kamu sudah lama tidak minum, makanya kamu mabuk hanya dengan sekali teguk. Nanti juga sembuh sendiri. Sekarang, lihatlah ini." Rani memperlihatkan sesuatu yang tidak bisa Faris tolak.
Tetapi ketika mereka sedang dalam permainan, Faris ingat jika ia ada sidang hari ini. Ia pun melepaskan Rani begitu saja dan membuka ponselnya. Ternyata jam yang tertera sudah lewat. Ia pun bergegas mandi dan berpakaian, tanpa memedulikan Rani. Rani yang mengetahui alasan dibalik kepergian Faris pun hanya bisa tersenyum penuh kemenangan.
orang macam faris itu sembuhnya kl jd gembel atau penyakitan
kl pintar pasti cari bukti bawa ke pengadilan biar kena hukuman tu si Faris.