Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 - Bukti di Tubuhnya Terungkap
"Saya cinta sama Maya, terlalu cinta sampai Saya diam."
"Kalau memang mau sama Mbak Maya, belum terlambat untuk Pak Bima minta maaf dan perbaiki hubungan. Kalian sama-sama berbuat kesalahan, tapi kalian juga kan masih saling cinta. Semua masih bisa diobrolkan Pak, bukan bertingkah tidak karuan begini!"
Dia menggeleng-geleng pelan. "Saya tahu rasanya sakit. Cukup saya. Saya memang cinta sama Maya, tapi perempuan itu jauh lebih berhak atas tanggung jawab saya."
"Ya, sudah. Kalau Pak Bima berat hati bilang soal memperko-sa orang. Pak Bima kan bisa bilang kalau Mbak Maya itu selingkuh! Dan Pak Bima tahu itu, jadikan itu alasan kenapa putus!" Ujarku. "Dengan begitu, satu masalah selesai kan, Pak? Mbak Maya tidak akan cari Pak Bima lagi untuk dapat penjelasan. Hubungan kalian selesai."
"Saya tahu, Jul." Ujarnya setengah meyakinkanku. "Dulu, saya enggan bilang tentang perselingkuhannya karena saya masih ingin memperbaiki semua dengan dia. Tapi, ketika saya menyentuh perempuan lain, saya merasa semua itu pupus. Saya tidak pantas, dan Maya berhak mencari lelaki lain atau tetap dengan sahabat saya itu."
"Saya akan mengatakan apa adanya besok, dengan Maya." Lanjutnya.
"Kenapa selama tiga tahun lalu, tidak pernah Pak Bima katakan tentang perselingkuhan Mbak Maya?"
"Saya tidak mau dia merasa hina karena perbuatan itu, Jul."
Aku dapat memahami pendapat dan pilihan Pak Bima. Memang sangat beruntung menjadi perempuan yang dikehendakinya, terutama bila melihat seluruh cinta yang ada padanya. Tapi sayang, orang itu bukanlah aku. Ini bila melihat ungkapan hatinya yang begitu tulus.
"Kamu jangan menjauhi saya, ya Jul? Saya tahu kamu korban, tapi jangan benci atau jijik sama saya sebab senyatanya saya juga korban, Jul."
"Begitu, ya? Kenapa bisa jadi korban?"
"Karena---apa, ya? Saya merasa dijebak!" ujarnya sambil tersenyum lega, merasa puas dengan keberaniannya mengungkapkan segalanya padaku.
"Dijebak bagaimana, Pak?" tanyaku.
"Saya juga tidak tahu, Jul. Aahhh! Saya bingung ngomongnya. Saya dikasih minum, terus lepas kendali----"
"Cukup-cukup!" Timpalku. Sebab Pak Bima sudah mulai melantur.
Aku menatap Pak Bima dan dia balik menatapku. Kemudian ku tatap minuman anggurnya yang mulai kemerahan. Dan memandang Pak Bma lagi dengan tatapan yang bersungguh-sungguh, dia membalasku dengan seringai tipis sambil menganggukkan kepalanya, tanda meminta.
"Jangan tinggalkan saya dan Lily," pintanya.
Aku menarik napas kuat-kuat dan kemudian menjawab. "Baiklah..."
Senyum Pak Bima makin lebar merekah. Entah apa yang dia pikirkan.
"Tidurlah, Jul. Hari sudah malam, besok kamu kerja 'kan?"
Pak Bima mulai kehilangan kesadarannya. Ketika kudengar bunyi jam, baru aku sadar malam semakin larut. Kumatikan musik dari piringan hitam dekat meja. Di luar, angin malam yang basah terus berkitaran di ruangan yang kian menghitam. Pak Bima yang mabuk tergeletak di sofa, sambil kuusap-usap punggungnya berharap dia masih memiliki kesadaran untuk tidur di kamar.
"Pak? Jalan sebentar yuk, saya bantu ke kamar."
Dia tidak menjawab.
Hingga kuputuskan untuk membantunya berbaring di sofa dengan benar. Namun, begitu aku hendak membenarkan posisi kepalanya, sesuatu tak terduga terjadi; Pak Bima muntah dan mengotori hampir seluruh pakaiannya.
"Maaf, Jul... perut saya mual---" dia berkata sambil memejamkan mata. Oh, rupanya masih setengah sadar.
Kuhela napas berat. Sungguh kasihan sekali melihat bujang lapuk ini, pikirku. Ia tenggelam dalam penyesalan dan masa lalunya, sehingga menyakiti diri sendiri dan seperti kapal yang karam hilang arah.
Untung dia memiliki pengasuh anak, sebaik aku. Mengingat bagaimana dia membantuku saat datang bulan di rumah sakit, maka kuputuskan membantunya pula hari ini.
Dengan hati-hati dan agak gemetar, aku mengangkat handuk basah. Sampai di dadanya, handuk ku tahan sebentar. Sebelum membersihkan badannya, aku harus membuka bajunya terlebih dahulu.
Rasanya berdebar, saat ku sentuh kancing baju itu. Namun, ini bukanlah tindakan ca-bul melainkan murni karena aku ingin menolongnya.
Tetapi, satu hal yang mengejutkanku, begitu aku sampai di tengah-tengah baju. Begitu dada Pak Bima terbuka, nampaklah di mataku... Sesuatu yang teramat baru namun tak asing untuk ku ...
"Tato? Profesor punya tato?" aku menggumam.
Sementara aku terdiam, tenggelam dalam kebinggungan, barulah aku teringat suatu hal.
Gambar dengan warna hitam itu, memang baru kali pertama kulihat di tubuh Pak Bima. Tetapi, ini bukanlah pertama kalinya kulihat di tubuh pria.
"Tato kepala harimau ..."
Sebuah gambar yang paling jelas dan paling kuingat akan pria yang memper-kosa ku di malam perayaan waktu itu.
Dan benarkah ini? Benarkan yang kusaksikan dan kupikirkan ini?
Pak Bima telah memper-kosa seorang perempuan, dan perempuan itu adalah aku? Sebaliknya, aku telah diperko-sa seseorang, dan orang yang melakukan itu adalah Pak Bima?
Aku membisu.