Harap bijak dalam membaca.
kesamaan nama keadaan atau apapun tidak berkaitan dalam kehidupan nyata hanya imajinasi penulis saja.
Seorang wanita muda kembali ke tanah kelahirannya setelah memilih pergi akibat insiden kecelakaan yang menimpanya dan merenggut nyawa sang Kakek.
Setelah tiba ia malah terlibat cinta yang rumit dengan sang Manager yang sudah seperti Pria Kutub baginya. Belum lagi sang Uncle dan mantan kekasih yang terus mengusik kehidupan asmaranya.
Lalu di mana hati Alice akan berlabuh? Dapatkah Alice menemukan pelaku pembunuh sang kakek..
Yuk ikutin kisahnya...
jangan Lupa Like Vote Komentar maupun Follow terimakasih..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kanian June, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33
Berlian masih mematung saat kaki Alice melangkah menuju kamar Oma, seolah tanpa menghiraukan dirinya berada. Ia merasa kesal saat Alice tidak terselungut emosi bahkan malah menunjukkan ekspresi tenang.
Sebenarnya Berlian hanya mencoba memunculkan wajah lain Alice kepada sang suami.
Seperti saat berhadapan dengannya di Rooftop hotel lalu.
Karena saat Berlian mencoba menceritakan kejadian tersebut sang suami hanya menanggapi dengan bercanda.
Tapi bukan Berlian namanya jika dia menceritakan keseluruhan, dia hanya menceritakan beberapa poin saja.
"Ma, sebaiknya kita pulang saja ya?" Bujuk Marvel yang kini duduk di belakangi oleh sang istri
"Enggak pah, mama mau di sini aja. Papa aja yang pulang besok kan juga harus bekerja. Lagian siapa yang jagain Oma." Sergah Berlian beralasan
"Kan sudah ada Alice ma disini, pulang sama papa ya ma?" Kembali Marvel membujuknya
Gimana kalau mama sadar aku gak di sini bisa-bisa aku bakal lebih jelek di matanya. Tapi Marvel berisik terus, aku juga ngeri kena gamparan si bocah ingusan itu lagi.
Begitulah isi batin Berlian yang tengah menimbang bujukan sang suami.
"Nanti di kira kita nggak peduli sama Oma pa kalo tiba-tiba mama bangun kita gak ada di sini." Protes Berlian
"Ma, Alice pasti menyampaikan kok. Mama tenang aja, Moza pasti juga tidak tinggal diam ma." Senyum teduh Marvel mencoba menenangkan gundah nya hati sang istri.
Di bawa lah Berlian dalam pelukannya.
"Ma, hapus segala amarah di hati mama. Lebih baik kita fokus untuk berdoa agar ujian ini segera berlalu. Semoga Oma dan William segera sadar dan sembuh." Nasihat Marvel masih memeluk sang istri.
Berlian hanya mengangguk tanpa menanggapi, di hatinya masih ada sakit mengingat segala yang terjadi di masa lalu.
Mengingat saja membuatnya teriris, sepertinya dendam telah menancap kuat dalam batinnya.
Di kamar Oma.
Alice membuka pintu kamar dengan perasaan yang campur aduk. Setelah hatinya di patahkan melihat William penuh luka di ruang ICU. Kini ia harus menerima takdir kembali melihat sang Oma juga tak berdaya di rumah sakit.
Steven berhenti di ambang pintu, ia tak berani mendekat karena merasa tidak sopan.
Karena ini adalah orang tua dari sang pemilik perusahaan.
Langkah demi langkah Alice berjalan menghampiri ranjang Oma. Di genggamnya tangan lemah sang Oma yang sudah di penuhi beberapa keriput kecil.
Wajahnya pucat dengan selang oksigen yang menempel pada indra penciumannya.
"Oma... Bangun, Alice sudah datang." Lirih nya menempelkan tangan sang Oma pada pipinya.
Tidak terasa bulir bening luruh begitu saja melewati pipinya. Segera ia mengusap agar tidak membasahi tangan sang Oma.
"Cepet sembuh ya Oma, Alice kangen Oma yang rewel banget sama Alice." Imbuhnya tanpa bergeming.
Setelah mengurai pelukannya Marvel mengajak Berlian untuk berpamitan dengan Oma dan Alice sebelum pergi.
Marvel bermaksud agar Alice bisa lebih dekat dengan sang Oma. Dia juga ingin menenangkan sang istri yang terselungut amarah.
Karena gengsinya juga yang terlalu besar Berlian akhirnya hanya menyelonong masuk mengambil tas dan berlalu tanpa pamit. Ia juga tidak memperdulikan Steven yang berdiri di sebelah pintu masuk.
Marvel yang berjalan di mengekor di buat geleng-geleng kepala melihat tingkah sang istri yang seperti anak kecil.
Ia lantas berpamitan dengan Oma yang masih berbaring di ranjang dan Alice yang tengah duduk di sebelah Oma.
Steven pun akhirnya yang mengantar kan Marvel keluar ruanganan. Di ruang tamu Marvel berpamitan kepada Steven, juga meminta maaf atas hal yang di lihatnya.
Marvel juga menitip kan Alice kepada Steven, bagaimana pun Alice sudah ia anggap seperti Moza anaknya.
"Nak, saya mewakili istri saya ingin meminta maaf ya atas perlakuannya. Saya juga titip Alice, tolong temani dia di sini. Mungkin wajahnya terlihat tegar, tapi lihatlah sebenarnya dia begitu hancur. Alice paling dekat dengan William dan Oma." Ucap Marvel dengan lembut seperti seorang ayah
"Baik Pak." Ucap Steven sopan.
"Ya sudah kembali lah ke dalam, kalau ada apa-apa tolong berkabar ya." Pamit Marvel menepuk pundak Steven, kemudian dia berjalan mengikuti sang istri yang sudah pergi duluan.
Steven hanya mengangguk menatap punggung Marvel yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu lift di ujung lorong.
Setelah kepergian Marvel Steven kembali ke dalam ruangan. namun ia urungkan untuk masuk ke kamar.
Ia lebih memilih merebahkan tubuhnya pada sofa di ruangan tamu.
Di pandangnya langit-langit ruangan tersebut, banyak pertanyaan yang muncul di fikirannya.
Tiba-tiba suara perut membuyarkan lamunannya.
Ia teringat bahwa dia dan Alice belum makan malam. Di liriknya jam yang bertengger di dinding atas sebuah TV.
Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Steven lalu bergegas untuk turun menuju kantin rumah sakit barangkali masih ada yang menyediakan makanan.
Di kamar Oma
Alice teringat bahwa Steven tidak ada di sana, ia segera bergegas keluar untuk mencari.
Namun tidak ada seorang pun di ruangan tamu, Alice mondar mandir mencari keberadaan Steven. Bahkan ia berjalan menuju dapur dan toilet.
Ternyata Steven juga tidak ada di sana.
Kemana dia kalau pulang kenapa tidak pamit. Ya Tuhan kenapa aku lupa dengannya seolah aku mengabaikan begitu saja.
Batinnya menilai.
Akhirnya Alice memutuskan untuk menitipkan sang Oma kepada suster untuk menjaga.
Alice lalu bergegas mencari Steven, karena ia tadi melihat tas Steven masih tergeletak di sofa.
Kemungkinan dia masih di area rumah sakit.
Di pindainya setiap ruanganan, mencoba mencari sosok yang sudah berubah baik menurutnya.
Ia berjalan di lorong yang semakin sepi mengingat hari sudah begitu larut.
Sampai akhirnya ia berhenti di sebuah tepi taman yang berada tidak jauh dari ruangan Oma berada.
'ah ternyata dia di sana, bikin khawatir saja'
Kata Alice dengan lega karena menemukan bayangan seperti Steven.
Sosok yang duduk sendiri di sebuah kursi taman dengan pandangan yang melihat seisi angkasa.
Alice berjalan dari arah belakang Steven, ia pun memberanikan diri mendekat.
Steven mendengar langkah kaki yang mendekatinya namun ia urungkan untuk menoleh.
Karena malam begitu larut suasana begitu sunyi di rumah sakit ini.
Setelah Steven memutuskan untuk keluar dari kamar Oma.
Steven berjalan gontai melewati koridor rumah sakit, ia memutuskan untuk turun ke kantin bawah.
Namun belum belum sempat turun ia bertemu dengan seseorang yang tidak asing baginya.
Dia lihat seseorang itu sedang duduk melamun di taman, saat ia mendekat ternyata Steven salah.
Ia bukanlah sesuatu yang ia maksud melainkan hanya mirip jika dilihat sekilas dari belakang.
Steven juga sempat meminta maaf atas sikapnya yang tiba-tiba lancang menyentuh bahu orang tersebut.
Akhirnya Steven berakhir duduk di kursi taman untuk menyandarkan tubuhnya. Bahkan dia lupa dengan tujuan awalnya untuk pergi ke kantin.