"Tidak adakah pekerjaan yang bisa kamu lakukan selain mengganggu kesibukan orang lain?" Clive melirik dingin Berry yang duduk disebelahnya.
"Aku hanya ingin wanita itu menjadi ibuku. Bila menunggu Ayah, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kehidupan," Berry ikut melirik dingin pada ayahnya.
"Siapa yang mau menjadi Ibumu? Wanita itu?" Clive tersenyum sinis mendengar ucapan putranya.
"Aku saja tidak mau jadi Ayahmu. Terpaksa saja, karena kamu adalah anakku," Clive membuka sabuk pengamannya, lalu segera turun dari mobil. Ia membuka pintu, lalu meraih tubuh kecil Berry masuk dalam gendongannya dan menyerahkannya pada pengasuhnya.
"Pastikan pria kecil ini tidak membuntutiku lagi."
"Baik Tuan," David membungkuk hormat, lalu menggandeng tangan Berry yang segera ditepis anak itu lalu berlari memasuki rumah.
Ikuti kisah Berry, yang memilih sendiri siapa wanita yang dijadikan sebagai ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Isi Paper Bag (Visual Clive Mandelson)
Kantor Kalimas Group.
Drrt. Drrt. Drrt.
Clive melirik ponselnya yang bergetar diatas meja, menampilkan nama Sizy pada layar ponselnya yang menyala. Segera diraihnya dan menggeser log berwarna hijau itu.
📞"Ada apa?" datar Clive, setelah menempelkan benda pipih itu pada daun telinganya.
📞"Kenapa suaramu selalu saja datar tanpa ekspresi seperti itu? Membosankan."
Clive terdiam sesaat, memberi isyarat pada salah satu sekretaris manager yang tengah menghadap dirinya untuk melakukan interview, sebelum akhirnya ia berdiri dan melangkah menjauh, menuju dinding kaca yang memperlihatkan hiruk-pikuk kesibukan situasi kota dari ketinggian kantornya sore itu.
📞"Berbicaralah lemah lembut, selayaknya seorang suami yang sangat mencintai isterinya," lanjut Sizy lagi. Wanita itu tidak tahu saja bagaimana roman Clive sekarang begitu mendengarnya, pria itu sampai menyugar rambut klimisnya dengan bercermin pada pantulan kaca transparan didepannya, yang bahkan tidak memperlihatkan bayangannya.
📞"Clive apa kamu masih disana?" suara Sizy kembali mengudara, saat suara suaminya itu belum juga terdengar.
📞"Ehem..." Clive berdehem sebentar, sembari mengatur oksigen yang masuk kedalam parunya. "Tidak biasanya kamu protes dengan gaya bicaraku... Katakan... Apa yang kamu inginkan, calon ibu bayiku, heum?"
Visual Clive Mandelson
Diseberang sana, Sizy merinding mendengar intonasi suara Clive yang melembut. Ia mengusap tengkuknya, bulu-bulu halus disana mekar semua hingga pada bagian tubuhnya yang lain, apalagi saat mencerna kalimat terakhir Clive.
"Oh my God... Kenapa pria itu semenakutkan itu... Dia memang lebih cocok datar tanpa ekspresi." Sizy kian bergidik.
📞"Aku... Sedang ada dirumah Paman dan Bibi bersama anak-anak. Suasana hati Yuna sedang buruk setelah kami mengunjungi Mamanya di sel Polres, jadi aku putuskan membawanya kemari agar dia sedikit terhibur. Maafkan aku karena tidak meminta izin terlebih dahulu padamu. Aku harap kamu tidak keberatan," papar Sizy hati-hati.
📞"Jangan cemas, bersenang-senanglah disana. Nanti malam aku akan menjemput kalian."
📞"T-tidak perlu, aku bawa mobil sendiri tadi," larang Sizy.
📞"Sebagai kepala keluarga yang mencintai isteri dan anak-anaknya, tidak mungkin aku membiarkan kalian berkunjung sendirian, apa kata Paman dan Bibi nanti?" sambil memasukan satu tangannya yang lain kedalam saku celananya.
"Oh God, help me..." erang Sizy didalam hati sambil memegangi dadanya, tidak kuat mendengar suara pria itu. Ia tidak menyangka tujuan mengoda suaminya supaya diberi izin malah berakhir mendengar suara lembut tidak biasa itu.
📞"B-baiklah, yang mana kau anggap baik saja," pasrah Sizy, lalu menutup teleponnya tanpa kata penutup yang lazim seperti pasangan suami-isteri pada umumnya.
Clive menatap ponselnya yang diputus secara sepihak dari seberang sana. Semburat senyum samar tergambar diwajah tegasnya. Detik berikutnya ia berbalik, mengayunkan langkahnya kembali kemeja kerja. Suasana hatinya sangat baik sore itu.
"Hera Monika, bereskan pekerjaanmu yang terdahulu, karena mulai besok pagi kamu saya terima menjadi sekretaris saya," putus Clive, menatap datar wanita didepannya.
"S-saya di-diterima?" Hera tercengang dengan mulutnya terbuka lebar tanpa sadar, paras cantiknya seketika tenggelam akibat raut konyolnya.
"Iya," sahut Clive datar, kakinya refleks mendorong lantai hingga kursinya terdorong kebelakang melihat reaksi calon sekretaris barunya itu.
"Oh thanks God! Akhirnya aku bebas dari si manager berkumis kusut itu!" pekik Hera saking girangnya.
"Terima kasih banyak Tuan, saya permisi dulu. Secepatnya saya akan membereskan pekerjaan saya sebelumnya," Hera gegas berdiri, tidak lupa merunduk hormat sebelum meninggalkan sang atasan barunya dengan euphoria tergambar jelas dari sikapnya yang berjingkrak-jingkrak menuju pintu.
Clive terpaku melihatnya, namun anehnya ia sama sekali tidak keberatan dengan apapun respon kebahagian yang tengah ditunjukan oleh sekretaris barunya itu.
...***...
Rumah Arthur Gunawan.
"Bukan salahnya, tapi salahku. Menggoda si datar itu sampai suaranya berubah begitu," Sizy masih menatap ponselnya yang baru ia putuskan sepihak.
Wanita itu menyilangkan tangannya didepan dadanya sambil mengusap-usap lengannya sendiri supaya bulu-bulu halus yang sempat bangun dan mekar disana bisa tertidur kembali.
"Ibu, Kak Sizy! Aku akan ke minimarket didepan bersama Berry dan Yuna untuk membeli es krim. Kakak dan Ibu mau titip apa?!" teriak Mesie, melongokan wajahnya ke dapur, dimana Sizy dan Margaretha sedang menyiapkan makan malam.
"Belikan Ibu masako rasa daging sapi! Persediaan sudah habis!" sahut Margareta turut berteriak pada putri semata wayangnya itu.
"Belikan Kakak pembalut dengan merk seperti biasa! Kakak tidak membawanya tadi karena langsung kemari!" Sizy ikut memekik didekat Maegaretha.
"Duitnya kak?" Mesie cengengesan dengan wajah tanpa malu-malunya.
"Ambil didompet Kakak yang ada dikamar!"
"Yes! Terima kasih Kak Sizy yang super duper cantik dan gak pelit!" gadis belia itu langsung berlarian keatas, menaiki anak-anak tangga rumahnya dengan semangat.
"Sebaiknya kamu jujur pada tuan Clive, tidak boleh berbohong. Semakin bulan, seharusnya perutmu itu semakin membesar," Margaretha kembali melanjutkan obrolannya yang sempat tertunda karena gangguan Mesie.
"Iya, Bibi benar. Tapi masalahnya, semua orang tahu Bibi, termasuk Berry, kedua mertuaku dan semua teman-teman bisnis mereka," ungkap Sizy dengan raut frustrasinya, mengingat bagaimana Clive dengan santainya mengatakan kehamilan dirinya didepan semua orang saat perjamuan bisnis malam itu.
Margaretha terpana mendengarnya, tidak menyangka niat berbohong main-main keponakannya itu ternyata menyebar kemana-mana.
"Sepertinya kasusmu ini tidak mudah Sayang. Kamu sepertinya harus membayar mahal atas kebohongan main-mainmu itu," ucap Margaretha menatap serius keponakannya.
"Maksud Bibi?" Sizy ikut serius dengan wajahnya yang kian cemas.
"Kamu tidak ada pilihan selain hamil beneran anaknya tuan Clive-mu itu," sahut Margaretha, apa adanya.
Glek.
Sizy menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana caranya dirinya bisa hamil anak pria itu?
"Masalahnya, kamu tidak bisa membuat pengakuan dan meminta maaf saja pad tuan Clive. Bagimana dengan kedua mertuamu? Berry yang sudah sangat menginginkan seorang adik? Juga para kenalan keluarga konglomerat keluarga suamimu?" Margaretha melanjutkan.
Glek.
Sizy kembali menelan salivanya. Ia benar-benar kian frustrasi mendengar ucapan bibinya itu, dan itu benar.
"Apa aku harus bilang pada Clive, hamili aku? Oh, itu tidak mungkin Bibi! Aku bahkan pernah berteriak padanya, mengatakan kalau dia pria mesum," Sizy mengacak-acak rambut panjangnya yang terurai.
"Sizy jaga sikapmu Sayang, helaian rambutmu bisa jadi bumbu tambahan yang tidak diinginkan pada masakan bibi," tegur Margaretha.
"Heum, aroma masakan Bibi sangat menggoda, hingga membawaku langsung datang kemari."
"T-tuan Clive..."
"Clive..."
Ucap Sizy dan Margaretha bersamaan, memandangi Clive yang sudah ada dibelakang mereka sambil menenteng sesuatu ditangannya.
"Salam Bibi. Maaf, aku datang mengejutkan Bibi tanpa memberitahu," ucap Clive sambil menangkupkan kedua tangannya didepan dada.
"Oh, tidak, jangan sungkan Nak, ini juga rumahmu," balas Margaretha dengan senyum ramahnya.
"Kami sedang menyiapkan makan malam, duduklah diruang keluarga, atau beristirahat dikamar Sizy, nak Clive pasti lelah setelah seharian berkerja," suruhnya kemudian.
"Iya Bibi," Clive tersenyum tipis.
"Ini untukmu," Clive menyodorkan tentengan yang ia bawa pada Sizy.
"Apa ini?" Sizy menatap Clive sambil menerima tentengan paper bag yang lumayan besar itu.
"Pesananmu. Tadi aku bertemu Mesie bersama Berry dan Yuna yang sedang makan es krim di minimarket depan."
"P-pembalut?" seketika Sizy terbelalak, begitu juga Margaretha.
Bersambung...✍️
Otw unboking kah…
🤭🤭
malu sangat diriku,, gak terlalu banyak tau tentang budaya sendiri🥲🥲🥲
iklan ku masih lengkap padahal udah malem.🤭