Cinta Seindah Khayalan
Kantor Pusat Laboratorium Pengujian Bahan Konstruksi, Samarinda, Indonesia.
Ting!
Sizy buru-buru keluar dari lift sambil melirik arloji tangannya.
"Oh, tuan Clive, dia tampan sekali," gemas salah satu resepsionis sambil mencengkram buku tamu ditangannya, sementara satu teman resepsionis lainnya berdiri membatu dengan wajah penuh damba.
Sizy menoleh, menemukan presisi seorang pria yang menjadi pusat perhatian para pegawai wanita memasuki pintu utama, dengan postur tegap dan wajah datarnya, melangkah pasti tanpa menoleh kiri dan kanan menuju lift dimana dirinya keluar sebelumnya.
Ini bukan hal yang baru ia lihat, semua wanita dikantornya akan bersikap demikian setiap kali pria berdarah Indonesia-Inggris itu berkunjung dikantor mereka.
Derrt. Derrt. Derrt.
Sizy buru-buru meraih ponselnya yang ada didalam tas.
"Edwin..." Sizy mengulas senyum saat melihat nama kekasihnya tertera dilayar ponselnya.
📞"Maaf, aku baru akan menjemputmu di bandara, tadi ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan," Sizy kembali terburu-buru menuruni tangga kantor menuju parkiran.
📞"Tidak Sizy, aku menelponmu hanya mengabarkan kalau aku sudah didalam taxi menuju apartemenku, lanjutkan saja pekerjaanmu. Besok saja kita bertemu sekalian makan siang. Aku lelah sekali, dan ingin langsung beristirahat."
📞Baiklah, aku mengerti. Penerbangan jauh memang melelahkan, beristirahatlah."
Sizy menarik napas, lalu menghembuskannya pelan, dan berusaha tersenyum. Empat tahun tidak bertemu Edwin, membuatnya sangat merindukan kekasihnya itu.
Demi pria yang dicintainya itu, Sizy bahkan rela mengorbankan beasiswa dari kantor tempatnya berkerja untuk meraih gelar doktor di universitas Harvard, Amerika. Dan memberikan tabungannya seratus dua puluh dua ribu dolar pada Edwin, yang memang ia canangkan untuk studinya diluar negeri.
Berusaha menjaga suasana hatinya tetap tenang dan bahagia, Sizy memutuskan untuk beranjak menuju kantin kantornya, mengisi perutnya yang baru terasa lapar setelah berkutat dengan pekerjaannya.
...***...
"Kak Sizy, maaf--" wajah Fiona nampak cemas, hingga tangannya gemetar menggenggam ujung jas laboratoriumnya.
"Sedang apa anak itu disini?" tanya Sizy, menatap Fiona, anak magang asuhannya, begitu ia pulang dari kantin.
"A-anak itu, d-dia menumpahkan agregat (material berupa kerikil, pasir, batu pecah) yang sudah dua hari ini aku uji," Fiona menunjuk tumpahan material disudut ruangan, sementara anak laki-laki itu berdiri disana sambil menempelkan tubuhnya didinding.
Sizy berjalan mendekati anak laki-laki itu, berjongkok dan menatapnya lembut.
"Apa yang kamu lakukan disini anak tampan? Ini ruang pengujian bahan bangunan, dan sangat berbahaya untuk anak kecil seusiamu berada diarea sini," Sizy menatap wajah datar anak laki-laki itu, setengah jidatnya tertutup oleh poninya yang pirang.
"Panggil aku Berry, dan aku tidak suka dikatakan anak kecil, seakan diriku ini lemah," tegasnya datar.
Sizy terperangah, tidak menduga mendapat respon tegas dari seorang anak laki-laki yang ia taksir pasti baru berusia lima tahun itu. Sizy kembali mengulas senyum lembutnya.
"Baiklah, aku sepakat memanggil namamu Berry. Sekarang katakan padaku, apa yang membawamu datang ke tempat ini? Dimana orang tuamu?" Sizy menelisik wajah imut anak laki-laki itu, begitu tampan dan sangat familiar, mirip seseorang yang tidak asing baginya.
"Aku mencarimu Sizy," anak itu balas menatap, datar.
Lagi-lagi Sizy terperangah. Anak laki-laki itu bahkan berani hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel kakak, tante, bibi, atau apapun serupa itu.
"Dari mana tau namaku? Dan untuk apa mencariku?" Sizy masih dalam mode terperangahnya. Heran, bagaimana anak kecil itu bisa tahu namanya.
"Itu perkara mudah bagiku," sambil mengibaskan tangan kecilnya, merapikan poni dan menyugarnya kebelakang.
Sizy tertawa didalam hati, melihat sikap dewasa yang berusaha ditunjukan Berry dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.
"Aku menyukaimu. Andai aku dewasa, aku pasti menikahimu. Sayangnya, aku masih terlalu kecil untuk itu. Jadi, kumohon--, jadilah ibuku."
"Apa?!" Sizy kian terperangah. Sama sekali dirinya tidak menyangka anak sekecil itu bisa berkata seperti itu. Enam bulan terakhir ini, ia memang beberapa kali melihat Berry ada diarea kantornya ini, tapi baru kali ini sempat berinteraksi dengannya, itupun karena anak itu melakukan kekacauan dalam ruang laboratoriumnya.
Tok! Tok! Tok!
Sizy, Fiona, dan juga Berry, sama-sama menoleh kearah pintu, dengan ekspresinya masing-masing.
"Ayah?!" Berry berucap kaget.
"Tuan Clive begitu sempura sebagai seorang pria..." Fiona membingkai wajahnya sendiri dengan sepasang tangannya sembari menyipitkan matanya.
Dan Sizy, perempuan itu bangkit dari posisi jongkoknya, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya saat melihat Clive berada diambang pintu laboratoriumnya yang terbuka.
"Maaf, Berry pasti melakukan kekacauan disini," Clive menatap lantai disekitar injakan kaki putranya. Suara datar tapi tetap terdengar sopan.
"Saya akan meminta orang-orang saya untuk membereskannya."
"Tidak masalah tuan Clive, kami bisa membereskannya, ini tidak berat," sambut Sizy, tersenyum tipis melirik Berry yang berjalan menuju ayahnya lalu naik kegendongan. Ia baru sadar ternyata pria kecil itu anak dari Clive.
"Kami pamit," Clive berbalik, membawa Berry dalam gendongannya.
"Fio, Fiona!" Sizy menyaringkan suaranya, membuat Fiona yang masih hanyut dalam pesona Clive segera tersadar dengan gayanya yang gelagapan salah tingkah.
"M-maaf kak--, bukan salahku--, tuan Clive terlalu tampan untuk level para pria yang berseliweran dikantor kita, mereka semua--, lewaaaaat!" kekehnya sambil mengibaskan tangan dan rambutnya.
Mendengarnya, Sizy hanya menggeleng datar.
"Jangan banyak berkhayal Fio, kamu tidak perlu ketularan para wanita dikantor ini, mereka bagai serbuk besi yang langsung tersedot magnet pesonanya tuan Clive. Ayo cepat, kita bereskan kekacauan ini," sambil mengambil oven, mengumpulkan agregat yang terhambur dilantai dengan tangannya yang sudah menggunakan sarung tangan.
...***...
"Tidak adakah pekerjaan yang bisa kamu lakukan selain mengganggu kesibukan orang lain?" Clive melirik dingin Berry yang duduk disebelahnya.
"Aku hanya ingin wanita itu menjadi ibuku. Bila menunggu Ayah, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kehidupan," Berry ikut melirik dingin pada ayahnya.
"Siapa yang mau menjadi Ibumu? Wanita itu?" Clive tersenyum sinis mendengar ucapan putranya.
"Aku saja tidak mau jadi Ayahmu. Terpaksa saja, karena kamu adalah anakku," Clive membuka sabuk pengamannya, lalu segera turun dari mobil. Ia membuka pintu, lalu meraih tubuh kecil Berry masuk dalam gendongannya dan menyerahkannya pada pengasuhnya.
"Pastikan pria kecil ini tidak membuntutiku lagi."
"Baik Tuan," David membungkuk hormat, lalu menggandeng tangan Berry yang segera ditepis anak itu lalu berlari memasuki rumah.
"Sepertinya Tuan kecil sangat menyukai nona Sizy, Tuan," ungkap David.
"Beberapa bulan ini, dia terus mengikuti kemanapun wanita itu pergi," sambungnya.
Clive berfikir sejenak.
"Kalau kamu sudah tidak sanggup menjaga Berry lagi, ajukan surat pengunduran dirimu secepatnya, aku akan segera mencari penggantimu," setelah mengucapkan itu, Clive berlalu, menuju mobilnya.
"M-maafkan saya Tuan, b-bukan itu maksud saya," David tergagap. Ia tahu dirinya sudah lancang mencampuri urusan pribadi tuannya.
...***...
Rasa rindu yang besar membawa Sizy menyambangi apartemen Edwin sore itu sepulang kerja, ia sudah tidak bisa menunggu hingga esok hari.
Ting! Tong! Ting! Tong!
Cukup lama Sizy berdiri didepan pintu, sambil sesekali menekan bel.
Ceklek.
Sizy kaget, saat ia memutar gagang pintu, ternyata tidak terkunci.
"Edwin tentu sangat kelelahan, sampai lupa mengunci pintunya," gumam Sizy, lalu menutup pintu dibelakangnya, sambil mengedarkan pandangannya keseluruh sudut ruangan.
"Tidak ada yang berubah, masih seperti empat tahun yang lalu," gumam Sizy lagi, melihat ruangan apartemen yang bersih dan tertata rapi sama seperti terakhir kali ia kesana saat kekasihnya itu akan berangkat ke Amerika kala itu.
"Suara apa itu?" Sizy menajamkan pendengarannya, melangkah pelan mengikuti sumber suara.
Dada Sizy berdebar, jantungnya memacu kencang, diusianya yang sudah menginjak 27 tahun ini, tentu suara aneh didalam kamar itu membuatnya sangat curiga.
Pintu yang sedikit terbuka, terganjal koper dari dalam, sangat memudahkan Sizy mendorongnya hingga terbuka lebar.
"Brengsek kamu Edwin! Dasar perempuan laknat!" pekik Sizy murka.
Sizy mengangkat koper besar yang berat didekatnya, melemparnya sekuat tenaga pada kedua manusia yang tengah bergelut tanpa busana diatas ranjang dihadapannya. Lalu pergi dengan perasaan marah yang membara, tanpa menghiraukan panggilan Edwin yang terus berteriak memanggilnya.
"Stefhany, aku sudah memperingatkanmu supaya tidak ke apartemenku!" Edwin menatap tajam pada wanita bugil dihadapannya.
"Lebih baik dia melihatnya, jadi kita tidak perlu repot-repot menjelaskannya bukan?" perempuan itu terkekeh.
Edwin mendelik, tanpa berkata apapun lagi, ia beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
Bersambung...✍️
✍️Selamat membaca karya baru Author Dewi Payang.
✍️Dukungan para Readers untuk novel ini sangat Author harapkan, jangan lupa tinggalkan jejak, like, dan komennya.🙏🙏
✍️Bisa jadi, komen Readers bisa menjadi inspirasi Author dalam menulis bab-bab selanjutnya.
Salam dan doa dari Author
Dewi Payang. 🫰🫰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
〈⎳ Say My Name Claudia 1288
Sensi banget sih Lo kaya masker
2024-11-06
2
Delita bae
salam kenal 👋jika berkenan mampir juga ya😇🙏
2024-11-02
1
🌟~Emp🌾
lama banget gak ketemu nya, kalo aku empat hari aja udah mikir cadangan 😂🤣
2024-10-23
1