Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Bertindak Sebagai Ayah
Seperti naik roallercoaster, itulah yang dirasakan Nisa sekarang. Dia datang sebagai tamu, tapi Hanni dan Darmawan menyambutnya sebagai anak.
"Apa yang terjadi?" Nisa terpaku di tempatnya. "Kenapa mereka memperlakukanku seperti ini?" batinnya.
Sampai detik ini Nisa masih tak mengerti. Yang dia lakukan hanyalah diam, sesekali menggaruk pipinya yang tak gatal.
Sementara itu, Hanni duduk manis di sampingnya. Terus-terusan menggenggam tangannya seolah tak ingin dia pergi.
Dan Darmawan, pria itu pergi entah ke mana. Tapi beberapa saat kemudian dia muncul dengan membawa benda yang pernah menjadi milik Nisa.
"Sayang?" Sama seperti Hanni, Darmawan pun duduk di samping Nisa. "Papa kembalikan ini padamu. Ayo, pakai?"
Pria itu menyodorkan liontin yang sempat Nisa jual. Alih-alih memakainya, Nisa hanya memandang tanpa berani menyentuhnya.
Ya, itu pernah jadi milik Nisa. Tapi Nisa menjualnya dan menggunakan uangnya sebagai modal.
"Tapi, kan?" Nisa menoleh ke kanan dan kiri. Jujur saja, diapit konglomerat seperti ini membuatnya merasa aneh. "Aku sudah menjualnya."
Lagi-lagi, Nisa menggaruk pipinya. Tak tahu harus melakukan apa di situasi seperti ini.
Sesaat kemudian Hanni bertanya, "Apa kamu pernah melihat isi di dalamnya?"
Wanita itu tersenyum, sementara Nisa menggeleng. Memang bandul liontin itu agak tebal. Tapi Nisa tidak tahu kalau liontin itu bisa di buka.
"Lihatlah!" Darmawan pun menunjukkan bagaimana cara membuka liontin itu. Hanya dengan menekan dan memutar, maka terlihatlah isi di dalamnya. "Apa kamu bisa membaca tulisan di dalamnya?"
"I-itu?" Dahi Nisa mengkerut. "Darimana kalian tahu kalau liontinnya bisa di buka?"
Alih-alih melihat apa yang ada di dalam liontin, Nisa justru mengajukan pertanyaan itu.
Lebih dari dua puluh tahun menyimpan, Nisa bahkan tidak tahu kalau liontin itu bisa di buka. Yang Nisa tahu hanyalah ada tulisan Althafunnisa di sana.
"Darimana kami tahu?" Hanni membelai wajah Nisa dan tersenyum. "Tentu saja kami tahu karena kami yang memberikan benda ini padamu setelah kamu lahir, Nak?"
Ya Tuhan. Nisa benar-benar lelah dan pusing sekarang. Dia pun menghela nafas panjang dan membuangnya perlahan.
"Kenapa kalian memberiku itu?" Nisa menatap dua orang itu dengan wajah bingung. "Maksudku, kenapa tiba-tiba aku punya ayah dan ibu?"
Wanita itu menundukkan kepala. Menggigit bibirnya sendiri seraya memainkan jari-jarinya yang mulai gemetar.
"Aku tak punya ayah." Kali ini, Nisa mengangkat wajahnya, dan bicara dengan mata berkaca-kaca. "Lalu ibuku. Dia ... hanyalah wanita malam."
Sekali lagi, Nisa menghela nafas panjang dan melanjutkan, "Jadi tolong jangan memperlakukanku seperti anak kalian. Candaan ini sangat tidak lucu."
Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Tak ada satupun yang bersuara sampai Darmawan angkat bicara.
"Ini bukan candaan." Pria itu mengambil sebuah kaca pembesar. Lalu memberikan benda itu bersama dengan liontin yang dia pegang. "Lihatlah!"
Darmawan pun menunjukkan apa yang ada di dalam liontin itu. Diluar, memang hanya ada tulisan Athafunnisa saja.
Tapi dengan kaca pembesar, Nisa bisa membaca tulisan berukuran kecil yang terukir di dalam. Sebuah ukiran indah bertuliskan 'Althafunnisa Az-Zahra'. Dilengkapi dengan tulisan 'Putri Darmawan & Hanni' di bawahnya.
"Kamu benar-benar anakku," kata Darmawan.
"T-tapi, kan?" Mata Nisa terasa panas. "Bukankah ibuku,-"
"Tidak!" Hanni memotong pembicaraan Nisa. "Dia bukan ibumu. Ibumu adalah aku. Akulah yang melahirkanmu."
Akhirnya, mereka pun menjelaskan apa yang terjadi hari itu. Menceritakan saat mereka kehilangan anak, saat wanita malam itu menolong Nisa sampai dia meninggal dan memberitahu Nisa bagaimana mereka menemukannya sekarang.
Tentu saja dengan menunjukkan bukti-bukti yang mereka punya untuk meyakinkan Nisa bahwa dia adalah anak mereka. Termasuk foto mereka bertiga sebelum mereka terpisah.
"Mungkin kamu masih bingung, tapi kamu benar-benar anak kami." Kali ini Darmawan bangkit. Meminta dua wanita itu berdiri sebelum menarik keduanya kepelukannya.
"Sudah sangat lama." Darmawan berkata dengan suara parau. "Sudah sangat lama aku ingin memeluk kalian seperti ini."
.
.
.
"Bolehkah aku pergi?" Nisa, perempuan itu menunduk dalam-dalam. Sedikitpun tak berani melihat wajah-wajah itu lagi.
"Pergi?" Dahi Hanum mengkerut. Dia pun menoleh ke arah suaminya dan kembali melihat Nisa. "Kamu mau pergi ke mana? Rumahmu di sini, Nak?"
"Tolong jangan pergi!" Perempuan itu memeluk Nisa kuat-kuat. "Mama nggak mau kehilangan kamu lagi!"
Wanita berusia paruh baya itu hampir menangis, tetapi Nisa hanya diam. Sementara itu, Darmawan tampak menenangkan istrinya.
"Biarkan Al pergi, Ma!" Darmawan meminta Hanni melepaskan pelukannya. Tapi Hanni enggan. "T-tapi,-"
"Sudah!" Darmawan menggeleng.
Dengan berat hati, Hanni pun melepaskan Nisa. Sementara Darmawan mengantar Nisa keluar.
"Maaf!" Nisa menundukkan kepala. "A-aku p-pergi sekarang!"
Nisa pun berbalik arah. Ingin pergi dari rumah sebesar istana itu secepat yang dia bisa. Tapi, Darmawan tidak berniat untuk membiarkan Nisa pulang sendirian.
"Tunggu, Nak!" Setengah berteriak, Darmawan memanggil Nisa. "Biarkan ayah mengantarmu!"
"Tidak perlu!" Nisa menggeleng tanpa menoleh. "A-aku bisa pulang sendiri!"
"Ayahmu ini sudah kehilangan banyak momen, Al!" Perlahan, Darmawan mendekati Nisa. "Ayah sudah kehilangan kamu sejak bayi. Ayah belum sempat menjadi orangtua yang benar. Jadi tolong, berikan kesempatan agar ayahmu ini bertindak seperti ayah-ayah lain di luar sana."
Iba melihat wajah itu, Nisa pun menurut. Wanita itu naik ke mobil dan membiarkan Darmawan mengantarnya pulang.
Dan sampai di rumah, Nisa disambut oleh pemandangan yang tak biasa. Beberapa pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam tampak menunggu di sekitar rumah.
"I-itu?" Nisa menunjuk ke arah pria-pria itu. "Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan di sana?"
"Menunggumu pulang." Darmawan menoleh dan membelai kepala Nisa. "Akan kuminta mereka pergi jika kamu tidak nyaman."
"Ah?" Nisa tampak gugup bertatapan dengan Darmawan. "Akan lebih baik kalau mereka tak di sana."
Nisa pun melepas sabuk pengamannya, lalu mengambil tasnya dan turun. Tapi, Darmawan menyempatkan diri untuk memberinya beberapa pesan.
"Tinggallah di sini untuk sementara waktu. Ayah dan ibumu akan mengunjungimu sesekali." Pria itu tersenyum tipis. Lalu mencium kepala Nisa. "Lalu, segeralah pulang ke rumah kapanpun kamu mau. Ayah dan ibu akan sangat senang kalau kamu mau tinggal di sana. Mengerti?"
***