NovelToon NovelToon
Tawanan Miliarder Posesif

Tawanan Miliarder Posesif

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Menantu Pria/matrilokal / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: ayu andita

follow aku di IG : ayu_andita28

Hutang 10 Milyar yang dimiliki orang tua Serenity Lily membuat gadis itu menjadi korban dari seorang CEO kejam. Dia menjadi tawanan sang CEO yang tampak marah dan dendam pada orang tua Lily.

Akankah Lily mampu terlepas dalam penjara yang dibuat oleh sang CEO atau justru terjerat dalam pesonanya. Sementara pria itu hanya menjadikan Lily sebagai tawanan!

Akankah Lily akan menemukan bahagianya atau justru sebaliknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayu andita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33 Diusir

Sementara itu, di sisi lain kota, suasana rumah Alina sedang memanas. Alina berdiri di ruang tamu, menghadapi orang tuanya dengan tatapan keras kepala. Di hadapannya, ayah dan ibunya berdiri dengan ekspresi marah dan kecewa.

"Alina, kamu harus nurut sama keputusan kami! Kamu nggak bisa terus-terusan begini," suara ayahnya menggelegar, memecah keheningan yang mencekam.

Alina menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Papa, aku nggak bisa. Aku nggak cinta sama orang yang kalian pilih. Aku nggak mau dijodohin," jawabnya dengan suara gemetar tapi tegas.

Ibunya, yang biasanya lebih lembut, kali ini tampak begitu tegas. "Alina, ini demi masa depanmu. Kamu nggak bisa terus-terusan hidup tanpa arah. Keluarga itu baik, kaya, dan bisa memberikan kamu kehidupan yang lebih baik."

Alina menggeleng kuat. "Aku nggak peduli soal kekayaan atau kehidupan yang lebih baik versi kalian. Aku hanya ingin menjalani hidupku sendiri, dengan pilihanku sendiri."

Ayahnya menepuk meja dengan keras, membuat Alina terlonjak. "Kamu nggak bisa hidup seenaknya, Alina! Kita sudah memutuskan, dan kamu harus menurut!"

Air mata mulai mengalir di pipi Alina. "Kenapa kalian nggak pernah ngerti perasaanku? Aku udah dewasa, aku bisa memutuskan hidupku sendiri."

Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap Alina dengan dingin. "Kalau kamu nggak mau nurut sama kami, kamu nggak punya tempat di rumah ini. Kamu boleh pergi dan cari jalan hidupmu sendiri."

Alina terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya terasa remuk, tapi dia tahu bahwa dia harus berdiri teguh pada keputusannya. "Baik, kalau itu maunya Papa dan Mama. Aku akan pergi. Tapi jangan pernah berharap aku akan kembali."

Dengan langkah tegas, Alina berlari ke kamarnya, menahan isak yang semakin keras. Dia segera mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang pentingnya ke dalam koper kecil. Pikirannya penuh dengan kekecewaan dan rasa sakit, tapi dia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus dia ambil.

Saat dia kembali ke ruang tamu dengan koper di tangannya, ayah dan ibunya hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Alina menatap mereka untuk terakhir kali, mencoba mengingat wajah orang tuanya sebelum dia benar-benar pergi.

"Selamat tinggal, Papa, Mama. Semoga kalian bahagia dengan keputusan kalian," katanya pelan sebelum melangkah keluar dari rumah yang telah menjadi tempat tinggalnya selama ini.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Alina merasakan angin dingin malam menyentuh kulitnya. Hatinya berdebar kencang, campuran antara takut dan lega. Dia menatap langit yang gelap, berusaha menenangkan diri.

Dengan langkah mantap, Alina berjalan menjauh dari rumahnya, memulai babak baru dalam hidupnya. Dia tahu jalan di depannya akan penuh tantangan, tapi dia siap menghadapinya. Di dalam hati, dia berjanji akan menemukan jalannya sendiri, tanpa bergantung pada keputusan orang lain. Semangat dan tekad untuk meraih kebahagiaannya sendiri kini menjadi pendorong utama dalam setiap langkahnya.

Alina terus berjalan menjauh dari rumah, langkah kakinya mantap meski hatinya masih terasa berat. Dia nggak tahu mau kemana, tapi dia tahu nggak bisa kembali ke rumah itu lagi. Malam semakin larut, dan udara dingin mulai menusuk. Tapi Alina tetap berjalan, mencoba mencari tempat untuk menenangkan pikirannya.

Setelah beberapa saat, dia tiba di sebuah taman kecil yang sepi. Alina duduk di bangku taman, memeluk koper kecilnya erat-erat. Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, air mata mulai mengalir lagi di pipinya. Rasa sakit karena ditolak orang tuanya begitu dalam, tapi dia tahu dia harus kuat.

Tiba-tiba, suara ponsel di dalam tasnya berdering. Alina mengambil ponsel itu dan melihat nama Bram tertera di layar. Dia ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.

"Halo, Bram," suaranya terdengar serak karena menangis.

"Alina, kamu di mana? Kamu baik-baik aja?" tanya Bram dengan nada cemas.

Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba mengontrol emosinya. "Aku... aku di taman dekat rumah. Orang tuaku usir aku karena aku nggak mau dijodohin."

Di seberang sana, Bram terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Tunggu di situ. Aku akan ke sana sekarang."

Alina hanya mengangguk meski Bram tidak bisa melihatnya. Dia merasa sedikit lega mengetahui ada seseorang yang peduli padanya saat ini. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Alina melihat Bram datang dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Alina, kamu nggak apa-apa?" Bram duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh simpati.

Alina menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Bram. Semuanya terasa kacau. Aku nggak tahu harus kemana atau ngapain sekarang."

Bram meraih tangan Alina, menggenggamnya erat. "Kamu nggak sendiri. Aku di sini. Kamu bisa tinggal di tempatku sementara, sampai kamu menemukan tempat yang lebih baik."

Alina menatap Bram dengan mata berkaca-kaca. "Makasih, Bram. Aku bener-bener nggak tahu harus gimana lagi."

Bram mengangguk, tersenyum lembut. "Kita lewatin ini bareng-bareng, Alina. Kamu nggak sendiri."

Mereka berdua kemudian berdiri, berjalan beriringan menuju mobil Bram yang diparkir di pinggir jalan. Dalam perjalanan menuju apartemen Bram, Alina merasa sedikit lebih tenang. Meski hatinya masih berat dengan beban masalah, dia merasa ada secercah harapan dengan adanya Bram di sisinya.

Sampai di apartemen Bram, Alina merasa sedikit canggung tapi berusaha terlihat santai. Bram menunjukkan kamar tamu yang bisa dia gunakan, dan Alina mengucapkan terima kasih dengan tulus. Setelah mengemasi barang-barangnya dan membersihkan diri, dia berbaring di tempat tidur, mencoba merenungkan semuanya.

Di dalam kegelapan kamar, Alina menatap langit-langit, memikirkan masa depannya yang kini penuh ketidakpastian. Namun, dia tahu satu hal: dia tidak akan menyerah. Dengan Bram yang bersedia membantunya, dia merasa ada harapan untuk menemukan jalannya sendiri dan membangun hidup yang lebih baik.

Sebelum terlelap, Alina berdoa dalam hati agar semua masalah ini bisa dia atasi, dan suatu hari nanti dia bisa berdiri tegak dengan kebahagiaan yang dia perjuangkan sendiri. Dengan perasaan campur aduk, dia akhirnya tertidur, berharap esok hari akan membawa harapan baru.

Keesokan hari, Alina sudah rapi. dia segera keluar dari kamar menghampiri Bram di meja makan.

"Ayo segera sarapan, setelah itu kamu bisa cerita sama aku." jawab Bram.

"Iya." jawab Alina singkat. dia lekas menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Bram.

Mereka sarapan bersama pagi ini dalam keadaan canggung dan sunyi. Bram sendiri merasa bersalah pada wanita di depannya.

Lima belas menit berlalu, Bram mengajak Alina ke ruang tamu.Pria itu juga melarangnya membereskan meja makan karena itu tugas pelayan.

Di ruang tamu.

keduanya kembali duduk saling berhadapan satu sama lain. Bram membuang napas berat, lalu fokusnya kembali tertuju pada Bram.

"Al apa yang terjadi diantara kita, kita harus lupakan saja.Anggap saja tak terjadi apapun diantara kita." ujar Bram.

Deg

Alina tentu saja terkejut dan hatinya semakin sakit. Dia tak bisa berbuat apapun sekarang ini.Perempuan itu membuang napas berat lalu menatap Bram sambil tersenyum.

"Kamu tenang saja, aku tak akan menuntut kamu tanggung jawab, Bram!"

"Lagipula aku tak akan berhubungan dengan pria pengecut sepertimu." jawab Alina.

Bram merasa tertohok dengan ucapan Alina barusan.Wanita itu berusaha tak menangis dan mengamuk didepan Bram. Setelah mereka selesai bicara, Alina langsung pamit.Dia segera membawa kopernya keluar dari penthouse Bram.

"Kau mau ke mana Al?"

Alina berhenti sejenak lalu melirik kearah Bram.

"Bukan urusanmu!"Alina langsung berlalu pergi meninggalkan Bram yang diam mematung.

1
mbok Darmi
xander oon egois knp ngga mati aja sekalian saat kecelakaan bikin emosi
mbok Darmi
xander udah amnesia bikin kesel aja itu malah bikin masalah baru saat alina ada di mansion, lebih baik lily pergi saja biar kan xander hidup dgn alina yg ada kamu malah stress aku jamin xander akan lebih memperhatikan alina krn yg diingat hanya masa lalunya
Bivendra
lbh baik qm pergi ly jika dy mmg untukmu dy akan kembali dgn caranya sndri sdh ckup bertahan dlm kesulitan
kdg qt hrus pergi agar mengerti rasa kehilangan
Bivendra
aq kasihan bgt sm lily sllu menderita
merry jen
apa xanderr berubhh dingin gr gr Alina mnggllknn xanderr
Miss Apple 🍎
seru lanjut kak
Miss Apple 🍎
lanjut
Yanti Gunawan
gmn si ya sampe detik ini msh ga nyambung ktnya gak boleh jatuh cinta dn ada perjanjian trs knp tetiba ada kata mencintai oy
mbok Darmi
ternyata bram pecundang
Bivendra
enak aja ud sama2 bobo terus malah ninggalin gt aja
otak lu dmn bram
mbok Darmi
semoga alina hamil anak bram biar seru mau tdk mau alana hrs nikah sama bram demi anak yg dikandung nya
Miss Apple 🍎
nikah aja Bram dan Alina
Miss Apple 🍎
lanjut
Miss Apple 🍎
jangan tengok masa lalu
Bivendra
aq rada bingung sm xander n lily sllu
jwbn aq sayang cinta xander
kita akan melewati ini smw
tp lht lah
mading² sndri
Miss Apple 🍎: sama masih terbayang masa lalu keknya
total 1 replies
Miss Apple 🍎
seru
Miss Apple 🍎
kasihan Lilu
Miss Apple 🍎
seru
Miss Apple 🍎
lamjut
Miss Apple 🍎
lanjutlah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!