Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Gadis Kecil Bernama Raya
"Ya ampun!" Annisa menghela nafas panjang. "Kemana sih perginya bocah itu?"
Hanya tersisa beberapa menit sebelum jam istirahat berakhir, tapi Annisa belum melihat sesosok bocah yang sering dia jumpai di gerbang sekolah. "Apa dia sakit?"
Maklum, hampir satu minggu Annisa tak melihat anak itu. Selama itu pula Annisa gagal memberikan kue yang sengaja dia sisakan untuknya.
"Dasar anak nakal!" Annisa mendengus pelan, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Lihat saja, aku akan pergi kerumahmu nanti."
Annisa pun bertekad untuk pergi ke rumah anak itu sepulang sekolah nanti. Tapi, tiba-tiba ...
"T-tapi ... kan?" Annisa menepuk jidatnya. "Aku kan tidak tahu dimana rumahnya!"
Entah mengapa hari ini Annisa begitu sial. Kakaknya hampir di curi orang dan teman kecilnya hilang entah kemana.
Karena kesal, Annisa pun melahap kue yang dia sisakan. Lalu bergegas menuju kelas sebelum mata pelajaran selanjutnya dimulai.
.
.
.
Sementara itu di salah satu sudut kota ...
Seorang bocah perempuan berdiri di persimpangan jalan. Terselip diantara kerumunan orang dewasa yang ingin menyeberang.
Pakaiannya yang lusuh membuat orang disekitarnya risih. Menyadari hal itu, anak itu pun menjauh. Menyibak kerumunan dan berdiri di urutan paling belakang. "Permisi!" katanya.
Beberapa saat menunggu, lampu pun berganti warna. Tapi anak itu tak beranjak dari tempatnya. Sepertinya dia masih belum berani menyeberang.
Tapi, tiba-tiba ...
"Kamu mau menyeberang?" tanya seorang wanita dewasa yang tak lain adalah Nisa.
Gadis kecil itu mengangguk. "Iya!"
"Ayo!" Nisa menggandeng tangan anak itu. Tapi bocah itu melepaskan tangannya. "Tangan Raya kotor."
"Jadi ... Namamu Raya?" tanya Nisa.
Raya mengangguk pelan. Nisa pun meyakinkan Raya bahwa tidak apa-apa memegang tangannya.
"Tidak apa-apa!" Sekali lagi Nisa tersenyum. Lalu menggenggam tangan anak itu dan menyeberang bersamaan.
Dan sesampainya di seberang jalan, Nisa baru sadar kalau bocah itu berkeliaran sendirian. "Itu ... kamu sendirian? Mana ibumu?"
"Mama?" Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya. Lalu menunduk sembari memeluk bungkusan kecil di tangannya. "Mama di rumah. Mama sedang sakit."
"Jadi kamu pergi membeli obat untuk mama?" Nisa melirik bungkusan kecil itu. "Dia sakit apa?"
"Batuk." Dengan polosnya, Raya menyodorkan obat yang dia pegang. "Kalau mama minum obat, mama pasti bisa sembuh, kan?"
Sebuah senyum terukir di bibirnya yang kecil. Nisa pun mengusap kepala Raya atas kebaikan hatinya itu.
"Tentu!" Nisa mengangguk. "Mamamu pasti sembuh setelah minum obat."
Penasaran, Nisa pun mengambil bungkusan itu. Tapi senyumnya memudar begitu melihat isi di dalamnya. Obat itu bukanlah obat batuk. Selain itu, obat itu sudah kadaluarsa.
"Ngomong-ngomong, dimana kamu membeli obat ini?" Alis Nisa terangkat ke atas.
Sejauh ini, Nisa tidak berpikiran macam-macam. Dia hanya mengira Raya salah membeli obat. Sementara penjual obat itu lupa tidak memeriksa tanggal kadaluarsanya. Tapi jawaban Raya membuat Nisa nyaris kehilangan kata-kata.
"Raya nggak beli, kok!" Wajah itu sangat polos. "Raya memungut dari tempat sampah!"
DEG
"Apa?" Nisa memelotot. Dia bahkan tidak tahu harus berekspresi seperti apa sekarang. "T-tempat sampah?"
Raya mengangguk pelan. Sementara Nisa memperhatikan Raya dengan seksama. Anak itu terlihat sangat tidak terawat. Badannya kurus, pakaiannya usang dan sorot matanya terlihat sangat kelelahan.
Anak itu masih sangat kecil. Dia mungkin baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun sekarang. Mau tak mau, Nisa pun iba melihatnya.
"Ooh, begitu, ya?" Nisa mengedipkan matanya berkali-kali. Menahan air matanya yang mulai menggenang agar tidak jatuh. "Tapi obatnya sudah rusak. Kita beli yang baru, ya?"
Mendengar ucapan Nisa, Raya tertunduk lesu. "Tapi Raya nggak punya uang."
"Biar Mbak Nisa yang beliin," janji Nisa.
"Sungguh?" tanya Raya dengan mata berbinar.
"Sungguh." Nisa tersenyum manis, lalu menyetarakan pandangannya. "Tapi sebelum itu, kita rapikan dulu rambut kamu, ya?"
Setelah mengorek lebih jauh, akhirnya Nisa mengerti. Selama ini Raya tinggal bersama ibunya yang sakit-sakitan.
Tak punya ayah dan tak punya keluarga. Hidup mereka serba kekurangan. Bahkan tak jarang harus menahan lapar karena tak punya uang.
Untuk itulah, Nisa memutuskan untuk mengantar Raya pulang kerumahnya. Melewati jalanan setapak yang kedua sisinya ditumbuhi ilalang.
Tangan kiri Raya menenteng obat-obatan pemberian Nisa. Sementara tangan kanannya menggandeng tangan Nisa.
Di sisi lain, Nisa tak memikirkan apapun. Dia hanya tersenyum sembari membayangkan betapa senangnya Raya saat ibunya sembuh nanti.
"Itu rumahmu?" tanya Nisa begitu melihat sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
Raya mengangguk. Lalu menarik Nisa agar berjalan lebih cepat. "Ayo, Mbak Nisa! Mama pasti senang melihat Mbak Nisa!"
Sejauh ini tak ada yang aneh. Sampai beberapa tetangga keluar dari rumah Raya dengan wajah sedih.
Melihat siapa yang datang, mereka pun memeluk Raya bergiliran. Seorang wanita berusia paruh baya bahkan menangis. Mencium Raya berkali-kali sembari berbisik pelan, "Mamamu baru saja meninggal dunia, Nak!"
.
.
.
Satu minggu kemudian ...
"Mbak Nisa mau pergi?" Dengan menenteng boneka usang kesayangannya, Raya memegang ujung baju Nisa. Wajahnya yang sayu sedikit cemberut. "Raya boleh ikut Mbak Nisa, nggak?" lanjutnya.
Sontak ucapan bocah itu membuat Nisa terkejut. Dia pun menoleh ke kanan dan kiri. Melihat wajah-wajah para tetangga yang sama terkejutnya.
"Raya!" Seorang tetangga baik hati meraih tangan Raya. Membujuk anak itu agar membiarkan Nisa pergi. Tapi, belum sempat orang itu bicara, Raya sudah melakukan tak terduga yang membuat semua orang menangis.
"Raya bisa cari uang sendiri, kok!" Raya menyodorkan beberapa uang receh yang dia ambil dari kantong. "Raya ikut, ya?"
Melihat Raya, Nisa seolah melihat dirinya sendiri. Belasan tahun yang lalu, Nisa sangat ingin diadopsi. Tapi tak ada satupun yang menginginkannya.
Saat itu, Nisa masih kecil. Dia tak tahu alasan mereka enggan mengadopsinya karena dirinya lahir dari rahim seorang pelacur. Melihat Raya memohon sekarang, entah kenapa Nisa tidak bisa mengatakan tidak.
Tak ingin menyakiti hati seorang anak sebaik Raya, Nisa pun bersimpuh sembari membelai pipinya yang kurus. "Kamu mau tinggal sama Mbak Nisa?"
Bocah itu mengangguk, menatap Nisa dengan tatapan penuh harap. "Boleh nggak?" tanyanya.
"Boleh," jawab Nisa.
Tujuh hari berlalu sejak kematian ibu Raya. Tujuh hari bukanlah waktu yang lama, tapi cukup untuk sekedar mengenal karakter Nisa. Setelah diskusi yang panjang, akhirnya Nisa mendapatkan ijin dari para tetangga untuk merawat Raya.
Berbekalkan liontin yang menemaninya sejak lahir, Nisa memberanikan diri untuk mengambil tanggung jawab membesarkan Raya seorang diri.
Menjual liontin itu ke sebuah toko perhiasan dan menggunakan uangnya untuk mengontrak rumah sederhana dan membuka usaha kecil-kecilan.
Selain itu, Nisa juga pergi ke sekolah. Menjelaskan apa yang terjadi dan meminta ijin agar Raya bisa sekolah kembali. Pihak sekolah yang mengerti kondisinya pun mengijinkannya.
Jadi, Raya bisa belajar dengan tenang. Tanpa harus memulung karena tugasnya hanyalah, bermain, belajar dan bersenang-senang di usianya sekarang.
***