Fatin Trias Salsabila seorang desainer muda yang memulai karirnya dengan kemampuan otodidatnya. Fatin yang mengenyam pendidikan di pesantren selama 6 tahun, namun tidak menghalangi bakatnya dalam menggambar desain baju muslimah. Dari kecil ia memang sangat suka menggambar.
Berangkat dari keluarga yang terpandang. Namun Fatin tidak ingin identitasnya diketahui banyak orang. Karena ia tidak mau dianggap sebagai aji mumpung.
Ia mulai sukses saat dia mulai mengirimkan beberapa gambarnya melalui email ke beberapa perusahaan besar di luar Negeri yang menggeluti fashion muslimah. Beberapa tahun kemudian ia pun resmi menjadi seorang desainer muda yang berbakat.
Zaki Ferdinan Abraham, seorang pengusaha muda yang bergerak di bidang fashion. Zaki dan Fatin bertemu di acara perhelatan desainer Muslimah se Asia. Dan dari situlah awal cerita mereka dimulai. Tidak hanya Zaki, ada sepupu Zaki yang juga akan menjadi saingannya nanti. Siapakah yang akan menjadi pendamping Fatin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Virus
Keesokan harinya
Zaki langsung masuk ke kantor karena dia akan ada meeting hari ini bersama investor asing. Jadi Fatin akan tinggal di rumah selama Zaki bekerja. Tentu hal ini membuat Fatin berpikir keras untuk bisa melakukan sesuatu yang tidak membosankan.
Fania pun sudah pergi ke sekolah bersama Babysitternya. Fatin bingung harus berbuat apa. Ia tidak enak kalau harus diam di dalam kamar terus. Fatin melihat adik iparnya sedang menyiram bunga di taman belakang. Zahira memang sangat suka dengan bunga.
"Mbak Zahira, kenapa Fania sekolahnya dijaga babysitter?"
"Sejak Papa Fania meninggal, aku masih suka trauma naik mobil, Mbak. Jadi Kak Zaki mencarikan babysitter untuk Fania. Mbak, aku ini adik iparmu. Jangan panggil aku Mbak! "
"Nggak pa-pa, kamu lebih tua dariku. atau aku panggil Mama Fania saja, hehe..."
"Terserah Mbak saja deh!"
Mereka pun mengobrol panjang lebar. Fatin merasa prihatin terhadap adik iparnya itu. Iya harus menjadi janda di saat usia masih muda dan anak yang masih kecil. Zahira juga selama dua tahun ini hanya berdiam di rumah dengan mengurus Fania dan taman bunganya.
Zahira juga bercerita tentang masa kecil Zaki.
"Mbak, apa Kak Zaki memperlakukanmu dengan baik?"
"Iya, tentu."
"Kak Zaki itu orangnya dingin. Hanya dengan kami dia bisa bersikap hangat. Aku takut Mbak Fatin merasa tidak nyaman saat dengannya. Tolong dimaklumi ya Mbak."
Fatin tersenyum seraya membatin.
"Manusia kutubku sudah kecemplung kali jadi bukan mencair lagi tapi sudah basah kuyup."
"Lho, kalian di sini? Ibu tadi cari-cari ke kamar kamu."
"Saya sedang ngobrol dengan Mbak Zahira bu. Ada apa?"
"Fatin, kemarilah! Ibu ingin membicarakan sesuatu denganmu."
"Iya bu."
Fatin berjalan mengikuti mertuanya. Ternyata Bu Wardah membawanya ke dalam kamarnya.
"Sayang, Zaki itu orangnya kaku. Kalau kata anak zaman sekarang itu kayak kenebo kering, hehe.... tapi sebenarnya hatinya lembut. Dia itu persis dengan Ayahnya. Pekerja keras dan sayang sama keluarga. Sekarang kewajiban utamanya sudah berpindah kepadamu. Ibu ikhlas kalau nantinya dia akan lebih mengutamakanmu. Karena memang seharusnya begitu. Jadi kamu tidak perlu sungkan sana Ibu ya?"
"MasyaAllah, mertuaku ini meski kelihatannya sinis, tapi dia sangat mengerti dan baik."
"Sayang, kok bengong?"
"Eh, iya Bu. Terima kasih."
"Ibu yang mau bilang Terima kasih, karena kamu sudah mau menerima Zaki. Kamu ini masih muda, cantik, mandiri, pokoknya paket lengkap. Siapa pun pasti mau menjadikanmu istri."
"Tapi Allah sudah menjodohkan saya dengan Mas Zaki."
"Ah iya, itu benar sekali. Semoga Ibu segera dapat oleh-oleh yang nyata dari Maldives ya." Ujar Bu Wardah seraya mengelus perut menantunya yang rata. Fatin pun menunduk malu.
"Amin, do'a kan ya Bu."
"Tentu saja, semoga kembar seperti kamu. Biar rumah ini ramai, haha..."
Namun seketika tawa Bu Wardah terhenti, Wajahnya tiba-tiba kelihatan sedih.
"Kenapa Bu?"
"Sebenarnya Zaki dan Zahira bukan dua bersaudara. Anakku tiga, tapi yang satu meninggal. Dia anak tengah, adiknya Zaki namanya Zafran. Saat itu Ibu sempat depresi dan mengabaikan Zaki kecil."
"Maaf Bu, meninggal karena apa?"
"Jantungnya bocor."
"Innalillah wainna ilaihi roji'un. Dia akan menjadi tabungan Ibu dan Ayah di surga. Semoga kelak bisa menolong orang tuanya."
"Amin..."
Tidak terasa waktu sudah siang. Fatin dan yang lain makan siang bersama. Fania yang saat ini ingin dimanja Maminya, tengah duduk di samping Fatin.
Sementara di kantor
Zaki sedang sibuk memeriksa dan menandatangani beberapa berkas yang ia tinggalkan beberapa hari ini. Namun terkadang fokusnya terpecah saat ia teringat istrinya. Ia senyum-senyum sendiri sampai Beni pun merasa aneh.
"Ehm, Tuan."
"Iya...?"
"Apa sudah semua?"
"Beni, bukankah kamu sudah memeriksanya?"
"Iya Tuan."
"Ya sudah, untuk apa aku periksa lagi? Aku ingin pulang cepat hari ini."
"Baik Tuan, silahkan langsung tanda tangan saja!"
Zaki pun langsung menandatangani sisa berkasnya.
"Si Bos kayaknya sudah kena virus ketagihan." Batin Beni.
Setelah selesai menandatangani semua berkas, Zaki pun bersiap-siap untuk pulang. Ia sudah sangat merindukan istrinya. Padahal masih 5 jam mereka tidak bertemu.
Sekitar jam 2 siang, Zaki sampai di rumah. Ia memang sengaja tidak mengabari istrinya kalau akan pulang cepat. Di ruang tengah, nampak Bu Wardah yang sedang duduk di sofa menonton televisi sendirian.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Zaki mencium punggung tangan Ibunya.
"Tumben pulang cepat?"
"Iya, pekerjaanku sudah selesai jadi aku pulang cepat. Di mana istriku Bu?"
"Tadi setelah makan siang bersama kami, dia kembali ke kamarnya. Mungkin sedang beristirahat."
"Oh, ya sudah aku mau ke kamar dulu."
Bu Wardah senyum-senyum sendiri melihat Zaki salah tingkah.
"Zaki... Zaki... bilang saja kamu sudah kangen sama istrimu." Lirih Bu Wardah.
Samoai di depan kamarnya, Zaki mencoba membuka pintu. Ternyata pintunya tidak terkunci.
Ia membukanya pelan-pelan sambil mengintip ke dalam. Ternyata istrinya saat ini sedang tidur. Fatin tidur dengan memakai daster rumahan. Zaki menutup kembali pintu kamarnya dengan pelan lalu menguncinya. Ia membuka pakaiannya dan masuk ke kamar mandi. Setelah itu, ia memakai sarung dan kaos. Fatin tidur sangat nyenyak. Dasternya tersingkap hingga menampakkan pahanya yang mulus.
"Ternyata menyenangkan sekali saat pulang kerja bisa melihat orang yang kita cintai."
Fatin menggeliat, hingga dasternya semakin tersingkap. Nampak lah segitiga pengaman berwarna merah mencorong. Ternyata Fatin tidurnya belingsatan. Hal tersebut membuat Zaki tersenyum.
Zaki mengecup pipi istrinya. Fatin belum ada pergerakan sama sekali. Zaki pun mengecup bibirnya. Fatin masih belum merespon. Sepertinya ia memang tidur dengan nyenyak.
Zaki sadar, miliknya saat ini sudah mulai on.
"Honey... " Zaki mengelus pipi istrinya.
"Hem.. "
"Kamu sudah shalat?"
"Hah... belum Mas, sudah Ashar ya? Jam berapa?"
Fatin tersentak karena terkejut. Ia pikir saat ini sudah sore hari.
"Jam berapa Mas?"
"Jam 14.20."
"Aku kira sudah jam 5 sore. Kamu kok sudah pulang Mas?"
"Aku pingin cepat pulang."
"Kenapa, apa kamu tidak enak badan?"
Fatin meraba dahi suaminya yang tidak pnas. Zaki memegang tangan istrinya.
"Aku nggak sakit kok, aku cuma rindu."
"Ish... udah bisa ngegombal."
Zaki meletakkan tangan Fatin di dadanya.
"Kamu rasakan itu. Dari tadi jantungku berdebar sangat kencang. Pikiranku selalu teringat kamu. Honey... kamu sudah meracuni hidupku."
Fatin tergelak mendengar kata-kata suaminya yang menurutnya terbilang lebay. Padahal memang itu kenyataannya.
"Honey aku serius... kok kamu ketawa?"
"Seorang Zaki Ferdinan Abraham CEO dingin dan anti perempuan, bisa juga ya sebutin ini."
"Kamu yang membuatku begini." Zaki memeluk istrinya dan membelai rambut panjangnya. Kemudian Zaki mulai mengendus leher istrinya. Hal tersebut membuat tubuh Fatin meremang.
Tok tok tok
Fatin melerai pelukannya.
Tok tok tok
"Papi.... Mami... ini Fania!"
"Mas, Fania."
"Sssttt... biarkan saja."
"Tapi...."
Zaki pun langsung membungkam bibir istrinya dengan bibirnya.
Bersambung....
...****************...