Wanita mengunakan pakaian lebar dan juga Hijabnya, taat akan agama. Mempunyai sikap yang unik, sehingga banyak sekali yang menyukainya, dia adalah Hafsah Kamilatunnisa.
Namun semua berubah saat bertemu dengan seseorang yang cukup berpengaruh dalam kehidupannya, memiliki sisi gelap yang lambat laun ia ketahui. Ingin pergi, namun terlambat. Benih-benih cinta telah hadir diantara mereka, Pria itu tak lain adalah Arkanza Aynan.
Terbilang sangat sukses dalam dunia bisnis, membuat orang begitu sangat segan kepadanya. Tidak ada yang berani untuk membuatnya marah, jika itu terjadi. Maka, sama saja menyerahkan nyawa mereka sendiri untuk dilenyapkan.
" Aku mencintaimu, bantu aku untuk melepas semuanya." Permintaan Arka untuk bisa menjalani kehidupan yang normal, seperti manusia lainnya.
Akankah muslimah itu bisa mengabulkan permintaan dari seorang Arka?
Bisahkah keduanya untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsabita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33.
Dengan sabar Unni mendampingi Azka untuk mendapatkan penanganan pada lukanya, genggaman tangan itu tidak terlepas. Azka menahan tangan mungil itu agar selalu berada disisinya, hal itu membuat Mark tersenyum kecut.
"Jarum suntik takut, senjata tajam dan yang lainnya diajak bertarung. Dasar bedebah sialan." Ketus Mark saat memperbaiki punggung Azka yang cukup serius.
"Diam, biarkan tanganmu itu yang bekerja." Sanggah Azka yang menatap Mark dengan sangat tajam.
"Ya ya ya. Lagi-lagi kau jadi pemenangnya. Lihat saja nanti, akan aku balas kau."
Sruth!
"Argh! Hentikan!" Azka menghentikan semuanya dengan teriakan itu.
Penyebabnya adalah Mark yang selalu mencari keributan, merasa geram dengan sikap Azka. Membuat Mark mengobras luka Azka dengan begitu kasar, itulah yang membuat Azka berteriak.
Melepaskan genggaman tangan Unni dengan kasar, mengambil kemejanya dan menggunakannya begitun cepat.
"Mau kemana?" Tanya Unni dengan lembut.
"Dari awal aku tidak suka pengobatan ini, biarkan saja lukanya." Tangan Azka masih memasang kancing bajunya.
"Lukanya sangat besar, tidak baik membiarkannya begitu saja. Hanya sebentar kok." Bujuk Unni.
Tidak memperdulikan apa yang dikatakan oleh Unni padanya, Azka mempercepat tangannya dan beranjak dari tempat duduknya. Namun, tangan Unni mencegahnya dan menggenggam tangan Azka.
"Lepaskan!" Erang Azka.
"Selesaikan dulu, baru bisa pergi."
Azka menghela nafas beratnya, sikap egoisnya kembali. Bukannya menuruti perkataan Unni, Azka semakin memperkuat genggaman tangan itu dan membuat Unni meringis.
"Lepaskan atau tanganmu akan aku hancurkan?!" Seringai wajah itu membuat Azka terlihat begitu dingin.
Seakan sudah terbiasa dengan sikap Azka yang seperti itu pada dirinya, Unni ikut menghela nafasnya untuk menenangkan dirinya agar tidak terbawa emosi.
"Jangan terlalu dingin seperti ini, aku takut. Jika anda terluka, siapa lagi yang akan melindungiku? "
Melepaskan semua ego dalam dirinya, Unni kini merasa begitu nyaman pada Azka. Apalagi dalam beberapa hari yang lalu, ia mencoba mencari jawaban untuk hatinya. Dalam sholat dan doanya, memohon petunjuk agar hatinya kuat dalam menentukan dan menemukan jawaban tersebut.
Hanya ada satu wajah dan nama, yang selalu terlintas dalam mimpi dan juga pikirannya. Arkanza Aynan, pria yang sangat Unni hindari.
"Jangan membuatku semakin takut." Unni membenamkan wajahnya pada dada Azka, kedua tangan itu pun melingkar pada tubuh pria kekar itu.
Mark seakan tidak mempercayai apapun yang kini ia lihat, mengusap kedua matanya dengan cepat. Mungkin saja ia salah dalam urusan pandangan itu, beberapa kali dilakukan. Hasilnya tetap sama, kedua mata itu melebar dan mulutnya membentuk pola senyuman dengan mulut tertutup.
Sedangkan sang pemilik tubuh kekar itu sendiri, terdiam dan sangat kaget dengan apa yang ia alami dan rasakan. Wanita yang sebelumnya sempat menolaknya secara halus, dan kini berada dihadapannya dengan memeluk tubuhnya.
"Kenapa kau keras kepala sekali." Setelah beberapa saat membiarkan Unni memeluknya, kini pula Azka membalasnya dengan melingkarkan kedua tangannya.
"Hiks hiks hiks." Tubuh mungil itu bergetar, terdengar isakan darinya.
"Hei, kenapa malah menangis." Azka kebingungan dengan sikap Unni yang secara tiba-tiba menanggis.
Menyadari Mark masih berada disana, membuat Azka melemparkan tatapan tajam kepadanya. Dengan maksud menyuruhnya keluar dari sana, tentu saja hal itu membuat Mark berdengus kesal.
"Cih, tadi saja ngotot mau pergi. Dipeluk aja langsung tewas ke egoisanmu Ka, manusia aneh." Cibir Mark yang terpaksa harus angkat kaki dari sana.
Hilangnya bayangan Mark, lalu Azka membawa Unni untuk duduk. Wanita bertubuh mungil itu masih terlihat sesegukan, melupakan rasa sakit dari luka di punggungnya. Azka sedikit berjongkok dihadapan Unni, menatapnya dengan penuh kelembutan.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan kalian sebelum bertemu denganku, tapi. Kenapa selalu ada pertarungan seperti ini? Kali ini, kak Peter yang menjadi targetnya. Aku tidak tahu apa yang kan terjadi berikutnya, sudah cukup seperti ini. Aku takut, hiks hiks." Benteng ketegaran dan juga kekuatan yang ada telah terkikis.
Meraih tubuh itu kembali ke dalam pelukannya, Azka dapat merasakan ketakutan yang Unni alami. Ia juga merasa sangat nyaman saat bersamanya, hal ini menyakinkan Azka untuk segera mendapatkan hati wanita ini.
"Jangan mengambil kesempatan, tuan." Dalam isakan tangisnya, Unni merasakan keanehan.
Dengan cepat Azka melepaskan tangannya, wajahnya berubah menjadi kemerahan karena ketahuan mencuri kesempatan untuk memeluk tubuh mungil itu.
"Aku akan memanggil dokter Mark, luka itu harus segera di obati." Unni akan beranjak dari duduknya, namun Azka menahannya.
"Ucapanku masih sama dan aku merubahnya sedikit, apakah kamu mau menjadi bagian dari hidupku dan penyempurna ibadahku?"
"A apa? Anda berbicara tuan?" Unni mendengar perkataan itu sedikit samar.
Mendapati Unni seperti itu, membuat Azka menyeringai dan kesal. Padahal dirinya sudah sangat serius mengatakan hal tersebut, namun Unni malah tidak memperdulikannya.
"Sudahlah, lupakan."
"Bekal apa yang anda punya untuk mengikat saya?" Kembali Unni menyerahkan pertanyaan.
"Bekal? Maksudmu, apa yang aku punya untuk mengikatmu?"
"Hem."
"Hartaku tidak akan habis untukmu dan keturunan kita sampai berapapun." Dengan sedikit sombongnya, Azka begitu percaya diri mengatakan hal tersebut kepada Unni.
"Harta bisa dicari, bekal keimanan dan juga ketaqwaan yang saya perlukan untuk membimbing dan berjalan bersama-sama dalam mencapai ridhonya Allah. Apa anda mempunyainya?"
Pertanyaan yang cukup telah untuk Azka, baru kali ini ia mendapatkan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab dalam waktu cepat. Cukup lama ia terdiam dalam pemikirannya sendiri, mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Unni padanya.
"Waktunya habis, sekarang anda harus meneruskan pengobatannya. Dokter Mark, suntik saja biar tidak memberontak. "
"Huh, itu sangat tepat nona." Mark tersenyum penuh kemenangan setelah mendapatkan dukungan.
Tanpa perlawanan, Mark dengan leluasa mengobati lunggug Azka. Bahkan suntikan yang ditakuti Azka selama ini tidak ia rasakan, sampai Mark selesai pun Azka tetap terdiam. Mark meninggalkan dua insan tersebut, karena tugas di ruang operasi telah menunggu.
Ada timbul perasaan bersalah dalam diri Unni, ia tahu jika Azka terbebani dengan apa yang ia ucapkan sebelumnya.
"Restu kakakku adalah finalnya, jika ia merestui. Aku siap untuk menerima ikatan yang anda berikan, tuan." Unni tersenyum pada Azka.
"Benarkah?!" Respon seketika saat mendengar ucapan Unni.
"Hem." Menganggukan kepalanya, Unni segera pamit untuk melihat kondisi sang kakak.