Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sagita mencari tahu
Yang menjadi pertanyaannya adalah siapa yang mencuri surat tersebut, menempelnya di mading berikut balasannya.
Abidzar dan Freya saling menoleh. Pikiran keduanya makin berkecamuk. Keduanya sama-sama memikirkan siapa yang telah memfitnah Freya?
"Maafkan aku, Fre, karena telah marah tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu." Ucap Abidzar tulus.
"Maafkan aku juga, Mas. Andai aku lekas menemui mu, mungkin kesalahpahaman ini takkan pernah terjadi. Selain itu salahku juga yang tidak bisa menjaga suratmu sampai-sampai ada yang memanfaatkanya untuk mengadu domba kita berdua. Aku sampai tak habis pikir, mengapa ada orang sekejam itu yang tega memfitnah dan mengadu domba tanpa memikirkan akibatnya." Ucap Freya yang juga meminta maaf seraya mengeluarkan unek-uneknya.
"Nggak, nggak, itu bukan kesalahanmu. Surat itu pasti sengaja dicuri untuk mengadu domba kita. Dan masalah kau tidak segera menemui ku, itu bukanlah salahmu. Saat itu kau sedang berduka. Jadi tak perlu merasa bersalah. Justru akulah yang salah karena tidak berusaha menemui mu. Maafkan aku, Fre, atas segala perbuatan buruk dan kasar ku. Sekali lagi, maafkan aku." Ucap Abidzar dengan wajah penuh penyesalan sambil menggenggam erat tangan Freya dan mengecupnya berulang kali membuat jantung Freya seketika bergemuruh.
"Mas." Desis Freya saat bibir Abidzar kini sudah menjalar naik ke pergelangan tangannya, terus naik, dan naik.
"Kau memaafkan ku kan?" Ucap Abidzar disela ciumannya.
Freya mengangguk sambil menggigit bibirnya.
"Terima kasih, Fre. Terima kasih." Ucapnya yang kini telah meletakkan jemari tangan kirinya di tengkuk Freya membuat wajah mereka makin tak berjarak.
Di dalam jarak seperti itu, Abidzar begitu menikmati wajah cantik perempuan yang ternyata masih bertahta di hatinya. Tak pernah terganti. Abidzar sampai heran, mengapa ia begitu mencintai perempuan ini. Padahal dia pernah membencinya sampai ke urat nadi, tapi begitulah cinta. Kata orang benci dan cinta itu hanya dibatasi selembar tisu. Amat sangat tipis. Membuat kita kadang tak sadar, dibalik benci yang tertanam di hati kita, ada cinta yang sebesar gunung, sedalam lautan, dan seluas samudera.
Dipandangi seintens itu oleh Abidzar membuat Freya salah tingkah.
"Jangan memandangi ku seperti itu." Sergah Freya dengan pipi yang sudah bersemu merah.
"Kau tahu, aku merasa amat sangat bersyukur kembali dipertemukan denganmu. Haruskah aku berterima kasih dengan Erin karena telah membawamu ke sini? Ke sisiku? Jadi istriku?"
"Jangan!" pekik Freya reflek. "Ja-jangan katakan apapun dengan Erin. Itu sama saja melukai hatinya."
"Aku mencintaimu, Fre. Masih mencintai mu, dulu, sekarang, bahkan mungkin hingga nanti. Namamu ... " Abidzar lantas meraih tangan kanan Freya dan meletakkannya di atas dadanya. "Masih bertahta di sini. Ku kira aku sudah sangat membencimu, tapi nyatanya rasa cinta itu masih bertahta dan tak pernah tergantikan."
Freya terpana bukan hanya oleh kata-kata Abidzar, tapi juga sorot matanya yang terlihat jujur.
"Bagaimana mungkin?"
"Itulah yang sebenarnya, Fre."
"Lalu Erin?"
Abidzar menghela nafasnya, "kalau boleh jujur aku memang menyayanginya. Tapi untuk cinta ... hatiku seakan mati. Tak ada seorang wanita pun yang pernah singgah di hatiku. Hanya kamu. Kami menikah karena perjodohan. Orang tuaku dan orang tuanya sudah berteman sejak lama karena itulah mereka menjodohkan kami." Tuturnya lembut.
Freya terdiam. Mendengarkan setiap tutur kata Abidzar. Bahkan karena terlalu fokus, ia tak sadar Abidzar telah mengikis jarak dan mengecup bibirnya. Freya tersentak membuat Abidzar tersenyum lembut. Lantas ia kembali menempelkan bibirnya di bibir Freya. Merasakan tak ada penolakan, Abidzar pun memagut, mengecup, dan melu mat bibir Freya dengan gerakan yang sangat lembut. Manis. Bibir itu terasa manis dan candu. Membuat gairahnya seketika terpacu. Hasratnya bergelora.
Baru saja tangan tangan Abidzar hendak menyusup ke dalam baju atasan Freya, sebuah gedoran dari balik pintu membuat mereka tercengang hingga kalang kabut. Mereka penasaran siapa yang menggedor pintu paviliun malam-malam seperti ini. Hingga suara seseorang yang sangat mereka kenali membuat mereka tersentak dan kalang kabut merapikan penampilan.
Duk Duk Duk Duk ...
"Abi, Freya, buka pintunya!" pekik Sagita dari luar membuat mereka membelalakkan matanya.
"Mama ... "
"Nyonya besar ... " Seru keduanya panik.
Bruak ...
Abidzar terlonjak sampai terjatuh dan belakang kepalanya membentur tepi meja. Untung saja bukan mengenai sudutnya jadi tidak sampai terluka. Hanya sedikit benjol saja.
"Mas," pekik Freya terkejut saat melihat Abidzar terjatuh.
Beberapa saat sebelumnya,
"Sih, kamu ada kerjaan?" tanya Sagita.
"Ndak ada lagi, nyoya. Ini saya mau istirahat." Jawab Asih yang hendak berjalan menuju kamarnya.
"Udah mau tidur kamu?" tanya Sagita lagi.
"Emmm ... saya belum ngantuk sih, Nya. Emang nyonya butuh sesuatu? Teh hijau seperti biasa atau ada yang lain."
Sagita dengan cepat menggeleng sambil mengibaskan tangannya ke depan wajah, "nggak. Bukan itu. Tapi ada yang mau aku tanyakan sama kamu. Penting."
"Tanya apa, Nyonya? Kalau saya bisa jawab, pasti saya jawab." Ucap Bi Asih dengan dahi berkerut.
"Ya udah, ayo ke kamar saya sebentar. Di sini nggak aman." Ucap Sagita sambil celingak-celinguk memperhatikan sekitar.
Bi Asih pun mengikuti Sagita hingga ke kamarnya.
Di kamar
"Sih, sebenarnya Freya itu siapa? Siapa yang membawanya kemari?" tanya Sagita penuh selidik.
"Kok nyonya malah tanya kayak gitu, dia kan pembantu di rumah ini, Nya. Sama kayak saya, Ana, sama Mina." Kilah Bi Asih tak mau mengatakan yang sebenarnya.
"Sih, jangan bohong sama saya. Saya itu bisa melihat, mana ada tampang pembantu di wajah Freya. Aku yakin banget, dia itu bukan pembantu biasa. Mana wajahnya itu familiar banget, tahu nggak. Mengingatkan saya sama seseorang." Ucapnya seraya menghela nafas. Sejak pertama melihat Freya, entah mengapa ia seperti begitu familiar. Tapi siapa, Sagita sedikit lupa. "Jadi tolong, Sih, saya yakin kamu tahu sesuatu kan? Ceritakan semuanya sama saya. Saya yakin, ada maksud dan tujuan kenapa Freya ada di sini. Jadi tolong, jangan ada yang ditutup-tutupi dari saya." Mohon Sagita dengan wajah memelas.
Bi Asih merasa serba salah. Ingin berkata jujur, tapi ia takut mengecewakan majikannya sekarang, tapi bila tidak berkata jujur, maka ia juga tak enak hati dengan keluarga yang telah membantu keluarganya selama ini. Sebab keluarga Sagita lah yang pertama kali memberikannya pekerjaan. Membuatnya bisa mengangkat keluarganya dari kemiskinan dan menyekolahkan anaknya.
"Duh, bagaimana ya, Nya, saya-saya merasa nggak enak sama den Abi sama nyonya Erin."
"Kenapa mesti nggak enak? Saya ini orang tua Abidzar, ibu mertua Erin, jadi wajar untuk saya tahu segala sesuatu tentang mereka. Saya hanya ingin menjaga dan melindungi keluarga ini agar tetap utuh, begitu saja."
"Tapi Nya ... "
"Sih, kamu tidak menghargai saya lagi?"
"Bukan begitu, Nyonya. Baiklah, baiklah, saya akan cerita, tapi mohon nyonya untuk bijak. Jangan salahin non Freya. Dia perempuan baik. Keadaan lah yang memaksanya memilih jalan ini. Meskipun masa lalunya buruk, tapi Asih yakin, dia sudah berubah."
Sagita mengerutkan kening, tak paham maksud kata-kata Bi Asih. Tapi Sagita akan mendengarkan cerita dengan baik dan bersikap bijak.
"Baiklah. Coba ceritakan semuanya. Jangan ada yang kamu tutup-tutupi."
Bi Asih pun mengangguk, lalu mulai bercerita, mulai dari masa lalu Freya saat berumah tangga dengan Gathan karena mengikuti rencana ayah angkatnya, masa-masa ia di tahanan, hingga alasan Freya membawanya kemari.
Mata Sagita terbelalak sempurna saat mengetahui alasan keberadaan Freya di rumah itu.
Setelah mendengar cerita bi Asih, Sagita pun berdiri di balkon kamar untuk mencerna segalanya. Sebenarnya Sagita tidak membenarkan cara yang dilakukan Erin hanya demi mendapatkan keturunan. Apakah dia benar-benar tak ada jalan lain selain menggunakan perempuan lain untuk mengandung anak suaminya.
"Si Erin ini apa nggak takut suaminya dicolong perempuan lain? Pemikiran yang aneh." Gumamnya gusar dan tidak habis pikir.
Hingga ia menangkap keberadaan Abidzar yang berjalan menuju paviliun membuat Sagita jadi penasaran dengan interaksi keduanya sebab menurut Bi Asih, Abidzar seperti tidak menyukai keberadaan Freya di sana.
Sagita pun diam-diam mengikuti Abidzar. Ia terkekeh geli saat mengetahui Abidzar masuk melalui jendela kamar hanya demi menemui Freya.
Mendengar Abidzar yang sepertinya sedang menumpahkan kekesalannya dengan Freya, membuat Sagita penasaran dan menempelkan telinganya. Ia menutup mulutnya saat mendengar apa yang Abidzar ucapkan dan penjelasan Freya.
Sagita sampai menutup mulutnya saat mengetahui Freya adalah cinta pertama putranya sekaligus penyebab putranya menutup pintu hatinya dari para wanita.
"Astaga, gawat! Bagaimana ini? Ini salahmu, Rin, sudah membawa masuk Freya ke dalam rumah tanggamu. Jangan salahkan bila Abi lebih memprioritaskan Freya dibandingkan kamu karena kamulah yang sepenuhnya salah di sini." Gumam Sagita sambil menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Sagita menyeringai, sepertinya menyenangkan membuat kedua orang di dalam sana kalang kabut karena kedatangannya.
...***...
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor