Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Status yang lebih jelas.
"Mmmmm, … jika sudah tidak ada sesuatu lagi untuk saya kerjakan. Sepertinya saya izin pulang lebih awal saja, Pak!" Kata Jovian saat dia menghadap kepada atasannya.
Untuk pertama kalinya pria itu terlihat gugup. Dan penyebabnya adalah obrolan keduanya tadi siang, yang membahas sebuah pernikahan yang Danu tawarkan kepada Jovian untuk segera menikahi putrinya.
"Baik. Selamat istirahat, Kiana sedang sakit jadi tidak butuh pengawasan ekstra, dia juga tidak akan keluar lagi sepertinya, sesudah meminum obat dia selalu tertidur." Danu tampak tersenyum ramah seperti biasa.
Jovian menimpalin nya dengan anggukan pelan.
"Saya permisi." Dia segera berdiri, berbalik badan dan berjalan ke arah luar pintu rumah itu, setelah Jovian memasukinya untuk meminta izin pulang kepada Danu.
Namun langkahnya terhenti ketika Danu kembali memanggil namanya.
"Ya?" Jovian berbalik badan, sampai pandangan antara dirinya dan Danu kembali beradu.
"Tolong di pikirkan lagi tawaran saya. Dan semoga kamu mengerti, ketakutan apa saja yang saya alami jika Kiana harus jatuh pada pria lain, saya takut dia tidak tahan dengan sikap Kiana, … saya percaya hanya kepadamu, Jo!" Danu terdegar memohon.
"Ini benar-benar gila. Aku baru menemukan seorang ayah yang memohon orang lain untuk segera menikahi putrinya. Dengan status yang sangat berbeda, entah itu dari statusku sebagai duda, juga kesetaraan dalam segi ekonomi yang sudah jelas sangat jauh, … aku memang mempunyai uang yang cukup, tapi tidak seperti Danu yang mempunyai tambang batu bara." Batinya berbicara.
Jovian hanya mengangguk, lalu benar-benar pergi dari ruanga tamu sana. Meninggalkan Danu yang masih duduk, menatap ke arah Jovian yang kini terlihat mendekati mobilnya yang terparkir.
Sorot lampu mobilnya mulai menyala, dengan suara derum mesin mobil yang juga terdengar. Perlahan mobil hitam itu mundur, berputar arah, dan mendekati gerbang rumah yang tertutup, kemudian menghilang setelahnya.
***
"Pulang cepat lagi?" Mayden duduk di kursi berhadapan dengan Jovian, setelah memesan minum seperti biasa.
Jovian mengangguk, kemudian mematikan rokoknya yang sudah pendek.
"Ada sesuatu?" Tanya Mayden saat menyadari sesuatu yang berbeda dari Jovian.
Pria yang akhir-akhir ini sering dia temui. Bagaimana tidak, dia bahkan selalu memeriksakan beberapa tempat dimana Jovian selalu menghabiskan waktu, seperti cafe dan tempat Gym.
"Tidak ada. Kenapa kamu kesini? Ini sudah malam?"
"Aku lihat kamu tadi, … jadi mampir aja deh sekalian." Perempuan itu beralasan.
Jovian tampak acuh, dia kembali memeriksakan ponsel miliknya, ketika beberapa pesan masuk dari nomor Denis.
"Kau belum mengatakan tawaran kedua yang Pak Danu janjikan. Apa itu?"
Isi pesan itu, disertai emot bulat berwarna kuning, dengan ekspresi penuh tanya.
"Apa aku harus mengatakannya sekarang?"
Balas Jovian. Kemudian dia meletakan kembali benda pipih itu di atas meja.
Seseorang tampak mendekat, membawa sebuah gelas minuman, dan meletakkannya di hadapan Mayden. Yang langsung wanita itu terima dengan baik.
"Terimakasih." Ucap Mayden kepada pelayan yang membawakan pesanannya.
Wanita itu diam untuk beberapa saat. Menikmati kopi dingin miliknya, sambil mencuri-curi pandang kepada pria tampan di hadapannya.
"Jo, sepertinya aku harus berbicara denganmu!" Katanya.
Jovian diam, menatap Mayden dengan raut wajah datarnya seperti biasa.
"Kita sudah dekat. Mungkin belum terlalu lama, terkadang kita menghabiskan waktu bersama, seperti beberapa hari lalu, … aku rasa kita sedang berkencan. Lalu bagaimana dengan status kita kedepannya?" Mayden terlihat malu-malu.
Jovian masih diam mendengarkan.
"Aku rasa, … setiap perempuan butuh kepastian, hanya untuk memperjelas status saja, bagaimana kita sesungguhnya." Terang Mayden kepada Jovian yang tampak menyimak setiap ucapannya.
Dia mengangguk, meraih gelas kopi panas miliknya yang mulai terasa hangat, meneguk sedikit demi sedikit, lalu menyimpannya kembali.
"Saya rasa, … bukannya berteman memang seperti itu? Apa yang melakukan makan malam, atau menghabiskan waktu bersama harus mempunyai hubungan spesial? Seperti kekasih?" Jovian balik bertanya.
Mayden tersenyum.
"Mungkin tidak semua, tapi sebagian besar, dan salah satunya aku. Sepertinya kamu tahu, jika aku tertarik kepadamu bahkan saat kita pertama saling berkenalan di Gym waktu itu."
"Tertarik? Apa yang kamu lihat sampai tertarik? Kamu tidak tahu bagaimana saya, lalu kenapa bisa tertarik bahkan hanya kepada seorang Bodyguard seperti saya?"
Jovian melipat kedua tangannya di dada, kemudian bersandar.
"Kamu tampan, semua orang tahu itu!"
"Apa saya sudah memberi tahu? Jika saya pernah menikah, dan gagal?"
Mayden diam.
"Sepertinya belum, … atau aku lupa yah!"
"Nah, lalu apa yang kamu harapkan dari seseorang yang pernah gagal membina rumah tangga? Bukan saya yang menggugat, tetapi mantan istri saya, dia menceraikan saya karena satu dan lain hal, kemudian hakim mewujudkannya."
Jovian berbicara dengan nada pelan. Ekspresinya terlihat sangat serius, seolah sedang berusaha menakut-nakuti Mayden agar perempuan itu mengurungkan niat untuk mendekatinya.
"Atau dia masih akan tetap maju, meski sesuatu yang buruk dia ketahui." Batin Jovian berbicara.
"Memangnya apa yang membuat kalian berpisah? Kalau untuk status aku tidak masalah."
Jovian diam, dia berpikir lebih dulu.
"Aku tidak masalah dengan kamu yang berstatus Duda."
"Baiklah. Saya memberitahu ini hanya kepadamu! Dia menggugat saya satu hari setelah saya melakukan pemukulan. Kamu tahu? Rumah tangga tidak semudah yang dipikirkan, … ada banyak kesalahpahaman, bahkan berujung pemukulan seperti apa yang sudah saya lakukan kepada mantan istri saya dulu."
Mayden diam, dengan mata yang terus tertuju kepada Jovian.
"Bukan menikah. Maksudku, mungkin hanya jalani saja dulu, sebagai seorang kekasih pada umumnya yang dapat menghabiskan waktu bersama."
Jovian segera menggelengkan kepalanya.
"Umur saya tidak muda lagi, … saya tidak suka dengan status semacam itu. Mereka mengikat dengan sebuah status sebagai kekasih, namun tinggal dan melakukan segala hal seperti orang yang sudah menikah, … jujur saya memang brengsek, tapi tidak melakukan itu sebelum menikah."
Mayden tak berkutik, dia kehabisan kata-kata. Terlebih apa yang Jovian katakan memang pernah dia lakukan. Menjalin sebuah hubungan, dan menjalaninya seperti sepasang suami istri.
"Ada banyak pria muda yang lebih dari saya. Dan semoga kamu menemukannya dengan segera, tapi bukan saya, saya hanya menerima sebuah bentuk pertemanan, tidak dengan hubungan yang lebih serius seperti yang kamu inginkan."
Mayden mengangguk.
"Sepertinya kau mempunyai trauma." Mayden berbicara lagi.
"Tidak. Saya hanya tidak ingin melakukan hal buruk lagi, hidup dengan saya penuh dengan aturan, dan jika ada yang melanggarnya saya tidak suka. Saya akan memberikan sanksi yang berat."
"Ah sepertinya kita memang harus berteman dulu yah, mengenal sifat satu sama lain." Mayden tersenyum.
Sementara Jovian hanya menganggukan kepala. Dia kembali meraih gelas kopi miliknya, meneguk hingga tanda, kemudian berdiri.
"Saya sudah selesai, ini sudah larut. Dan ada banyak kegiatan saya besok, jadi saya harus istirahat. Saya pamit Mey!" Pria itu membawa barang-barang miliknya, lalu beranjak pergi, meninggalkan Mayden begitu saja.