‘’Hei, Mbak! Ini lelaki yang kamu inginkan, bukan? Eh, suamiku maksudnya! Secara kan dia masih suamiku. Ambillah!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Ardila Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aktingmu Luarbiasa, Mas!
‘’Ya Allah, Nel? Kamu kok begitu ke suamimu?’’ Mama mertua sungguh terkesiap melihat pemandangan ini.
Ya, memang tak pernah beliau melihat aku berlaku tak baik pada suamiku. Apalagi sampai menepis tangan anaknya dengan kasar di depan orang tua kandung. Orang tua mana pun pasti akan merasa kesal, bahkan marah melihat anaknya diperlakukan seperti itu jika tak tahu apa alasannya. Ah, entah kapan aku akan bisa berkata jujur pada kedua orang tuanya. Tapi aku tak sanggup lagi untuk menutupi semua ini. Yang ada semakin membuat hatiku teriris. Tidak! Aku harus mengatakan yang sejujurnya.
‘’Hemm, Mas Deno ini sebenarnya—‘’
‘’Kamu pusing, Sayang? Aku anter ke kamar ya?’’
Aku menggeleng dengan cepat,’’Nggak, aku duduk aja.’’ Aku kembali menghenyak di kursi.
Kali ini aku gagal lagi. Tampaknya dia berusaha menghalangiku berkata yang sejujurnya tentang masalah yang menimpa rumah tangga kami. Dasar lelaki pengkhianat! Dia menyembunyikan semua ini alasannya tak mau membuat kedua orang tuanya kepikiran dan kambuh lagi penyakitnya, padahal yang mendatangkan masalah ini adalah dia. Cepat atau lambat kedua orang tuanya pasti akan tahu. Dia tak kan bisa berusaha untuk menutupi masalah ini. Aku tak habis pikir dengan lelaki itu.
Tampak mama menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuterjemahkan lalu beralih menatap lelaki yang masih berstatus jadi suamiku itu.
‘’Nelda karena pusing kali, Ma. Aku maklumin kok,’’ katanya sambil menyantap buah anggur. Tampangnya seperti tak bersalah dan tak mencemaskan apa pun. Aktingmu luarbiasa, Mas!
‘’Iya, tapi nggak begitu juga kali.’’
‘’Kamu nggak baik kayak gitu sama suami kamu, Nel. Suami itu diperlakukan dengan baik dan dihargai. Kamu mengerti kan maksud Mama?’’
Tampak muka wanita separuh baya itu memerah. Tak biasanya dia seperti itu ekspresi wajahnya menatapku, apalagi nada suara mama yang bicara dengan volume meninggi padaku. Sepertinya mertuaku itu kesal dan marah sekali, karena aku tadi bersikap tak baik pada anaknya. Aku hanya terdiam membisu. Lidahku seakan kelu untuk bicara sepatah kata pun.
Seketika benda pipih di saku-saku mas Deno berdering. Namun, dia membiarkan saja. Apa dia takut jika kebusukan yang selama ini ditutupi terbongkar di depan mamanya?
‘’Sebegitukah kamu menyembunyikan kebusukanmu, Mas! Tapi aku yakin cepat atau lambat Mama dan Papamu akan mengetahui semuanya.’’ Aku bermonolog dalam hati.
‘’Kok nggak diangkat, Den?’’ Mama mertua tak hentinya memperhatikan anaknya. Dia tampak bingung.
‘’Ah, i—iya. Nggak penting juga kok, Ma,’’ sahutnya gelagapan. Seketika wanita itu menggeleng.
‘’Lah, kamu aja belum melihat siapa yang menelpon. Gimana kamu bisa tahu. Aneh deh,’’ kesal mama mertua. Tangannya bergegas mengambil buah anggur lalu menyantapnya.
‘’Humm, a—anu..’’
Dia tampak menggaruk kepalanya yang tak gatal dan bergegas mengeluarkan benda pipih itu dari saku-sakunya. Seketika wajahnya berubah tatkala memandangi layar benda canggih itu. Aku yakin jika yang menghubunginya itu adalah selingkuhannya itu, si pelakor.
‘’Deno? Siapa? Angkatlah, siapa tahu penting.’’
‘’Temen kantor aku, Ma.’’
Dia bergegas bangkit dan meninggalkan ruang makan. Aku yakin dia keluar rumah agar mamanya tak mencurigai kelakuan busuknya itu.
‘’Temen kantor? Kok malah dibawa keluar menelpon. Aneh banget suamimu itu, Nel,’’ kata wanita yang masih berstatus sebagai mertuaku itu yang beralih menatapku.
Aku hanya terdiam membisu. Tak berselang lama, lelaki itu sudah kembali lagi ke ruang makan. Apa mau lelaki ini? Naisya yang sepertinya sudah bangun tidur, dia berlari dan langsung memeluk papanya.
‘’Pa, Papa ke mana aja sih? Adik rindu banget sama Papa,’’ katanya sambil memeluk mas Deno. Air matanya berjatuhan di pipi mungil itu. Membuat mama mertua terheran.
‘’Lah, emangnya kamu tadi dari mana sih, Den? Sampe anakmu memeluk kamu dan menangis kayak gitu,’’ ujarnya yang tiada putusnya memandangi mas Deno dan putriku yang sedang berpelukan.
‘’E—enggak ke mana-mana kok, Ma. Kan Mama tahu Naisya emang begitu. Semalam itu—‘’
‘’Ke mana kamu semalam?’’ selidik mama.
‘’Aku semalam lembur. Nah, makanya Naisya bilang kayak gitu. Dia maunya aku di rumah terus, Ma.’’
‘’Ya Allah dia masih saja berani membohongi Mama,’’ monologku dalam hati.
‘’Kamu kok lembur terus sih? Sisain jugalah waktumu untuk anak dan istri kamu, Deno.’’ Lelaki itu hanya terdiam membisu sambil mengecup kening Naisya.
Aku rasanya tak sanggup dengan semua ini. Tapi aku juga tak ingin, Naisya mengetahui sesuatu yang tak pantas dia ketahui, apalagi dia masih kecil. Belum saatnya dia mengetahui itu semua. Anak seusia dia tak mengerti apa-apa.
‘’Pa, jangan pergi lagi ya?’’
Ya Allah! Ucapan anakku mampu menusuk relung hatiku ini. Bagaimana bisa aku akan tetap bersama dengan papanya. Dia sudah mengkhianatiku selama empat tahun. Dan apalagi selingkuhannya itu tengah mengandung anak dari suamiku. Aku tak bisa mempertahankan lelaki pengkhianat seperti mas Deno. Apa aku egois? Apa aku salah?
Kepalaku mendadak pusing kembali.
‘’Bi!’’
‘’Ah iya, Bu?’’ Si bibi menghampiriku.
‘’Tolong bantu aku, anterin aku ke kamar ya, Bi.’’
Tanpa berpikir lagi wanita yang selalu ada untukku itu membantu untuk melangkah ke kamar tidur. Mama mertua tampak menatapku cemas. Sedangkan lelaki itu masih mematung sambil menggendong Naisya. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku tak peduli itu.
‘’Nel, kamu pusing lagi?’’
‘’Iya, Ma. Aku istirahat dulu ya. Mama bermainlah sama Naisya,’’ kataku lirih yang menoleh sejenak, lalu kembali melangkah dibantu si bibi. Kepalaku sungguh terasa pusing, mungkin karena beban pikiranku yang begitu banyak.
‘’Astaghfirullah!’’ Aku memegangi kepala yang begitu terasa sakit dan pusing.
‘’Bu? Ibu baik-baik aja?’’
‘’Aku pusing banget, Bi.’’
‘’Ya udah, Ibu istirahat dulu di kamar, ya? Bibi ambilin obatnya,’’ kata bibi yang bergegas membukakan pintu kamar dan membawaku masuk.
‘’Pelan-pelan, Bu.’’
Dengan pelan aku membaringkan tubuhku ke tempat tidur. Seketika langit-langit kamar tampak berputar olehku dan pemandanganku pun kabur. Sepertinya aku hendak pingsan. Aku berusaha menahan napas dan menghembuskannya keluar sembari membaca ayat kursi.
Itu aku lakukan sebanyak tiga kali. Qadarullah pemandanganku mulai jelas memandangi langit-langit kamar dan pusingku pun sudah berkurang. Ya, ilmu ini aku dapatkan dari almarhumah mamaku. Sampai kini ilmu itu masih teringat olehku dan masih aku amalkan.
‘’Alhamdulillah.’’
‘’Nel, kamu enggak boleh kayak gini. Jangan banyak pikiran, nanti malah membuat kamu drop lagi. Apa kamu enggak kasihan sama anakmu? Biarkan aja lelaki itu. Lihat aja apa yang sebenarnya dia rencanakan, ikuti aja permainannya dan kamu juga tinggal suruh orang buat melakukan sesuatu,’’ kataku lirih dan mengingatkan diri sendiri. Aku berusaha untuk menenangkan diriku. Tak berselang lama, bibi Sum sudah membawakan obat dan segelas air minum untukku.
‘’Bu, diminum dulu obatnya. Setelah itu baru istirahat ya,’’ katanya yang menghenyak di tempat tidurku.
Aku menyahut dengan anggukan dan dengan pelan aku duduk. Bibi membukakan obat dan menyodorkan padaku. Bergegas kuraih dan menelannya dengan langsung meneguk segelas air putih. Setelah menelan obat, aku kembali merebahkan tubuh. Terbayang olehku lelaki itu yang kembali menampakkan batang hidungnya dan menginjakkan kaki ke rumah ini tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
‘’Bawa istirahat dulu ya, Bu. Jangan memikirkan yang lain. Nanti Ibu malah drop lagi, kasihan Naisya.’’
‘’Iya, Bi. Tapi aku minta tolong awasi si Bapak ya. Aku khawatir dia malah membawa Naisya.’’
‘’Baik, Bu. Bibi akan selalu awasi Bapak. Kalo gitu Bibi tinggal dulu ya,’’ sahutnya. Tampak si bibi bergegas melangkah menuju pintu, namun langkahnya terhenti dan menoleh ke arahku.
‘’Bu?’’
‘’Iya, Bi?’’
‘’Ibu pasti kuat dan bisa melewati semua ini. Apa pun yang akan Ibu ceritakan, Bibi siap mendengarkan dan Bibi akan selalu ada buat Ibu,’’ lirihnya dengan mata berkaca-kaca. Membuat aku terharu.
‘’Makasih banyak, Bi. Aku bersyukur banget punya Bibi yang selalu ada untukku. Pakai apa harus aku balas kebaikan Bibi?’’
Wanita yang kuanggap sebagai keluargaku itu masih menoleh dan bergegas kembali melangkah menghampiriku ke tempat tidur.
‘’Bibi juga bersyukur banget bisa dipertemukan sama Ibu yang begitu baik. Ibu nggak boleh bicara kayak gitu. Malahan Ibu sudah memberikan semuanya buat Bibi,’’ balasnya sambil menepuk lenganku pelan.
‘’Sekarang Ibu istirahat dulu ya. Jangan banyak pikiran. Bibi nggak mau Ibu nanti drop lagi. Jangan khawatir, Bibi akan awasi Bapak kok. Serahkan aja semuanya sama Bibi,’’ imbuhnya kemudian yang membuat aku merasakan sedikit lega. Aku menghela napas pelan.
‘’Iya, Bi. Makasih banyak ya.’’ Aku memegangi jemari bibi.
Wanita separuh baya itu menyahut dengan anggukan lantas menampakkan seulas senyuman. Bibi Sum kembali melangkah ke luar dari kamarku. Sejujurnya, aku beruntung sekali punya bibi Sum yang selalu ada untukku. Terkadang aku merasa mama hidup kembali, karena di diri bibi seperti ada mama. Beliau semasa hidupnya yang punya rasa sayang begitu besar padaku, peduli, perhatian dan selalu ada untukku. Itu semua kini ada pada diri bibi Sum.
Walaupun dulunya aku merasa terpuruk sekali di saat kehilangan almarhumah mama, aku tak terima dan mama itu tak kan ada yang bisa menggantikan posisi beliau, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dan mulai mengikhlaskan mama agar beliau tenang di alam sana.
Wanita separuh baya itu berlari dengan napas yang terengah-engah ke kamarku. Membuat aku terperanjat karena tak mengucapkan salam atau memanggil aku seperti biasanya.
‘’Bu, si—si Bapak memilih sendiri security yang melamar. Padahal beliau kan nggak tahu apa-apa soal ini.’’
Bersambung…
Terima kasih banyak teruntuk Readers yang masih setia membaca novel ‘’Kemanisan Sesaat’’. Jika kalian suka dengan novel ini, mohon supportnya ya dengan cara like, vote, koment, dan share. Oke, semoga kalian sehat selalu dan dimudahkan segala urusannya.
sebaik ap mertu klo sdh pisah ia anak nya urusan x..