Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Saat istirahat siang, Naruto memutuskan untuk menemui Yuigahama sekali lagi. Dia menemukan gadis itu duduk sendirian di kantin, bukan di tempat biasanya. Punggungnya sedikit membungkuk, seperti sedang berpikir keras, dan dia hanya memainkan sumpitnya tanpa benar-benar makan.
Naruto berjalan mendekat tanpa banyak basa-basi, lalu duduk di hadapannya. “Kau tidak makan?” tanyanya langsung.
Yuigahama terangkat kaget, lalu tersenyum tipis. “Eh? Ah… Naruto. Aku hanya… tidak terlalu lapar.”
Naruto menyipitkan matanya. Dia mengenali senyum itu—salah satu senyum yang sering digunakan seseorang untuk menyembunyikan sesuatu.
“Aku tidak akan bertele-tele,” katanya, meletakkan lengannya di atas meja dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kenapa kau belum kembali ke klub?”
Yuigahama tampak ragu sejenak, lalu tersenyum canggung. “Aku kan sudah bilang… Aku hanya butuh waktu sebentar.”
Naruto tetap menatapnya tanpa berkedip. “Sebentar yang seperti apa? Kau bilang butuh waktu, tapi sekarang sudah dua hari. Kau benar-benar berniat kembali atau tidak?”
Yuigahama menggigit bibirnya, pandangannya teralihkan. “Aku… Aku tidak tahu.”
Jawaban itu membuat Naruto sedikit terdiam.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” lanjutnya, kali ini suaranya lebih tenang namun tajam. “Ini bukan cuma soal waktu, ‘kan?”
Yuigahama mengepalkan tangannya di atas meja, seolah berusaha menahan sesuatu dalam dirinya.
“…Aku hanya merasa… kalau aku kembali ke sana, aku akan tetap sama,” katanya lirih. “Seolah-olah… aku tidak berkembang.”
Naruto mengangkat alis. “Apa maksudmu?”
Yuigahama menarik napas dalam, lalu menatap Naruto dengan mata yang penuh kebingungan dan sedikit ketakutan.
“Aku ingin tahu… apakah aku benar-benar memiliki tempat di sana. Atau aku hanya sekadar… seseorang yang selalu ada tapi tidak pernah berarti.”
Naruto terdiam. Kini dia tahu, ini bukan hanya soal klub—ini tentang Yuigahama sendiri.
Dia tidak hanya menghindari klub. Dia sedang mempertanyakan keberadaannya sendiri.
Naruto tetap menatap Yuigahama dengan tenang, membiarkan keheningan sesaat mengisi ruang di antara mereka. Ia bisa merasakan ketidakpastian dalam tatapan gadis itu—sebuah kebimbangan yang jarang ditunjukkan secara terbuka.
Lalu, dengan suara datar namun mengandung sesuatu yang lebih dalam, Naruto berkata, "Sebelumnya kau pernah bilang… kalau seseorang selalu ada di sisi orang lain, tapi dia merasa dirinya bukan yang utama… apa yang sebaiknya dia lakukan?"
Mata Yuigahama sedikit melebar, seakan tak menyangka Naruto masih mengingat kata-kata itu. Jemarinya yang menggenggam sumpit sedikit mengerat, lalu ia menunduk, menyembunyikan ekspresinya di balik poninya.
“…Kau masih mengingat itu, ya?” suaranya terdengar lebih lirih dari sebelumnya.
“Tentu saja,” jawab Naruto singkat. “Aku hanya ingin tahu… apa maksud ucapanmu saat itu?”
Yuigahama tidak langsung menjawab. Napasnya sedikit gemetar saat ia mengembuskan udara dari paru-parunya. Sejenak, seolah ada pertarungan di dalam dirinya—antara mengungkapkan sesuatu yang telah lama ia pendam atau tetap membiarkannya terkubur di dalam hati.
“…Aku tidak tahu,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Aku hanya… aku hanya berpikir, bagaimana kalau seseorang selalu ada untuk orang lain, tapi pada akhirnya, dia hanya seseorang yang berdiri di pinggir? Dia tidak pernah benar-benar menjadi pilihan utama… Lalu apa yang harus dia lakukan?”
Naruto tetap diam, membiarkan Yuigahama menumpahkan isi hatinya.
Yuigahama tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak memiliki cahaya seperti biasanya. “Aku rasa… itu cukup menyakitkan, ya? Berada di sana, selalu ada, tapi tidak pernah benar-benar menjadi pusat perhatian seseorang…”
Matanya sedikit berkilau, bukan karena kegembiraan, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang selama ini mungkin ia coba sembunyikan.
Naruto akhirnya menghela napas. “Jadi… itu tentangmu?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Yuigahama terdiam. Detik-detik berlalu dengan lambat sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.
Naruto bertanya. "Apakah boleh diriku menggantikan orang yang kau inginkan selalu berada di dekatnya itu?" dengan nada tenang namun menyimpan ketulusan yang kentara.
Yuigahama menatap Naruto dengan mata membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Ia mencoba mencerna maksud di balik pertanyaan Naruto—apakah ini hanya candaan? Atau sesuatu yang lebih dalam?
“…Kau… Apa maksudnya?” Yuigahama akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.
Naruto tidak langsung menjawab. Ia menatap gadis di hadapannya, mencari sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang mungkin sudah lama tersembunyi. Kemudian, dengan nada serius dan tanpa keraguan, ia berkata, "Aku tidak ingin Yuigahama yang asli tersakiti."
Yuigahama menahan napas. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena malu, tapi karena sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.
“…Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar. “Kenapa kau ingin melakukan itu? Kenapa kau ingin… menggantikannya?”
Naruto menghela napas pelan. “Karena aku tahu bagaimana rasanya berdiri di tempat yang sama seperti dirimu, melihat seseorang dari jauh, tapi tak bisa berbuat apa-apa.” Matanya tetap menatap lurus ke arah Yuigahama, tak memberi ruang bagi kebohongan atau kepura-puraan. “Aku tidak ingin kau terus berada dalam posisi itu, dalam rasa sakit yang kau bahkan tidak berani ungkapkan.”
Yuigahama menggigit bibir bawahnya, jemarinya saling menggenggam erat. Hatinya terasa bergetar mendengar kata-kata Naruto.
“Tapi… itu tidak masuk akal,” katanya, mencoba tetap rasional meskipun suaranya melemah. “Kenapa kau harus… menggantikan seseorang yang bahkan tak bisa kugapai?”
Naruto hanya tersenyum tipis. “Siapa bilang tidak masuk akal? Kadang yang kita butuhkan bukanlah orang yang selalu kita kejar, tapi orang yang tetap ada ketika kita berhenti berlari.”
Kata-kata itu membuat Yuigahama terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Yang ia tahu, dadanya terasa semakin sesak, seolah-olah ada sesuatu yang hendak pecah dalam dirinya.
Yuigahama menunduk, tangannya menggenggam ujung roknya erat. Perasaan di dalam hatinya berkecamuk, bercampur antara ragu, harapan, dan ketakutan yang sulit diungkapkan.
“…Mungkin aku memang gadis yang tidak menarik,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Naruto mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Yuigahama. Ia menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya tersenyum tipis.
“Kalau itu masalahnya, justru bagus,” katanya santai.
Yuigahama mengangkat wajahnya, menatap Naruto dengan mata penuh kebingungan. “Hah?”
Naruto memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya tetap tenang. “Karena dengan begitu, kau tidak perlu bersaing dengan orang lain.”
Kebingungan di wajah Yuigahama semakin jelas. “Apa maksudmu?”
Naruto menghela napas pelan sebelum menjawab, “Kau tidak perlu menjadi yang paling menarik atau paling menonjol. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Tanpa perlu bersaing dengan siapa pun, tanpa perlu khawatir apakah kau cukup baik atau tidak.” Ia menatap langsung ke mata Yuigahama. “Karena kau… sudah cukup apa adanya.”
Yuigahama merasa napasnya tersangkut di tenggorokan. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi terasa seperti sesuatu yang selalu ingin ia dengar, sesuatu yang selama ini ia ingkari.
“…Naruto,” ucapnya pelan.
“Hmm?”
Yuigahama menunduk lagi, menggigit bibirnya. Hatinya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Ia tidak tahu harus merasa lega, senang, atau justru semakin takut. Tapi satu hal yang pasti—perasaan ini, yang selama ini ia coba abaikan, kini menjadi semakin nyata.
Yuigahama mengangkat wajahnya, menatap Naruto dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot matanya—ketakutan, kebingungan, dan mungkin sedikit harapan.
“Kau… serius ingin menggantikan posisi orang yang selama ini aku kejar?” tanyanya pelan, suaranya terdengar bergetar.
Naruto tidak butuh waktu lama untuk menjawab. Tanpa sedikit pun keraguan, ia mengangguk. “Iya.”
Yuigahama menelan ludah. Jawaban itu terlalu cepat, terlalu tegas. Tidak ada tanda-tanda bercanda atau basa-basi di dalamnya. Itu membuatnya semakin bingung, bahkan sedikit takut.
“…Tapi aku tidak seperti yang kau pikirkan,” katanya lirih. “Aku tidak ceria atau kuat seperti yang orang lain lihat. Aku juga punya sisi yang mungkin tidak akan kau sukai.”
Naruto tersenyum tipis, tatapannya tetap tenang. “Aku tahu.”
Yuigahama terdiam.
“Aku tahu kau sering memaksakan diri untuk tersenyum, berpura-pura baik-baik saja saat sebenarnya tidak,” lanjut Naruto. “Aku tahu kau selalu berusaha menjaga orang lain tetap bersama, bahkan jika itu menyakitimu. Dan aku juga tahu… kau takut sendirian.”
Yuigahama terkejut. Kata-kata itu menembus pertahanannya begitu saja, seolah Naruto telah lama melihat sisi dirinya yang bahkan ia sendiri coba sembunyikan.
“…Kalau kau sudah tahu, kenapa masih ingin melakukan ini?” tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.
Naruto tidak langsung menjawab. Ia menghela napas pelan sebelum berkata, “Karena aku tidak ingin kau tersakiti lagi. Itu saja.”
Yuigahama menunduk. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit, tapi karena perasaan yang begitu rumit dan dalam. Untuk pertama kalinya, seseorang benar-benar melihatnya, menerima semua sisi dirinya tanpa syarat.
Dan itu… menakutkan sekaligus menghangatkan.