Pacarku Simpanan Ayahku

Di sebuah rumah mewah bergaya modern klasik, suasana sore yang biasanya tenang dan nyaman berubah drastis dalam hitungan detik. Ziva Meliana, wanita elegan paruh baya yang dikenal sebagai sosialita dan filantropis, tengah duduk santai di sofa ruang keluarga.

Di tangannya, secangkir teh melati hangat mengepul, aromanya menenangkan. Sementara itu, seorang pelayan muda bernama Nindy sedang berdiri di belakang sang majikan, memijat bahunya dengan perlahan dan penuh kehati-hatian.

"Aduh, enak banget, Nin. Pundakku dari tadi pegal habis meeting sama ibu-ibu arisan," ucap Ziva sambil memejamkan mata menikmati pijatan itu.

Nindy terkekeh pelan. "Ibu itu sibuk terus ya, mana sempat istirahat sih."

"Namanya juga ibu-ibu sosialita, Nin. Harus tetap eksis, dong," jawab Ziva, senyumnya lembut.

Suasana santai itu berlangsung hangat, ditemani suara televisi yang menyiarkan berita ringan. Namun, semua berubah ketika layar TV tiba-tiba menampilkan siaran berita Breaking News dengan backsound tegang. Pembawa berita wanita dengan raut serius berkata,

"Sedang ramai diperbincangkan di media sosial mengenai rumor perselingkuhan seorang dosen sekaligus pengusaha ternama, Calvin Hartanto, dengan seorang perempuan muda berinisial R. Hubungan ini diduga sudah berlangsung cukup lama dan telah diketahui oleh beberapa pihak terdekat."

Nindy yang melihat layar itu spontan memekik pelan dan menghentikan pijatannya. Ia menatap Ziva yang masih belum menyadari apa yang terjadi.

"Loh, bu! Itu bukannya… Tuan Calvin ya? Kok bisa-bisanya ada berita begitu tentang tuan sih?" celetuk Ziva.

Ziva membuka matanya, alisnya langsung mengernyit. "Apa maksudmu, Nin?"

Nindy menunjuk ke arah TV. "Itu loh, bu. Di berita itu, mereka bilang Tuan Calvin selingkuh… sama perempuan muda, inisialnya R. Jangan-jangan…"

Ziva spontan menoleh ke televisi dan saat melihat potret siluet yang meski disamarkan namun sangat familiar, detak jantungnya seperti berhenti sejenak. Rahangnya mengeras, matanya membulat lebar.

"Tidak mungkin…" gumamnya lirih, seolah menolak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Namun hatinya seolah mencelos. Nama itu… inisial itu… wajah samar itu… terlalu mirip dengan seseorang yang pernah ia lihat.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu depan dibuka. Calvin Hartanto—suami Ziva, baru saja pulang kerja. Wajahnya lelah, dasinya sudah longgar, dan langkah kakinya menunjukkan betapa berat hari yang ia lalui. Namun, pemandangan di ruang tamu membuatnya langsung berhenti di tempat.

Ziva berdiri dari sofanya, tatapannya tajam menusuk seperti pisau.

"Mas Calvin," ucapnya dingin. "Jelaskan padaku ini maksudnya apa?"

Ia menunjuk ke arah televisi yang masih menampilkan berita sensasional itu. Calvin menoleh, dan seketika matanya membulat. Raut wajahnya berubah tegang. Namun, ia buru-buru mengalihkan pandangan dan mencoba terlihat tenang.

"Itu berita murahan! Kamu percaya sama berita kayak gitu?" Calvin berseru dengan nada tinggi.

"Jangan bohong, Mas! Siapa perempuan itu? Inisial R? Jangan bilang kamu nggak kenal!" sentak Ziva.

"Aku bilang itu hoax!" bentaknya sambil melipat tangan. "Orang-orang sekarang cuma mau cari sensasi! Aku bahkan nggak tahu siapa si R itu!"

Ziva melangkah mendekat, tatapannya bergetar antara marah dan hancur. "Kamu pikir aku bodoh, Mas? Jangan-jangan… selama ini kamu memang menyimpan sesuatu di belakangku, ya?"

Calvin menghela napas kasar, merasa terpojok. "Aku capek, Ziva. Nggak akan ada debat soal hal yang nggak masuk akal ini. Aku mau istirahat!" teriaknya, lalu berbalik menuju kamar.

Pintu kamar dibanting keras, meninggalkan Ziva yang masih berdiri mematung. Cangkir tehnya jatuh dari tangannya dan pecah di lantai, menumpahkan air yang sudah tak lagi hangat.

Nindy bergegas mendekat, membantu memunguti pecahan itu. "Bu… Ibu nggak apa-apa?"

Ziva tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca, namun wajahnya tetap tegar. Dalam diam, pikirannya mulai menyusun kemungkinan terburuk. Dan firasatnya… mengatakan bahwa ini baru awal dari badai yang lebih besar.

"Aku harus cari tahu kebenarannya," gumamnya lirih, namun penuh tekad.

Ziva Hartanto—wanita yang selama ini selalu tampil sempurna di depan publik—siap membuka kotak Pandora rumah tangganya sendiri. Dan siapa pun yang bersalah... tidak akan ia ampuni.

÷÷÷

Sebuah bar mewah bergaya industrial yang terletak di pusat kota Jakarta menjadi tempat persinggahan malam itu bagi Harry Stevenson. Lampu-lampu redup menghiasi ruangan, berpadu dengan musik jazz lembut yang mengalun dari sudut panggung kecil. Bar itu memang bukan tempat sembarangan—hanya mereka yang berkantong tebal dan memiliki reputasi tinggi yang bisa leluasa menikmati suasana di sana.

Di salah satu sofa VIP, Harry duduk santai, setengah bersandar dengan jas yang sudah ditanggalkannya. Wajahnya terlihat puas, seolah baru saja memenangkan pertandingan besar. Di pangkuannya, duduk manja seorang wanita muda cantik berkacamata tipis—Sandrina, sekretaris sekaligus orang yang kini semakin dekat dengannya. Sandrina memegang segelas mocktail warna jingga keemasan, sedangkan Harry menggenggam segelas anggur merah yang masih tersisa separuh.

"Akhirnya satu demi satu mulai pecah juga," gumam Harry dengan nada tenang tapi sarat dendam. Di hadapannya, layar TV bar sedang menayangkan berita yang serupa dengan yang tadi membuat Ziva syok di rumahnya: Perselingkuhan Calvin Hartanto dengan seorang wanita muda berinisial R.

Sementara itu, di layar ponselnya, Harry memantau ragam komentar di sosial media. Banyak akun gosip terkenal sudah mengangkat berita itu, dan topik Calvin Hartanto trending di platform X. Ia tersenyum kecil, geli melihat ekspresi para netizen yang tak henti berspekulasi.

"Lihat, Sandrina… ini baru permulaan," ucapnya sambil menoleh ke arah gadis di pangkuannya, lalu mengusap pelan rambut panjang wanita itu. "Aku belum selesai. Belum sama sekali."

Sandrina menatap Harry dengan tatapan penasaran. "Kamu beneran dendam banget sama mereka, ya?"

Harry hanya tertawa kecil, pahit. "Bukan cuma karena tunanganku tidur dengan papaku, Sandrina. Tapi karena mereka mempermainkan harga diriku, mempermainkan perasaanku, dan... menyakiti mamaku."

Sandrina terdiam, lalu menyandarkan kepala di dada Harry. Di luar semua ini, ia tahu lelaki yang kini menemaninya adalah seseorang yang tengah tergores dalam. Terluka. Dan dendam itu seperti pelindung yang membuatnya terus bertahan.

Tak lama kemudian, seseorang muncul dari balik pintu kaca area VIP. Ia adalah Robert, asisten pribadi Harry yang telah lama bekerja dengannya. Lelaki berkemeja hitam dan jas abu itu berjalan cepat ke arah bosnya, lalu membungkuk sopan.

"Tuan, tugas pertama sudah saya laksanakan. Semua media yang bekerja sama dengan kita sudah diberi umpan. Narasi tentang perselingkuhan itu mulai menyebar, dan... bisa dibilang cukup mengguncang."

Harry mengangguk santai. "Bagus."

Robert kemudian duduk di kursi seberang Harry dan melanjutkan, "Apa langkah berikutnya, Tuan? Apakah kita mulai mempersiapkan untuk penyebaran video asli itu?"

Harry menggeleng pelan. "Belum. Biarkan mereka panik dulu dengan gosip ini. Biarkan Calvin kehilangan kendali. Dan Raline… biar dia menyesal karena telah memilih tidur dengan pria yang seharusnya ia panggil Papa mertua."

Wajah Robert sempat tampak khawatir. "Tapi, jika kita menahan video itu terlalu lama, publik bisa menganggap berita ini sekedar hoax."

Harry menatap Robert tajam, lalu menyeringai. "Justru itu yang aku mau. Kita buat mereka seperti orang gila, mencoba menyangkal gosip yang belum ada buktinya. Dan ketika mereka paling tertekan, ketika Calvin dan Raline mulai saling curiga, saling menyalahkan—saat itulah kita jatuhkan bom besarnya."

Sandrina yang sejak tadi diam, kini mengangkat wajahnya. "Kamu udah tahu mau ngelakuin apa setelah itu?"

Harry meneguk anggurnya sampai habis, lalu meletakkan gelasnya di meja.

"Aku akan buat mereka jatuh di depan mata semua orang. Reputasi Calvin akan hancur, pekerjaannya tamat, dan dia akan jadi bahan tertawaan. Sementara Raline... aku akan pastikan hidupnya lebih buruk dari neraka. Aku tahu caranya."

Robert hanya mengangguk. Ia tahu, saat Harry sudah berbicara dengan nada sedingin itu, maka artinya sudah tidak ada jalan kembali.

"Mulai siapkan tim untuk hari keempat. Siapkan orang-orang kita di kampus, dan aku ingin apartemen Raline dalam pengawasan penuh. Aku ingin tahu siapa yang masih dekat dengannya."

"Baik, Tuan."

Harry lalu mengusap lembut punggung Sandrina, membisikkan sesuatu yang hanya didengar gadis itu—sebuah kalimat lirih, tapi penuh janji.

"Setelah semua ini selesai… hanya kamu yang akan tetap di sampingku."