Asti seorang gadis yang berusia 28 tahun, dan memiliki wajah yang baby face, banyak orang yang mengira bahwa Asti seperti gadis belia.
Asti memiliki otak yang cerdas, piawai dalam berkomunikasi dan mempunyai sifat penyayang.
Berjalannya waktu, Asti mengenal sosok pria bernama Tomi.
Asti terkenal dengan sifatnya yang cuek dan jutek.
Apakah sosok Tomi Berhasil meruntuhkan hati sang dosen cantik yang jutek?
Di balik sikap Asti yang cuek dan jutek, ia bersama-sama temannya memiliki wadah untuk saling bertukar informasi, berbanding terbalik keseruan pada saat dia bersama sama di geng bucin.
Keseruan apa yang ada di geng bucin?
mari kita bersama membaca keseruannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RADISYA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Pesona Asti Dimata Pak Eko.
Pak Eko yang masih bertamu di rumah Asti malam itu, tidak henti-hentinya memberi pertanyaan kepada Asti.
Disisi lain, seseorang yang mendengar pertanyaan-pertanyaannya itu akan mengira bahwa lelakiitu merasa prihatin terhadap seorang rekan sesame dosen yang menghadapi mahasiswa yang bandel.
Tetapi di pihak lain, Asti dapat menangkap adanya rasa ingin tahu yang kuat bahkan semacam kecurigaan dari diri lelaki itu tentang hubungannya dengan Tomi.
Sebenarnya apa pun yang benar dari kedua sifat yang ada pada pertanyaan Pak Eko itu, Asti memakluminya sebagai sesuatu yang wajar.
Tetapi karena petang ini telah terjadi sesuatu yang istimewa di dapur antara dirinya dan Tomi, pertanyaan Pak Eko itu jadi terasa berat untuk dijawab olehnya.
“Yang seperti Mas lihat tadi itulah!” sahutnya kemudian dengan lebih hati-hati. “Ketika aku membuat minuman untuknya, ia menyusul ke dapur karena merasa tidak enak melihat dosennya yang melayaninya.”
“Dan bagaimana dengan keberhasilannya membawamu di dalam mobilnya?” tanya Pak Eko lagi.
Dada Asti berdebar begitu pertanyaan itu sampai ke telinganya. Ia semakin berhati-hati dalam menghadapi setiap pertanyaan pak Eko.
“Sebelum ku jawab pertanyaanmu, boleh aku tahu dari mana Mas mengetahui hal itu?”
“Apakah itu perlu diketahui, Dik Asti?
“Kalau Mas menganggap hal itu tidak perlu kuketahui, ya tidak apalah” Asti meremas tangannya sendiri. “Aku toh tidak melakukan kesalahan. Lelaki itu menawariku untuk ikut mobilnya karena melihat bawaanku dari perpustakaan banyak.
Apalagi katanya, ia akan mengunjungi rumah seorang teman yang rumahnya tidak jauh dari sini. Mula-mula tawarannya itu ku tolak."
"Tetapi ketika aku berpikir kembali mengenai repotnya naik kendaraan umum yang padat sementara bawaanku banyak, akhirnya tawaran itu ku terima. Itu yang pertama."
"Yang kedua, ketika ia membutuhkan buku-buku filsafat yang di perpustakaan kampus kita ini tidak ada, aku langsung ingat mengenai beberapa buku dan catatan yang ku titipkan kepada pegawai perpustakaan di kampus ku dulu.
Jadi ku ajak saja dia sekalian ke sana sebab apa yang dibutuhkan oleh Tomi itu sudah pasti banyak terdapat di sana!”
“Hm, begitu ceritanya. Tetapi apakah aku boleh memberimu saran, sebagai seorang rekan?”
“Oh, silahkan Mas. Dengan senang hati”
“Saranku ini dasarnya adalah keprihatinan dan perhatianku kepadamu sebagai teman sekerja.
Aku tidak ingin dirimu menghadapi sesuatu yang sekiranya nanti akan menyulitkanmu, Dik Asti!” kata Pak Eko lagi. “Ini pun juga berdasarkan pandangan mengenai kehidupan pribadimu dalam masalah khusus yang disebut cinta, sebagaimana yang kau uraikan kepadaku tadi.”
Asti terdiam.
Dalam hatinya, ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Pak Eko. Entah apa pun alasan lelaki itu, entah karena merasa tersaingi oleh tomi, ataukah ada alasan lainya namun saranya patut diperhatikan.
Apalagi kalau itu dikaitkan dengan kehidupan pribadinya yang paling intim.
Kalau ia mau mengikuti rasionya, ia memang tidak ingin menjalin hubungan khusus dengan Tomi.
Sebab baginya, suatu hubungan khusus antara seorang pria dan seorang wanita haruslah bersifat memperkaya nilai kemanusiaannya sesuai dengan martabatnya sebagai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan.
Hal itu tidak mungkin terjadi apabila ia menjalin hubungan cinta dengan Tomi.
Bukan saja karena Tomi tidak masuk kedalam kriteria ‘suami idealnya, tetapi juga lelaki itu hadir dalam kehidupnya tidak dengan membawa kedamaian.
Namun apabila bicara tanpa suara-suara keras rasionya, Asti harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa terhadap Tomi, ia memiliki kelemahan yang tidak pernah ditunjukkannya terhadap lelaki mana pun.
Betapa pun besarnya kemarahannya terhadap Tomi dan bagaimana pun kuatnya kebenciannya terhadap lelaki itu, sesungguhnya emosi-emosi semacam itu lebih tertuju karena dirinya sendiri.
Ia marah kepada dirinya mengapa jika berhadapan dengan Tomi ia bisa kehilangan ketenangan batinnya.
Ia juga kesal kepada dirinya sendiri mengapa jika berada di dekat Tomi, bahkan hanya dengan memikirkannya saja dapat membuatnya menjadi lemah hati.
Seperti tadi misalnya. Dalam ketakberdayaannya itu ia bukan saja telah membiarkan Tomi menggenggam tangannya, tetapi bahkan telah membiarkan lelaki itu menciumnya.
Dan lebih gilanya, ia membalas keintiman itu dengan sama mesranya.
Berpikir seperti itu, Asti merasa pipinya menjadi hangat. Untunglah senja telah tiba sehingga Pak Eko tidak melihat bahwa saat itu pipinya mungkin menjadi kemerahan.
Sementara itu Pak Eko yang melihat Asti terdiam dengan kepala tepekur itu menjadi tidak enak.
“Maafkan kata-kataku tadi, Dik Asti. jangan membuatmu merasa tersinggung karenanya!” katanya kemudian. “Aku benar-benar bermaksud baik!”
Asti mengangkat wajahnya dan mengibaskan rambutnya yang meluncur ke wajahnya.
“Aku tidak merasa tersinggung, Mas. Aku justru sedang merenungkan kebenaran saran-saranmu tadi!” katanya.
“Rasanya memang sudah saatnya aku membatasi perjumpaanku dengan Tomi hanya sebatas lingkungan kampus saja.
Dalam hal ini, aku akan bersikap lebih tegas dan formil. Untuk itu Mas, aku mengucapkan terimakasih kepadamu atas saranmu itu!”
“Syukurlah kalau kau menganggap saranku itu, baik,” ucap Pak Eko sambil melirik Arlojinya. “Nah Dik Asti, kalau kau memang belum mau ku ajak pergi, sebaiknya aku pulang dulu.
Aku tidak mau lebih lama lagi mengurangi waktu santai mu. Tetapi kalau aku masih boleh berharap untuk mengajakmu pergi disuatu saat nanti, kapan-kapan aku akan datang lagi mengunjungimu”
Asti tersenyum. Di dalam hatinya ia merasa tidak enak karena telah mengecewakan Pak Eko.
“Asal aku bisa dan tidak sedang keluar rumah, tentu di suatu saat mau juga aku sekali-sekali pergi bersamamu!” sahutnya.
“Sungguh?”
“Sungguh. Asalkan aku memang dalam keadaan siap mental untuk pergi.” Asti menjawab lagi. “sebab Mas, pergi bersama seorang lelaki kalau tidak sangat perlu sekali, bukanlah kebiasaan ku!”
“Aku tahu dan Dik Asti tidak usah merasa sungkan pergi bersamaku. Karena sifat kepergian itu hanya untuk mencari hiburan bersama-sama. Bukan untuk suatu tujuan khusus”
“Iya” jawab Asti
Pak Eko pulang dengan harapan yang hampa masih belum seluruhnya terpuaskan atas semua pernyataan Asti.
Apalagi ia Tidak percaya bahwa ada seorang wanita yang seliat dan sesulit itu ditembus oleh panah asmaranya.
Pengalamannya yang sudah-sudah justru dialah yang sering dikejar-kejar para gadis dan kalau pun tidak, tanpa bersusah payah apabila ia ingin mendekati seseorang semudah ia menyembunyikan ibu jari dan jari telunjuknya, dengan senang hati mereka akan mengekor di belakangnya.
Tetapi situasi semacam itu bukanlah sesuatu yang menarik baginya. Tidak ada tantangan di dalamnya. Tidak ada perjuangan di dalamnya.
Sepanjang perngalamannya bergaul dengan kaum wanita, memang terkadang ada gadis-gadis semacam itu hanyalah di luarnya saja yang dingin, di dalamnya ia ingin mendapat sapaan darinya, atau pun kalau tidak begitu benar, mereka hanyalah sedang melakukan semacam taktik jinak-jinak merpati.
Atau paling banter, hanya untuk menghindari anggapan sebagai gadis gampangan.
Asti memang berbeda, itu harus diakui oleh Pak Eko.
Namun apakah ia berhati batu, itu rasanya sukar dipercaya, masih perlu dibuktikan lebih dulu dan selama bukti itu belum ada, Pak Eko masih belum mau meninggalkan harapannya.
Orang Jawa mengatakan ‘alon-alon waton kelakon'’, biar lambat asalkan berhasil atau ‘witing tresno jalaran soko kulino’, tumbuhnya kasih karena terbiasa.
sangat keren