15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 - Kekhawatiran Vania
"Bun? Bunda nggak apa-apa kan?"
Lamunan Vania buyar tatkala Rimba mengusap lengannya, kaget.
"Bunda ngantuk, kita lanjutkan ngobrolnya besok saja ya. Sekarang telepon suami kamu, bilang malam ini kamu menginap disini, biar dia nggak khawatir" pinta Vania lalu beranjak dari duduknya. Ia lekas pergi ke kamarnya, menyembunyikan embun dimatanya.
Rimba pun mengiyakan apa kata sang bunda. Ia mencoba menelpon ke nomor ponselnya Steven, namun tak ada jawaban. Rimba yakin Suaminya itu pasti sudah tidur dikamar tamu. Lantas Rimba mengirim pesan. Setidaknya Steven akan membacanya kala ia membuka ponsel nanti.
Rimba :
Aku nginep dirumah Bunda. Maaf tadi nggak bilang apalagi pamit. Aku hanya bingung, dan ingin menanyakannya langsung sama bunda. Ku harap kamu nggak marah dengan sikap kekanak-kanakan ku ini. I<3U
(Send)
***
Pagi harinya, Steven menggeliat diatas tempat tidur. Matanya perlahan terbuka seraya tangan kanannya meraba ke sisi kasur, kosong. Lelaki itu terbangun, sadar kalau dirinya semalam tidur dikamar tamu. Lantas ia pun segera turun, keluar dari ruangan itu menuju ke kamarnya sendiri.
Steven mengernyit tatkala kamarnya kosong, tak ada Rimba disana. Tempat tidurnya masih dalam keadaan berantakan sisa semalam. "Kemana dia," gumamnya.
Sudah dicari disekitar rumah namun istrinya tidak ada. Steven yakin, Rimba semalam pergi diam-diam. Lantas ia pun meraih ponselnya diatas nakas. Benar saja, ada pesan dari Rimba kalau dirinya pergi kerumah Vania tadi malam.
Steven langsung menelpon Rimba, tapi malah tidak diangkatnya. Akhirnya ia pun mengirim pesan melalui chat.
Steven:
Kamu tunggu aku dirumah bunda, jangan kemana-mana!!
(Read)
Steven terkejut, pesannya langsung terbaca. Itu tandanya Rimba sedang online. Kenapa panggilan telponnya barusan tidak diangkat? tak lama ada balasan chat dari Rimba.
Rimba:
Bukannya pagi ini kamu ada praktek di RS?
Steven:
Kenapa nggak angkat telponnya?
(read)
Rimba:
Lagi malas ngomong!
"Hey, kekanak-kanakan sekali!" umpat Steven bicara sendiri. Tapi lelaki itu berusaha memahami kondisi istrinya. Ia pun mengalah saja, dan kembali berkirim pesan.
Steven:
Kalo gitu tunggu sampai aku pulang dari RS.
(Read)
Rimba:
Hari ini ada kuliah dari jam 10 sampai jam 5 sore.
Steven:
Aku jemput dikampus jam 5.30
(Read)
Rimba:
Jangan! dirumah bunda aja, bunda mau bicara sama kamu.
Steven:
Oke.
(Read)
Mereka pun mengakhiri obrolannya via chat. Steven bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini dia ada jadwal praktek di rumah sakit sampai sore nanti.
*
Sore itu, saat Steven bersiap hendak ke rumah ibu mertuanya, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangannya yang setengah terbuka, padahal jam prakteknya sudah selesai.
"Dok, tolong periksain aku dong!"
Suara itu membuat Steven mendongak kaget. "Mitha?"
Ternyata adik perempuannya itu yang datang. "Masih bisa nggak nih?" tanyanya sambil tertawa.
"Kamu sakit? kenapa tidak menelepon saja?" Steven langsung berdiri dan menghampirinya.
"Aku bercanda Kak, nggak ada yang sakit," aku Mitha.
"Trus, kamu ngapain ke rumah sakit?" Steven memicingkan sebelah matanya curiga. "Jangan ada yang disembunyikan dariku ya!"
Lagi-lagi perempuan itu tertawa, "Justru aku nggak bisa nyembunyiin kabar baik ini dari siapa pun," ucapnya.
"So?"
"Tadi aku habis dari dokter Marissa."
"Ya? dokter Marissa SpOG?" bola mata Steven terbelalak lebar. "Are you pregnant?"
Mitha mengangguk seraya menyunggingkan senyuman manisnya. "Baru telat 3 Minggu sih, tapi setelah diperiksa tadi ternyata hasilnya positif," ujarnya terlihat bahagia.
"Seriously?" kedua mata Steven berbinar, tak menyangka adiknya ini akan cepat mengandung lagi.
"Yes, Maxell akan punya adik," sahut Mitha terlihat sangat bahagia.
"Wow, bakal nambah ponakan lagi," kekeh Steven ikut berbahagia. "Marco tau hal ini?" tanyanya.
"Belum, ini akan jadi kejutan nanti," gumam Mitha sambil memeluk perutnya yang terlihat masih rata.
Steven tersenyum sambil menatap wajah adiknya yang menunduk tengah mengelus-elus perutnya. Tiba-tiba ponsel lelaki itu menyala, panggilan dari ibu mertuanya.
"Siapa?" tanya Mitha mendongak.
"Bunda Vania," sahut Steven sambil memberi isyarat pada Mitha bahwa dirinya akan menjawab panggilan telponnya.
Mitha pun paham, lantas ia pun menyibukkan dirinya membuka-buka ponselnya, memberi kabar kepada suaminya bahwa dirinya sedang bersama Steven dirumah sakit.
"Hallo, Bun" sapa Steven.
'Stev, kamu dimana? masih di rumah sakit?' tanya Vania diseberang sana.
"Iya Bun, ini baru akan ke sana," sahut Steven.
'Jangan! Hhmm, maksud bunda--'
"Hallo Bun, suaranya nggak jelas. Bunda dimana ini? kedengarannya bising sekali," Steven semakin menempelkan ponsel itu ke telinganya.
'Bunda dipinggir jalan depan rumah sakit, Stev.'
"Ya? dimana Bun? depan rumah sakit?"
'Iya, Bunda tunggu direstoran cepat saji depan RS ya,' teriak Vania diseberang telepon sana. Suaranya terdengar samar karena kalah dengan suara kendaraan disekitarnya.
Teleponnya pun terputus. Steven nampak kebingungan, bingung apa maksud Vania barusan. Dia mengatakan dirinya menunggu Steven di depan rumah sakit? untuk apa? bukannya mau bicara dirumah?
"Ada apa?" kata Mitha saat melihat mimik wajah kakaknya yang kelihatan bimbang.
"Bunda nunggu didepan RS. katanya bunda mau ngomong sesuatu," ucap Steven datar.
"Oh, berarti itu penting. Ya sudah, kalo gitu buruan kamu ke sana, jangan bikin ibu mertuamu menunggu lama Kak," ucap Mitha.
"Kamu dari sini langsung pulang kan?" tanya Steven malah mengkhawatirkan Mitha.
"Iya, tenang aja. Marco on the way ke sini. Tadi aku udah kirim pesan ke dia buat jemput," ucap Mitha. "Ayo!"
Steven pun bergegas membuka jas berwarna putih yang sedari tadi melekat ditubuhnya. lantas disampirkanya dilengan sebelum mereka akhirnya pergi dari ruangan tersebut.
"Nggak apa aku tinggal sendiri?" tanya Steven saat lobby rumah sakit.
"Nggak apa-apa kali. bentar lagi paling Marco datang. Sudah pergi saja sana kak!"
"Oke, kamu ati-ati ya, Mit" pamit Steven akhirnya meninggalkan Mitha di lobby rumah sakit. Ia bergegas keluar untuk menemui ibu mertuanya yang sudah menunggu.
.
"Bun," sapa Steven saat menemukan Vania ditempat makan cepat saji tersebut.
Vania tersenyum dengan kedatangan anak menantunya itu, lalu mempersilahkannya duduk.
"Bunda dari mana?" tanya Steven.
"Dari rumah."
"Lho, bukannya---"
"Bunda mau ngomong sesuatu sama kamu, Steve," potong Vania. "Rimba masih dikampus, tadi dia hubungin bunda kalo dia ada kuliah tambahan sampai jam 6 nanti," ucapnya lagi.
Steven mengernyit, 'Kok dia nggak bilang ada kuliah tambahan?' ucapnya dalam hati.
"Rimba udah cerita semuanya tentang masalah kalian kemarin. Maafin Rimba karena udah pergi ke rumah bunda semalem tanpa pamit sama kamu," ujar Vania.
Steven mengangguk, "Saya ngerti, disini memang saya yang salah," gumamnya.
"Salah kenapa? salah mengira karena disangkanya Rimba itu gadis dalam masa lalu kamu?" ujar Vania sedikit ngegas.
Steven nampak terkejut, kenapa Vania bisa mengatakan hal itu? kemarin malam Steven memang pernah mengatakan tentang gadis masa lalunya kepada Rimba, tapi ia tidak pernah mengatakan gadis itu bukan Rimba. Karena kata hati Steven masih merasa yakin kalau gadis tersebut adalah Rimba, tidak salah lagi.
"Maksud bunda apa ya?" tanya Steven masih berusaha tenang.
"Sudah kamu cari tau lagi siapa gadis yang selama ini kamu cari?" tanya Vania malah balik bertanya.
"Tunggu Bun, saya bener-bener nggak ngerti apa yang sedang bunda bicarakan," ucap Steven.
Vania nampak menghela napasnya sejenak sebelum mengatakan yang sebenarnya. "Tolong kamu berhenti mencari gadis masa lalu kamu itu Steve! Sekarang kamu sudah menikahi anak kesayangan bunda. Udah nggak pantes kamu bahas tentang masa lalu, apalagi sampai mencarinya segala. Tolong kamu hargain Rimba yang sekarang udah jadi istri kamu. Rimba memang anaknya sedikit berbeda, katakanlah sedikit cuek dan urakan. Tapi hatinya baik, dan bunda nggak rela kalau kamu sampai menyakitinya." ucapnya lirih.
"Iya bunda," sahut Steven.
"Gadis itu bukan Rimba, dia orang lain yang nggak ada hubungannya dengan Rimba, jadi berhenti membahasnya lagi didepan Rimba," ucap Vania tegas. Ia hanya ingin melindungi Rimba. Vania tidak mau Steven terus terobsesi dengan dengan janjinya dimasa lalu itu.
"Bunda tau sesuatu?" tanya Steven curiga.
Vania menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak," gumamnya.
"Apa Rimba punya kembaran?" tanya Steven memberanikan diri bertanya. Pasalnya dia memang penasaran ingin menanyakannya langsung kepada Vania, mengingat bagaimana mungkin didunia ini ada orang berwajah hampir 99% mirip seperti Rimba dan Rimiko.
"Kembaran?" Vania tertegun, "Dari mana kamu bisa berasumsi Rimba punya kembaran?" tanyanya.
"Saya melihat ada seseorang yang wajahnya sangat mirip dengan Rimba, Bun."
"Dimana itu?" tanya Vania antusias.
"Dia seorang model cukup terkenal di Paris."
"Paris?" bola mata Vania terbelalak lebar. 'Ya Tuhan, apa benar gadis itu Rimiko? Akiyo bilang Rimiko kini tinggal di Perancis dan terjun kedunia modeling. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? tapi aku tak rela, sungguh aku tidak rela bila harus kehilangan Rimba,' batinnya lirih.
"Bun? Bunda kenapa?" tanya Steven membuyarkan lamunan Vania.
Perempuan itu reflek menggeleng, "Nggak apa-apa. Ya sudah, mending sekarang kamu jemput Rimba. Bawa dia pulang ke rumahmu," pintanya.
"Bunda belum jawab inti pertanyaan saya," kata Steven masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Tante hanya melahirkan seorang Rimba, tidak ada yang lain," ucap Vania mewakili jawaban atas pertanyaan Steven yang membuatnya penasaran.
.
.
.
Tidak ada yang memberitahu betapa menyenangkannya menyadari bahwa dia mencintai ku karena aku menjadi diri sendiri. Bukan karena pernah melahirkan dirinya, tapi hanya karena aku menjadi apa adanya dan menyayanginya seperti anak sendiri.