Ibrahim, ketua geng motor, jatuh cinta pada pandangan pertama pada Ayleen, barista cantik yang telah menolongnya.
Tak peduli meski gadis itu menjauh, dia terus mendekatinya tanpa kenal menyerah, bahkan langsung berani mengajaknya menikah.
"Kenapa kamu ingin nikah muda?" tanya Ayleen.
"Karena aku ingin punya keluarga. Ingin ada yang menanyakan kabarku dan menungguku pulang setiap hari." Jawaban Ibra membuat hati Ayleen terenyuh. Semenyedihkan itukah hidup pemuda itu. Sampai dia merasa benar-benar sendiri didunia ini.
Hubungan mereka ditentang oleh keluarga Ayleen karena Ibra dianggap berandalan tanpa masa depan.
Akankah Ibra terus berjuang mendapatkan restu keluarga Ayleen, ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
"Kami pulang dulu ya Leen." Seru beberapa orang sambil melambaikan tangan kearah Ayleen yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Iya, hati-hati dijalan," sahut Ayleen sambil sejenak melepas pandangan dari ponsel lalu melihat kearah teman-temannya. Melambaikan tangan pada Hana dan Raka yang saat ini berada diambang pintu Mezra coffee and dessert.
Ayleen, gadis berusia 20 tahun itu adalah barista di Mezra kafe sekagulis putri pemiliknya. Sudah setahun ini dia menjadi barista disana. Bakat itu dia warisi dari ayahnya, Septian, yang juga merupakan seorang barista.
Ayleen melihat jam diponselnya. Sudah pukul 12 lebih 30 menit, tapi sang kakak belum juga datang untuk menjemput. 30 menit yang lalu, kakaknya memberi tahu jika ban mobilnya bocor, jadi terpaksa harus ganti ban serep dan mungkin akan terlambat sampai disana.
Hana dan Raka, 2 orang terakhir yang pulang. Dan sekarang, tinggalah dia seorang diri dikafe yang sudah tutup itu.
Brakk
Suara pintu dibuka kasar, membuat Ayleen terjingkat dan langsung melihat kearah sumber suara. Ayleen seketika berdiri dengan tubuh gemetaran melihat seorang pria dengan celana jeans dan jaket kulit hitam masuk kedalam kafe. Wajahnya tak kelihatan karena tertutup masker.
"Si-siapa kamu. Ka-kafe sudah tutup," ujar Ayleen dengan suara terputus-putus karena ketakutan.
Perkataan Ayleen tak ditanggapi oleh pria tersebut. Dia berjalan tertatih mendekat kearah Ayleen. Dari kaki pria itu, terlihat darah yang menetes hingga mengenai lantai kafe. Ayleen memegangi jantungnya yang berdetak kencang. Pria itu sangat mencurigakan, dia tak boleh diam saja.
"Pergi, pergi dari sini," usir Ayleen sambil terus mundur, menjauh dari sosok menakutkan yang makin dekat dengannya.
Tapi pria itu terus maju, tak mengihiraukan kata-kata Ayleen.
"To_ " Belum sempat Ayleen berteriak minta tolong, pria itu lebih dulu membekap mulutnya dan memegangi lengannya. "Emmmptt, emmppt." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ayleen.
"Tolong jangan teriak," ujar pria tersebut. "Aku akan melepaskanmu, asal kau janji tidak teriak." Ayleen mengangguk, saat ini, yang terpenting lepas dulu, urusan lainnya, nanti akan dia pikirkan.
Ayleen bernafas lega saat pria itu melepaskan bekapannya.
"Ka-kamu siapa? A-apa kau perampok?" tanya Ayleen dengan tubuh gemetaran dan nafas yang masih tersengal akibat bekapan tadi.
Pria itu melepaskan maskernya. Betapa terkejutnya Ayleen, saat melihat wajah pria itu. Dia adalah Ibrahim atau biasa dipanggil Ibra, kakak tingkatnya di kampus. Pria itu cukup terkenal dikampus, tak heran jika Ayleen mengenalinya. Tapi sepertinya, dia tak kenal dengan Ayleen.
Wajah Ibra tampak pucat dan berkeringat, membuat Ayleen langsung melihat kearah kakinya yang sampai saat ini, masih mengeluarkan darah. Tapi pria itu malah tampak tak peduli dengan lukanya, dia malah sibuk menatap kearah pintu. Seperti takut jika seseorang tiba-tiba muncul dari sana.
"Tolong jangan katakan pada siapapun kalau aku ada disini," pinta Ibra dengan mata yang terus mengawasi pintu.
"Ta-tapi kenapa?"
Wajah Ibra tampak makin pucat. Tangannya mencengkeram erat pinggiran meja agar tubuhnya tidak limbung.
"Ka, kaki kamu terluka. Apa perlu aku panggilkan ambulance?" Ayleen hendak mengambil ponsel didalam tas tapi Ibra menahan tangannya.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat disini malam ini." Pria itu tersenyum meski kondisinya sedang tak baik-baik saja.
"Ta-tapi darahnya terus mengalir." Ayleen kembali memperhatikan luka di kaki Ibra. Dia yang hanya melihat saja, sudah meringis, apalagi pria itu. Dia pasti sangat kesakitan.
Pikiran Ayleen mulai macam-macam. Bahkan sampai dititik terendah, yaitu pria dihadapannya kehabisan darah dan mati. Tak mau Ibra meninggal didalam kafenya, Ayleen pergi untuk mengambil kotak P3K. "Sebentar." Dia berlari menuju pantry, tempat dimana P3K disimpan.
Tak berselang lama, Ayleen kembali dengan sekotak obat dan selembar kain panjang. Dia tak menemukan perban dikotak obat, jadi dia memotong taplak meja memanjang untuk membebat luka Ibra.
"Tidak perlu diobati, cukup tutup saja lukanya dengan kain itu," ujar Ibra saat Ayleen membuka kotak obat didepannya. Saat ini, keduanya duduk dilantai karena Ibra tak sanggup lagi untuk berdiri.
Celana jeans yang dipakai Ibra koyak dibagian yang terluka. Melihat banyaknya darah disana, Ayleen menahan diri agar tidak pingsan. Dengan tangan gemetaran, dia mengikat luka dibetis Ibra. Terdengar erangan dari bibir Ibra saat Ayleen mengikat lukanya.
"Tahan sebentar," Ayleen ikut meringis.
"Terimakasih," ujar Ibra sambil menyandarkan punggung dan kepalanya kedinding.
"A-apa kau butuh sesuatu?" tanya Ayleen setelah selesai membebat kaki Ibra. Tangannya masih terlihat gemetaran karena sebelumnya, tak pernah mengobati luka yang mengeluarkan darah sebanyak ini.
Ibra membuka matanya lalu tersenyum pada Ayleen. "Apa sekarang kau sudah tak takut lagi padaku?"
"Kamu Kak Ibrahim kan?" Kening Ibra seketika mengkerut.
"Kau mengenalku?"
Ayleen mengangguk pelan. "Kita kuliah dikampus yang sama, bahkan 1 fakultas."
Ibra melongo sambil menelisik wajah Ayleen. Ada gadis secantik ini dikampus, bagaimana bisa dia tidak tahu. Ditatap sedemikian rupa oleh Ibra, membuat Ayleen gugup. Dia beranjak dari tempatnya, mengambil segelas air putih lalu memberikannya pada Ibra.
Mendengar suara mobil berhenti dihalaman, keduanya sontak menoleh kearah pintu.
"Sepertinya Abangku datang menjemput," ujar Ayleen.
"Bolehkah malam ini, aku tidur disini?" pinta Ibra.
Ayleen tak langsung menjawab. Bagaimana kalau Ibra malah mencuri saat dia pulang. Atau kalau enggak, gimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada pria itu. Kalau ada kejadian meninggal didalam kafenya, bisa-bisa berurusan dengan polisi. "Kamu bisa mengunciku didalam sini kalau takut aku akan mencuri," Ibra seperti faham apa yang ada dipikirannya.
Melihat kondisinya sekarang, sepertinya tak mungkin Ibra akan mencuri, batin Ayleen.
"Baiklah," sahut Ayleen sambil mengangguk.
"Tapi tolong, jangan katakan pada siapapun jika aku ada disini, bahkan pada Kakakmu." Seperti dihipnotis, Ayleen langsung mengangguk tanpa tanya alasanya. "Matikan lampu agar kakakmu tak melihatku." Lagi-lagi, Ayleen mengiyakan permintaan pria itu. Dia bangkit lalu mematikan lampu, menghampiri kakaknya yang masih baru masuk.
"Maaf ya, kamu jadi nunggu lama," ujar Aidin saat Ayleen mencium tangannya. "Bannya bocor."
"Iya, gak papa Bang."
"Ya udah ayo pulang."
Ayleen mengangguk lalu mengikuti langkah kakaknya keluar dari kafe. Saat hendak melewati pintu, dia menoleh sebentar kearah dimana Ibra berada. Setelah itu keluar dan mengunci pintu.
"Tunggu-tunggu, apa ini?" Aidin melihat tetesan darah dilantai teras. Disana lebih terang daripada didalam yang lampu utamanya sudah dimatikan. "Ini kayak darah," Aidin hendak menunduk untuk memastikan, tapi Ayleen lebih dulu menarik lengannya.
"Mung-mungkin darah kucing yang terluka atau apa. Udahlah Bang, pulang yuk," rengeknya. "Aku udah ngantuk banget." Sesuai janjinya pada Ibra, dia tak memberitahu siapapun tentang keberadaannya.
"Ya sudah ayo." Ayleen bernafas lega lalu mengikuti kakaknya menuju mobil.
Sementara didalam, Ibra lega saat mendengar suara mobil yang menjauh. Itu pasti mobil kakak dari gadis tadi. Astaga, Ibra baru ingat jika tadi tak bertanya siapa namanya.
Sudahlah, mungkin besok dia bisa bertanya. Saat ini, dia ingin istirahat. Dia merasa beruntung karena malam ini lepas dari kejaran polisi. Dia tak tahu darimama polisi dapat info jika dilokasi yang kerap dijadikan ajang balap liar, ada praktek jual beli narkoba. Dan luka dikakinya, diakibatkan oleh tembakan polisi. Untung peluru itu tak menancap tepat dibetisnya. Melenceng dan hanya melukai sedikit betisnya. Meski peluru itu hanya menggores betisnya, tetap saja rasanya sakit dan mengeluarkan banyak darah.