Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
“Opa! Oma!” seru Axel tiba-tiba sambil berlari ke arah Papa Indera dan Mama Vany.
Kedua orang tua itu tertawa lebar. Papa Indera langsung mengangkat cucunya tinggi-tinggi dan menciumi pipinya dengan penuh kasih. Mama Vany ikut memeluk dari samping, menatap wajah cucunya dengan mata berbinar.
Pemandangan itu seperti pukulan telak bagi Vandra. Dulu, saat Vero kecil, momen seperti itu menjadi miliknya. Ia yang menggendong, ia yang tertawa bersama putranya.
Namun, Axel tidak pernah diperlakukan seperti itu olehnya. Terlebih lagi, dia keburu bercerai dengan Alya, sehingga tidak ada kenangan indah bersama putra bungsunya.
Kini hanya tinggal penyesalan. Dada Vandra terasa nyeri. Bukan hanya karena rindu, tetapi juga karena kesadarannya sendiri, bahwa semua ini adalah akibat dari pilihannya di masa lalu.
Maria dan Rianti saling bertukar pandang. Sorot mata mereka berbicara banyak tanpa kata. Mereka bisa melihat betapa hancurnya perasaan Vandra hanya dari tatapan kosong yang ia arahkan pada keluarga kecil yang dulu ia miliki.
“Semua ini terjadi karena kesalahan dia sendiri,” bisik Maria kepada Rianti, senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Terkadang karma datang dalam bentuk yang paling menyakitkan,” lanjutnya lagi.
Rianti menunduk sedikit, tidak menimpali. Ia tahu Maria benar, tapi hatinya juga tak sepenuhnya tega melihat pria yang dulu begitu sombong kini tampak rapuh di hadapan semua orang.
Perlombaan renang dimulai. Sorak penonton menggema. Vero melesat di lintasan air, gerakannya kuat dan teratur. Semua mata tertuju padanya. Dan seperti dugaan banyak orang, ia kembali menjadi juara pertama.
Vandra berdiri di pinggir tribun, memegang kamera kecil. Wajahnya penuh semangat, meski di balik senyum itu tersimpan getir.
“Selamat, Kak Vero!” seru Vandra dengan bangga.
Vero menoleh, lalu melambaikan tangan ke arah ayahnya. Lalu setelah itu, tangannya kembali melambai, kali ini ke arah lain.
Alya menoleh mengikuti arah pandangan Vero, dan di sanalah ia melihat Albiruni dan Ali sedang berdiri, ikut bersorak gembira. Senyum Alya menegang sesaat, lalu berusaha tetap terlihat tenang. Namun dalam dadanya, jantung berdetak tak karuan.
Sementara itu, Vandra memperhatikan dari jauh. Ada kilatan cemburu yang tak bisa ia sembunyikan, meski bibirnya masih terukir senyum pura-pura.
Setelah lomba usai, mereka semua berkumpul di restoran milik Pak Lukman. Suasananya hangat, penuh tawa. Makanan lezat memenuhi meja panjang, anak-anak saling bercanda, dan orang dewasa berbincang ringan.
Namun, kebahagiaan itu pecah dalam sekejap ketika suara kecil Axel memecah keheningan.
“Papa tium Buna!” seru bocah itu lantang sambil menunjuk Alya dan Albiruni.
Beberapa orang terbatuk, bahkan ada yang hampir tersedak air minum. Semua mata kini tertuju pada Alya yang tiba-tiba mematung. Wajahnya memerah, matanya membesar menatap Axel yang masih tersenyum polos tanpa tahu makna dari kalimat yang baru saja ia lontarkan.
Vandra menatap Alya dengan wajah tegang, matanya menelusuri reaksi setiap orang di meja itu. Albiruni pun tampak kaku, menunduk, sementara suasana yang tadinya hangat kini berubah menjadi penuh tekanan yang nyaris membeku.
Alya menggigit bibir, menelan ludah dengan susah payah. Di benaknya, kejadian beberapa minggu lalu berputar cepat. Sesuatu yang tak seharusnya dibicarakan di hadapan banyak orang.
Kini, semua orang menunggu penjelasan.
Alya tahu, apa pun yang akan ia katakan, tak akan mudah.
Suasana restoran yang semula hangat berubah menjadi tegang. Piring-piring masih penuh, gelas-gelas berembun di atas meja, tapi percakapan yang tadinya riuh kini hanya menyisakan keheningan yang menekan.
Semua mata tertuju pada Albiruni yang duduk di seberang Alya. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya menunjukkan ketegasan. Ia menarik napas perlahan sebelum berbicara, mencoba mengurai suasana yang sudah terasa salah arah.
“Itu bukan ciuman,” ucap Albiruni akhirnya, suaranya dalam dan mantap. “Itu napas buatan. Alya dan Axel jatuh ke kolam renang waktu itu. Aku hanya menolong mereka.”
Beberapa orang mengangguk perlahan, meski atmosfer canggung masih menggantung di udara. Vandra, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, menatap tajam ke arah Alya, lalu ke arah Albiruni. Di matanya ada campuran rasa tidak percaya, cemburu, dan gengsi yang terluka.
“Bukannya kamu bisa berenang?” tanya Vandra pada Alya dengan nada suaranya tajam namun ditahan.
Alya menunduk sesaat, lalu menjawab dengan tenang meski jantungnya berdegup keras. “Kedua kakiku tiba-tiba kram, Mas.”
Jawaban itu membuat Vandra tak bisa berkata-kata. Dalam logikanya, hal itu masuk akal. Namun di sisi lain, emosinya menolak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terus berbisik bahwa Alya sengaja mendekatkan diri dengan Albiruni. Rasanya tidak suka dan tidak rela, apalagi di depan banyak orang.
Suasana makin kaku hingga Vero bersuara, mencoba mencairkan suasana.
“Papa Biru, terima kasih, ya! Selalu ngajarin aku berenang. Alhamdulillah, jadi juara satu,” ucapnya polos dengan wajah sumringah.
Ucapan itu seperti menampar Vandra secara halus. Senyum di bibirnya menghilang. Ia menatap anak sulungnya dengan tatapan kosong, lalu menunduk perlahan. Hatinya terasa nyeri. Ia yang dulu sering mengajari Vero bermain air di kolam kecil belakang rumah, kini hanya jadi penonton dalam kehidupan anaknya sendiri.
Alya yang sedang meneguk minuman diam-diam melirik Vandra. Tatapan matanya lembut, tapi di balik itu ada nada getir yang menuntut.
“Jangan salahkan Vero,” ucapnya lirih, “kamu sendiri yang tidak perhatian sama anak-anakmu.”
Kata-kata itu menembus dada Vandra seperti pisau. Ia tahu Alya tidak sedang berusaha mempermalukannya, namun ucapan itu terlalu jujur untuk dihindari. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam di atas meja, merasakan perih yang ia ciptakan sendiri.
Papa Indera menghela napas panjang, lalu bersuara dengan nada lembut namun tegas. “Setidaknya, luangkan waktu di hari Minggu untuk berkumpul bersama anak-anak. Lihat kami berdua, setiap minggu selalu menyempatkan waktu untuk mereka.”
Mama Vany menimpali dengan tatapan yang penuh kasih sayang tapi juga kecewa. “Sebegitu sibuknya, kah, dirimu? Sampai tidak ada waktu sebentar saja untuk anak-anak, Nak?”
Vandra mengangkat wajahnya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan mata yang mulai berkaca. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan. Karena di lubuk hatinya, ia tahu semua itu benar. Ia terlalu sibuk menyalahkan hidup, hingga lupa memperbaiki diri.
Vero menunduk, pipinya memerah. Ia tidak bermaksud membuat ayahnya terlihat buruk. Ia hanya ingin jujur, tapi kini ia merasa bersalah. Tangannya yang kecil menggenggam erat lengan Alya.
“Tidak apa-apa,” bisik Alya lembut, mengusap kepala putra sulungnya. Ia tahu anaknya tidak bermaksud jahat.
Alya lalu menatap Vandra, suaranya tenang namun berwibawa. “Dari dulu aku tidak pernah melarang Mas Vandra untuk menemui anak-anak. Mau mengajak mereka bermain, jalan-jalan, atau bahkan liburan, aku tidak pernah keberatan. Asal Mas Vandra bertanggung jawab penuh selama mereka bersama.”
Semua mata kini tertuju pada Vandra. Kalimat itu sederhana, tapi maknanya dalam, sebuah pengingat bahwa kesempatan bahagia bersama anak-anaknya masih terbuka, hanya saja Vandra harus berani memintanya.
Hening sesaat. Hanya terdengar suara sendok jatuh pelan di meja.
Tiba-tiba suara kecil memecah keheningan itu.
“Adik sayang Papa!” seru Axel dengan polos, matanya berbinar sambil menatap Albiruni.
Semua orang terdiam. Alya menatap anaknya, sementara Mama Vany spontan menutup mulut. Papa Indera mengusap punggung cucunya dengan lembut sekaligus sedih.
Di antara semua itu, Vandra menatap Axel dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, dadanya sesak oleh emosi yang menumpuk. Seketika semua rasa bersalah, penyesalan, dan kerinduan yang selama ini ia pendam meledak dalam satu tatapan kecil penuh cinta itu.
Dia menunduk, lalu tersenyum getir. “Apa adik juga sayang sama ayah?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Alya menunduk menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Dalam hati mereka masing-masing tahu luka lama memang belum sembuh, tetapi kata sederhana dari seorang anak bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru.