Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. hukuman itu belum cukup.
Kabar perusahaan Pramudya yang oleng membuat Barra tak tinggal diam. Malam itu, ia duduk di ruang kerjanya dengan wajah keras, telepon genggamnya terus berdering. Beberapa investor dia hubungi, beberapa janji dia susun. Barra tahu satu langkah saja bisa menyelamatkan atau menjatuhkan seluruh usaha yang ia bangun setelah kembali. Namun di tengah kepanikan itu, kabar lain masuk, tentang Miska dan Tuti yang nekat membawa Raka keluar rumah hingga bocah itu terluka.
Barra terdiam, matanya menyipit. “Mereka sudah melampaui batas,” gumamnya lirih, lalu menekan tombol panggilan, mengatur strategi baru. Jika Taka mengibarkan perang, Barra pun takkan tinggal diam.
Di sisi lain, kediaman Wijaya digemparkan dengan kedatangan polisi. Dua mobil patroli berhenti di depan halaman besar. Sirinenya meraung sebentar, lalu padam. Petugas turun dengan wajah serius, membawa surat perintah yang sudah ditandatangani.
Taka berdiri di depan, sikapnya tegas. “Tangkap mereka berdua, Miska Wijaya dan Tuti.”
Miska yang masih berdandan rapi di sofa sontak melompat panik. “Apa?! Kalian tidak bisa seenaknya begitu! Aku cucu keluarga Wijaya! Aku tidak bersalah!” teriaknya sambil meronta.
Tuti lebih kalap lagi, dia berlari ke arah Haris, meraih lengannya dengan air mata. “Mas, tolong aku! Katakan sesuatu! Jangan biarkan mereka bawa aku pergi! Aku istrimu!”
Namun Haris hanya berdiri terpaku. Wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Untuk pertama kali, tak ada pembelaan keluar dari mulutnya. Seolah tamparan kenyataan menghantam dirinya, kebusukan yang selama ini ditutupi kini terkuak terang.
“Mas Haris!” Tuti berteriak, hampir histeris. “Kau harus selamatkan aku! Katakan pada mereka kalau aku tidak bersalah!”
Tapi Haris hanya menggeleng pelan, menundukkan kepala. “Aku … tidak bisa,” jawabnya lemah.
“Tidak bisa?! Kau suamiku!” Tuti meraung, suaranya pecah.
Di tangga atas, Kakek Haryanto berdiri dengan tongkat, wajahnya dingin tanpa ampun. “Biarkan hukum yang bicara. Aku tidak peduli lagi. Semua kebusukan kalian cukup sampai di sini.”
Ucapan itu seperti palu terakhir yang memecahkan semua. Miska menangis keras, meronta saat kedua polisi menggiringnya keluar. Tuti pun dipaksa bangkit, meski ia terus menjerit memanggil nama Haris yang tak beranjak. Di tengah hiruk pikuk itu, Aluna melangkah maju. Wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam, penuh bara. Dia mendekat pada Tuti yang sudah dirantai borgol.
Tuti menatapnya dengan mata bengkak. “Aluna … tolong aku … aku hanya...”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Tuti, membuatnya tersentak kaku. Ruang itu terdiam sejenak. Semua mata tertuju pada Aluna.
Dengan suara serak tapi mantap, Aluna berkata, “Tamparan ini … untuk ibuku yang sudah tiada. Kau yang selalu merendahkannya, menghancurkannya, dan sekarang hampir membunuh anakku.”
Air mata Aluna jatuh, tapi suaranya tetap dingin. “Ingat wajahku, Tuti. Ingat tamparan ini. Karena mulai hari ini, aku takkan biarkan kau lagi merenggut apa pun dari hidupku.”
Tuti terisak, wajahnya hancur bukan hanya karena tamparan, tapi juga karena harga dirinya diremukkan di depan semua orang. Polisi menariknya pergi, sementara Miska meraung marah, menatap Aluna penuh dendam. Namun Aluna berdiri tegak, dengan Taka di sisinya, tatapan mereka sama-sama keras. Malam itu, untuk pertama kalinya, kebenaran mulai berpihak pada mereka.
Di kantor polisi, malam itu ruang interogasi terasa pengap. Lampu neon yang terlalu terang menyilaukan mata, membuat wajah Miska yang biasanya angkuh kini terlihat pucat dan berantakan. Tuti duduk di sampingnya, rambut kusut, matanya bengkak karena tangis.
“Ini tidak adil! Kalian tidak bisa menahan kami seperti ini!” teriak Miska, menghentakkan tangannya yang terikat borgol ke meja. “Aku cucu keluarga Wijaya! Kalian tahu siapa kakekku?!”
Petugas di depannya hanya menatap dengan datar. “Kami hanya jalankan tugas, Nona Miska. Ada laporan resmi, ada bukti jelas. Kalian membawa anak di bawah umur tanpa izin ibunya hingga nyaris kehilangan nyawa. Itu penculikan dan kelalaian berat.”
Tuti menoleh cepat, wajahnya semakin panik. “Tidak! Itu salah paham! Aku hanya … aku hanya ingin membawa cucuku itu jalan-jalan sebentar. Aku neneknya!” suaranya memelas, nyaris meratap.
Namun petugas lain meletakkan map bukti di meja. “Sayangnya, semua keterangan saksi berbeda. Raka sendiri bilang kalau dia dibawa paksa. Dan fakta bahwa kalian meninggalkannya di jalan setelah kecelakaan … itu memperberat kasus.”
Wajah Tuti memucat seketika, tubuhnya bergetar. “Tidak … aku … aku hanya takut … aku panik…”
Miska menggertakkan gigi, menoleh pada Tuti dengan tatapan membunuh. “Ini semua salahmu! Kalau saja kau tidak menyeretku ikut-ikutan, aku tidak akan duduk di sini!”
Tuti menoleh, matanya melebar. “Apa? Kau juga ikut menekan aku! Kau yang bilang harus segera jauhkan Raka dari rumah itu! Jangan salahkan aku sendiri, Miska!”
Pertengkaran mereka pecah di ruang interogasi. Polisi saling berpandangan, beberapa menahan tawa miris. Dua perempuan yang tadi begitu angkuh kini saling menjatuhkan, masing-masing berusaha menyelamatkan diri. Tiba-tiba pintu ruang interogasi terbuka. Seorang pengacara masuk, wajahnya kaku. Ia menatap Miska dan Tuti bergantian.
“Kalian berdua … dalam masalah besar. Tuan Haris tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Kakek Haryanto menolak turun tangan. Jadi, mulai sekarang, diamlah. Jangan tambah parah dengan saling menyalahkan.”
Miska memukul meja dengan keras. “Tidak mungkin! Kakek pasti tidak akan membiarkan aku dipermalukan seperti ini! Dia tidak mungkin menyerahkan cucunya ke tangan orang luar!”
Pengacara itu mendesah berat, lalu berkata lirih, “Nona Miska … justru Tuan Haryanto sendiri yang menandatangani surat persetujuan penahanan kalian. Jika dia sudah turun tangan, tidak ada seorang pun yang bisa menolong.”
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Miska menjerit marah, kursi yang didudukinya hampir terbalik. Tuti terkulai lemas, menangis tanpa suara. Di luar ruang interogasi, berita penangkapan mereka mulai tersebar. Media mulai memburu, menyoroti keluarga Wijaya. Nama Miska dan Tuti mendadak jadi bahan cibiran. Dan di kejauhan, Aluna melihat semua itu dari balik kaca jendela kantor polisi. Tatapannya dingin, puas, tapi juga penuh luka.
Malam itu, jeruji besi penjara wanita menutup dengan suara berderit yang dingin. Miska masuk dengan wajah menegang, dagunya terangkat seolah ia masih ingin menunjukkan harga dirinya. Tuti di belakangnya, wajahnya sudah hancur, matanya sembab dan tubuhnya gemetar.
“Masuk sana!” suara sipir membentak, mendorong keduanya ke dalam sel.
Ruangan itu sempit, bau lembap dan apek menusuk hidung. Di dalam, sudah ada beberapa tahanan lain yang langsung menoleh dengan tatapan tajam. Seorang perempuan berambut pendek dengan tato di lengannya menyeringai sinis.
“Lihat siapa yang datang … anak orang kaya,” ucapnya, suaranya serak dan berat. Ia bangkit dari pojokan, melangkah pelan mendekati Miska. “Katanya kau cucu bangsawan? Hm?”
Miska menelan ludah, mencoba menegakkan bahunya. “Aku tidak sama dengan kalian. Ini hanya salah paham. Besok aku akan keluar dari sini.”
Para tahanan lain tertawa keras, tawa mereka penuh ejekan. “Besok keluar katanya … semua yang masuk sini juga bilang begitu,” kata yang lain sambil menepuk-nepuk jeruji besi.
Tuti meraih tangan Miska dengan panik. “Miska … jangan bicara sembarangan … kita harus diam saja…” bisiknya ketakutan.
Tapi Miska menepis kasar, menatap ibunya dengan penuh benci. “Ini semua salahmu! Kalau bukan karena kebodohanmu, aku tidak akan berada di sini!”
Perempuan bertato itu tertawa lebih keras. “Wah … ibu dan anak kok ribut sendiri. Bagus … akan seru tinggal dengan kalian.”
Ia mendekat lebih dekat ke Miska, menepuk pipinya keras. “Ingat, di sini, uangmu nggak berlaku. Kalau kau mau bertahan, kau harus tunduk.”
Miska terbelalak, wajahnya merah karena malu dan marah. Tuti mencoba melindungi anaknya, berdiri di depan Miska, tapi justru tubuhnya didorong hingga jatuh tersungkur.
“Minggir kau, nenek tua!” bentak seorang tahanan lain. Suasana sel mendadak kacau. Miska berteriak, Tuti menangis, para tahanan menertawakan mereka. Di luar sel, sipir hanya melirik sebentar lalu kembali duduk, tidak ada yang peduli.
'Aluna, kalau aku sampai bebas! Aku akan membalaskan penghinaan ini lebih dari sebelumnya! Kau akan bersama dengan ibumu di Neraka!' raung Miska pada malam yang menyedihkan itu.
penyesalan memang dtang belakangan kalau didepan namanya pendaftaran🤣🤣🤣
Kamu sdh sadar kesalahanmu,maka kamu jga berhak bahagia Bara, bkn dngn Aluna tapi dngn orng lain,,,,
Dan andaikata Aluna menerima permintaan Taka supaya dia kembali lgi sm Barra ,"Yaaa,,,Terrlaaaluuu!!,,,,kasian Taka donk!! 😭😭
Skrng stlh 6thn mantan istrinya di Ratukan oleh Taka,dan anaknya sendiri tidak memanggil dia Ayahnya,dan lbih menganggap Taka Ayahnya,,,,,,puas apa puas readers??? Puas bngt laaahh 🤗🤗🤗