NovelToon NovelToon
Aku Sudah Memaafkan

Aku Sudah Memaafkan

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / cintamanis / Hamil di luar nikah / Kehidupan di Sekolah/Kampus / trauma masa lalu
Popularitas:1.8M
Nilai: 5
Nama Author: yu aotian

"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."


Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.

Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.


Adaptasi dari cerpen Aku Sudah Memaafkan, ©2022, Yu Aotian

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 : Setelah Kejadian Itu

Aku memandang diriku di depan cermin. Umurku baru akan menginjak sembilan belas tahun, tetapi hari ini aku sudah melepas status gadisku. Apakah ada yang berubah dari wajahku? Kurasa tidak! Tunggu, sebuah tanda merah kebiruan terlihat jelas di leherku. Tanda yang ditinggalkan kak Evan itu, menjadi bukti percintaan yang kami lakukan semalam. Aku lantas memasang plester untuk menutupi jejak kemerahan itu.

Aku bersiap pergi ke kampus. Saat keluar kamar, kulihat perempuan di sebelah kamarku sedang bersandar sambil merokok. Dia tersenyum padaku sambil mendekat.

"Cowok yang pagi-pagi sekali keluar dari kamar lo itu pacar lo, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.

Aku mengangguk pelan. Rasa malu menghinggapi diriku karena dia mungkin mengetahui apa yang kami lakukan semalam.

"Cakep banget, gila! Motornya juga keren abis. Nemu di mana, sih, cowok keren gitu? Padahal lo kelihatan pendiam banget." Dia menggandeng tanganku seolah kami akrab.

Perempuan ini tidak pernah menyapaku sebelumnya, bahkan selalu menatapku dengan sinis. Namun sekarang, dia malah berlagak akrab denganku. Dia tak malu memintaku mengenalkannya pada lelaki setipe kak Evan. Benar-benar tipe manusia yang memuakkan! Inilah yang membuatku tak ingin mengekspos hubunganku dan kak Evan di kampus. Apalagi jika sampai diketahui teman-teman jurusan.

Telah berada di kampus, kini aku beringsut pelan menuju gedung fakultasku. Saat aku masih sekolah, ada mitos yang beredar jika ingin mengetahui perempuan yang sudah tak perawan, maka amatilah cara berjalannya. Konon katanya, perempuan yang sudah tidak perawan, jalannya akan terlihat sedikit terkangkang. Karena itulah, terkadang para laki-laki di kelasku senang memerhatikan cara berjalan para perempuan yang melintas, hanya untuk menebak-nebak keperawanan.

Meski aku tahu secara kedokteran itu terbukti tak benar, tetap saja aku tergiring mitos tersebut. Aku khawatir, ada yang berubah dengan cara berjalanku pagi ini. Maka dari itu, aku berusaha mengatur langkahku agar tak terlihat seperti itu.

"Gurita!" Suara teriakan Arai mendadak terdengar.

Aku mengerutkan dahi dengan kesal saat Arai memanggilku. Berpura-pura tak dengar, aku terus berjalan dengan kaki yang merapat.

"Gurita! Gurita!" Arai terus memanggil sambil berlari menghampiriku. "Hei, kenapa dengan kakimu? Kok jadi aneh gitu jalan kau!" tanyanya sambil memerhatikan cara berjalanku yang kaku.

Napasku tertahan seketika, meski begitu aku berusaha menampilkan raut yang biasa-biasa saja.

"Ja–jadi aneh gimana maksudnya?"

"Hhmm ...."

Arai malah semakin mencermati gaya berjalanku dan itu semakin membuatku khawatir. Apakah mitos tersebut benar adanya?

"Kayak pinguin!" celetuknya sambil ikut mempraktekan gaya berjalan pinguin.

Aku bernapas lega sambil tertawa. Namun, sedetik kemudian dia langsung menunjuk ke arah leherku, tepatnya pada sebuah plester yang kupakai menutupi cumbuan kak Evan.

"Kenapa dengan leher kau?"

Dengan gugup, aku berkata, "Ini ... cuma luka."

"Luka apa?"

"Lu–luka gigitan," jawabku asal-asalan.

"Hah? Gigitan apa?" tanyanya khawatir.

"Gigitan ... kucing!" jawabku spontan.

"Apa? Kucing? Kucing peranakan vampirkah? Barusan kudengar ada kucing gigit leher orang! Ndak bisa dibiarkan! Kau harus periksa ke rumah sakit sekarang. Jangan sampai kucing yang gigit kau tuh rabies! Ingat rabies itu salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Ayo, kita ke rumah sakit buat suntik rabies!" Dia menarik tanganku untuk ikut bersamanya.

"Dia enggak rabies!" tandasku sambil melepas pegangan tangannya.

"Dia?" Arai menurunkan alisnya.

"Maksud aku ... kucing yang di kosku. Dia enggak rabies." Bicaraku semakin tak karuan.

Arai tampak tercenung sebentar. "Oh," sahutnya pendek dengan mulut yang membentuk lingkaran.

Aku dan Arai bersama-sama menuju kelas. Sepanjang jalan, aku berusaha menjaga jarak dengan Arai. Tak bisa kutampik, setelah kejadian semalam, ada perasaan hina, bersalah, hingga takut yang mengepul dalam diriku. Di saat aku berusaha menjaga jarak, Arai justru terus berdempet ke sisiku.

"Semalam Abang Evan ndak pulang ke rumahnya. Padahal sebelumnya dia bilang mau tidur di kamarku," kata Arai.

"Dia gak ada di kosku!" imbuhku cepat.

Arai ternganga. "Perasaan aku juga ndak bilang dia ada di kos kau."

Aku menunduk seraya menenangkan diriku sendiri. Kenapa aku jadi panik seperti ini?

***

Seperti biasa, setelah mata kuliah berakhir, aku menjadi orang terakhir yang keluar dari kelas. Bertepatan dengan itu, aku melihat kak Evan baru saja keluar dari ruang praktikum yang berada di samping kelasku. Lelaki yang memakai jas snelli itu tengah asyik mengobrol dengan beberapa mahasiswa angkatanku yang beda kelas. Tampaknya, dia menjadi asisten dosen di kelas itu.

Dia berjalan ke depan bersama para perempuan yang sibuk tebar pesona dengannya. Setelah membiarkannya pergi, aku lantas berjalan lambat seorang diri menyusuri koridor yang baru saja ia lewati. Tiba-tiba, tanganku tertarik oleh seseorang yang membawaku ke sudut tangga.

"Kak Evan?" Aku terkesiap karena ternyata kak Evan melihatku.

"Mana Arai?" tanyanya sambil memegang bahuku.

"Dia lagi sibuk dengan organisasi barunya."

"Mau temani aku makan?"

"Hum ...." Aku mengangguk karena tahu itu cara dia mengajakku makan bersama.

"Aku tunggu di parkiran, ya?"

Kami langsung berpisah ke jalur yang berbeda untuk menuju tempat parkiran motornya. Aku melangkah kaki dengan cepat karena tak sabar bertemu dengannya lagi. Sesampainya di sana, ternyata dia lebih dulu tiba. Senyum kami pun terurai secara spontan. Beginilah cara kami bersama dengan memanfaatkan waktu di sela-sela kesibukan sebagai mahasiswa kedokteran.

Selang tiga hari kemudian, kak Evan benar-benar mencarikan kos baru yang lebih luas untukku. Ia dan Arai bergotong royong membantu kepindahanku. Kos baru yang sudah kak Evan bayarkan selama setahun, jaraknya juga masih dekat dengan kos sebelumnya, tetapi lebih luas dan sudah memiliki fasilitas seperti spring bed, penanak nasi, kulkas mini, hingga pendingin ruangan/AC. Juga memiliki toilet sendiri.

"Gimana perasaan kau? Kau pasti senang pindah ke tempat yang bagus. Enggak bakal ada lagi kucing rabies yang gigit leher kau," celetuk Arai setelah membantuku membereskan barang-barang.

"Siapa yang rabies?" tanya kak Evan dengan cepat.

"Kau ndak tahu tiga hari yang lalu pacarmu digigit kucing di lehernya?"

Aku berusaha menutup mulut Arai, tapi percuma ... cerocosnya sudah lebih dulu keluar.

Aku dan kak Evan sempat terdiam sambil saling memandang selama beberapa detik.

"Arai, tolong belikan cemilan yang bisa kita makan sekarang!" pinta kak Evan sambil melempar kunci motornya.

"Mau beli apa?" tanya Arai.

Kak Evan menoleh ke arahku. "Kamu pengen makan apa?"

Aku menggeleng. Arai lantas menghampiriku dengan cepat.

"Hei, ndak usah malu-malu. Langsung aja bilang pengen pizza, donat, burger!"

"Kalo begitu, beli semua yang kamu sebutin!" ucap kak Evan sambil tertawa.

Begitu Arai pergi, aku buru-buru mengambil stok bahan makanan yang dibeli, lalu menyalin beras ke wadah yang terletak di atas meja dapur. Kak Evan mendekat, memosisikan berdiri di sampingku lalu bersandar di meja itu sambil bersedekap.

"Aku baru tahu kalo aku dijuluki kucing rabies sama pacarku sendiri," ketusnya dengan wajah merajuk.

"A ... itu ... itu ... karena ...."

Aku kelabakan menjawab karena takut kak Evan tersinggung. Namun, senyum di bibirnya langsung mengembang diiringi tawa halus.

"Tapi kamu senang digigit sama kucing rabies, kan?" ucap kak Evan sambil melempar senyum menggoda.

Aku tertunduk dengan wajah merona. Sebenarnya kami belum membahas atau menyinggung kejadian malam itu. Hubungan kami pun masih berjalan normal seperti biasa. Dia lalu memutar tubuhku menghadap ke arahnya hingga posisiku tersandar di meja.

"Mau digigit lagi, enggak?" tanyanya dengan sudut bibir terangkat.

Ia memiringkan kepalanya, seraya memajukan wajahnya ke wajahku. Di saat yang sama, pintu kos terbuka seketika diiringi dengan masuknya Arai kembali. Aku dan kak Evan lantas terkejut dan menjauh secara refleks.

"Aku lupa minta uang. Bagaimana bisa membeli kalo uangnya ndak ada!" protes Arai.

Kak Evan langsung mengambil dompetnya dan menyerahkan pada Arai.

"Oke, aku pergi dulu!"

Arai kembali menutup pintu. Begitu dia pergi, aku dan kak Evan saling melirik. Kak Evan membungkuk, menempatkan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan pada meja yang kupakai bersandar. Wajahnya kembali maju ke arahku, sengaja mempertemukan hidung kami. Saat kedua tangannya meraih pinggangku, kenop pintu kembali terbuka secara tiba-tiba. Lagi-lagi Arai masuk melenggang dengan santai. Sementara kami kembali berlagak tak acuh sambil pura-pura sibuk.

"Aku lupa mengambil helm! Nanti yang ada aku dikasih surat cinta sama polantas."

Begitu Arai pergi, kami sama-sama menghela napas seraya saling memandang. Ka Evan kembali mendekat ke arahku. Tiba-tiba Arai kembali membuka pintu dan memunculkan setengah kepalanya.

"Ngomong-ngomong, di mana aku harus beli semua ini? Aku kan belum terlalu kuasai jalan Jakarta!" ucapnya menyengir.

Kak Evan mendengkus dengan kepala mendongak. "Kenapa juga aku nyuruh kamu!" ketusnya kesal.

Aku hanya bisa tersenyum melihat kak Evan yang menghampiri Arai dan langsung menjepit kepalanya di sela ketiak lalu membawanya keluar.

.

.

.

Like dan komeng

1
Pipit Sandra
huhuhuhugu
Pipit Sandra
saya syuka...ga bkalan aku skip tor
amy ria
salah paham lagi pasti si gurita....
👣Sandaria🦋
orang introvert itu sebenarnya cerewet di dalam hati😅
Naftali Hanania
eng ing eng......😁😁😚😚😁😁
Shepty Ani
wkwkkwk cemburu dia nggak tau aj felix cwe wkwk
Bundanya Pandu Pharamadina
jangan² Arai belitung kerjasama di Laboratorium Evan
Rezfi Wulida
nah kaget kan HP nya dering terus😁,keciduk lah kau van😵
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
emang kang bikin onar sih kau Dion
makanya evanuan dan para readers auto nuduh kau yang jadi penyebabnya🤣
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
apa yang ditemukan oleh dokter Takeda?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
nah kan nah kan sudah kuduga tebakan para readers akalan salah makanya gak ikutan nyalahin Dion
ternyata emang bukan perbuatan Dion
hmmm masih belum fiks sih
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
cinta emang bisa bikin penderitanya sedikit gila dan bertingkah aneh tanpa sadar🤣
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
wah wah wah seolah menjadi penyemangat ya buat mu
fighting!!! semoga masalahnya cepat teratasi
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
seolah menjadi penyemangat dalam menyelesaikan masalah ini ya evanuan
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
wah banyak juga ya fase yang kudu dilewatkan demi melegalkan obat buat baby AraI
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
awas ingkar janji lagi dan bikin baby AraI kecewa 😌
shee
Luar biasa
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
serius nih baby AraI ketiduran?atau pura pura biar tak menunjukkan kekecewaan didepan evanuan?
👣Sandaria🦋
kok aku langsung kebayang Sule ya Om?🤔😂
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅
belum tidur karena masih berharap kalau evanuan bakalan datang menepati janjinya ya walaupun sangat terlambat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!