KETOS ALAY yang sedang mengincar murid baru disekolahnya, namu sitaf pria itu sangat dingin dan cuek, namun apakah dengan kealayannya dia bisa mendapatkan cinta Pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 32
Hanifa sangat bersyukur bisa bertemu dengan sosok ibu yang luar biasa seperti Mama Sarah. Wanita itu, dengan segala kasih sayangnya, begitu peduli kepadanya, sebuah perhatian yang tak pernah terbayangkan Hanifa akan ia terima dari seseorang di luar lingkaran keluarganya sendiri.
Awalnya, sakit yang dialami Hanifa hanyalah pusing biasa yang kerap datang dan pergi. Ia pun tak ambil pusing, langsung membeli obat pereda sakit kepala di apotek milik Sarah, yang ternyata tak lain adalah Mama Sarah. Namun, Mama Sarah, dengan nalurinya yang tajam sebagai seorang profesional kesehatan dan juga seorang ibu, menyadari bahwa penyakit Hanifa bukan sekadar pusing biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sorot mata dan pucatnya wajah gadis itu. Saking sayangnya, tanpa ragu, Mama Sarah langsung memeriksa Hanifa dengan cermat di apoteknya yang sederhana itu. Ia bertanya tentang gejala lain, memeriksa denyut nadi, dan mengamati setiap detail. Dan ternyata dugaannya benar; gadis itu terdiagnosis kanker stadium satu.
Meski berita itu bagai sambaran petir di siang bolong, ada secercah harapan. Stadium satu memang masih tergolong mudah diobati dan memiliki peluang kesembuhan yang sangat tinggi. Namun, Mama Sarah tak mau mengambil risiko sekecil apa pun. Dengan tekad bulat, ia tetap bersikeras agar Hanifa berobat ke luar negeri, mencari penanganan terbaik yang ada. Mama Sarah memiliki kenalan, seorang dokter spesialis kanker terkemuka yang diyakini mampu menyembuhkan penyakit mematikan itu. Dengan penuh kasih sayang dan tanpa pamrih, Hanifa dibawa ke sana. Mama Sarah tidak hanya ingin Hanifa sembuh secara fisik, tetapi ia juga harus memastikan bahwa setiap sel kanker itu benar-benar musnah dari tubuh Hanifa, agar tidak ada lagi kekhawatiran di masa depan.
Baru satu hari menjalani terapi intensif, Hanifa sudah merasa ada perubahan signifikan. Tubuhnya terasa lebih baik, sedikit ringan di kepala, dan kelelahan yang biasa ia rasakan mulai berkurang. Namun, rasa bosan mulai menyelimuti, mendekam di kamar rumah sakit yang serba putih dan steril. Dinding-dinding itu terasa seperti penjara, meskipun untuk kebaikannya sendiri. Meski begitu, ia mengakui, suasana di sini sedikit lebih nyaman dan tenang dibandingkan jika ia harus berada di rumah dan bertemu Tante Mirna dan Silvi yang selalu membuat hatinya tidak tenang dengan pertanyaan atau celotehan mereka. Di sini, ia bisa fokus pada kesembuhannya, jauh dari drama dan tekanan.
Pintu kamar rawat tiba-tiba terbuka, memperlihatkan sosok Alvaro yang masuk dengan nampan di tangan. “Nif, makan dulu, ya,” ujar Alvaro, penuh perhatian, menyodorkan semangkuk bubur hangat untuk sarapan pagi Hanifa. Aroma bubur hambar itu segera menyebar di ruangan. Hari ini adalah hari kedua Hanifa dirawat di rumah sakit ini, dan rutinitas baru itu terasa asing baginya. Hanifa mendengus kesal melihat menu bubur yang diberikan Varo. Ekspresi wajahnya yang cemberut jelas menunjukkan ketidaksetujuannya. Melihat reaksi gadis itu, Varo mengerti maksudnya, tahu benar Hanifa tidak menyukai makanan hambar seperti itu. Senyum tipis terukir di bibirnya.
“Nanti kalau kamu sudah sembuh total, kamu baru bisa makan semuanya. Pizza, nasi goreng, apa pun yang kamu mau. Nikmati saja dulu yang ada ini,” ujar Varo lembut, nada suaranya mengandung bujukan dan sedikit gurauan. Tanpa menunggu persetujuan Hanifa, Varo menyuapkan sesendok bubur pertama ke bibir Hanifa. Hanifa, tanpa sadar, membuka mulutnya dan melahap suapan itu. Rasa hangat dan hambar bubur itu menyentuh lidahnya. Setelah ia menelan, barulah ia tersadar akan perlakuan Varo yang lancang. Dengan cepat, ia menepis tangan Varo, pipinya sedikit merona.
“Kamu jangan memanfaatkan kesempatan ini, ya!” ujar Hanifa dengan nada galak, namun matanya memancarkan sedikit geli. Varo tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kesal yang justru terlihat menggemaskan di wajah Hanifa. Tawanya memenuhi ruangan, ringan dan menular.
“Galak sekali, Hanifa. Perasaanmu tadi mau-mau saja, deh, makannya,” ujar Varo, tawanya masih pecah, menikmati momen singkat godaan itu. Hanifa menatap Varo tajam, kesal karena digoda, lalu melanjutkan memakan bubur itu dengan penuh kekesalan, sendoknya terayun agak kasar ke dalam mangkuk. Meskipun dalam hati ia tak bisa menahan senyum tipis yang tersembunyi. Tiba-tiba, pintu terbuka lagi, dan Melin masuk ke ruangan, senyum hangat tersungging di bibirnya, hendak memeriksa pasiennya yang satu ini.
“Oh my goodness, Varo, don’t disturb my patient,” ujar Melin, matanya melirik Varo dengan nada bercanda, mengamati adiknya yang selalu berhasil membuat suasana hidup. Melin mendekat, memeriksa infus Hanifa yang sudah semakin sedikit, memastikan laju tetesan tetap stabil.
“Varo, I have another patient. Please keep an eye on Hanifa's IV drip. If it runs out, please replace it with this one,” ujar Melin kepada adiknya itu, Varo, dengan nada instruksi yang jelas namun tetap ramah. Varo dengan semangat menjawab, “Siap, kakakku yang cantik!” Melihat sifat Varo yang seperti itu, Melin sudah terbiasa dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menunjukkan bahwa ia sudah tidak heran lagi dengan tingkah laku adiknya yang seringkali kekanak-kanakan itu. Berbeda dengan Hanifa, yang tertawa terbahak melihat tingkah konyol Varo, sejenak melupakan sakit dan kebosanannya.
“Hanifa, I’m leaving now. If anything happens, please ask Varo for help. If he refuses, tell me, and I’ll hit him,” ujar Melin bergurau kepada gadis di depannya, mengedipkan mata. Hanifa mengacungkan jempolnya kepada Melin, tersenyum lebar, merasa nyaman dengan gurauan ringan itu. Melin pun bergegas pergi meninggalkan ruangan itu, menyisakan Hanifa dan Varo berdua lagi dalam keheningan yang mulai terasa akrab. Sedangkan Varo mengambil tempat makan bubur Hanifa yang tergeletak di nakas, menunggu Hanifa selesai makan. Akhirnya Hanifa menghabiskan makanannya tanpa protes lebih lanjut, merasakan perutnya sedikit terisi.
“Terima kasih,” ujar Hanifa, merasa sedikit tidak enak hati karena merepotkan pria itu. Ia melihat Varo yang diam-diam melakukan banyak hal kecil untuknya. Varo hanya menaikkan alisnya, seolah berkata 'sama-sama', tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebuah pengertian tanpa kata yang mulai tumbuh di antara mereka. Keheningan singkat menyelimuti mereka, namun kali ini terasa lebih nyaman, bukan canggung.
“Biasanya hobimu apa?” tanya Varo, mencoba mencari topik pembicaraan untuk mengisi keheningan yang nyaman itu, ia benar-benar ingin mengenal gadis di depannya ini. Hanifa berpikir sejenak, mengingat-ingat hobinya yang memang sangat banyak dan beragam.
“Jujur, aku bingung apa hobiku, soalnya banyak sekali,” ujar Hanifa, ekspresinya menunjukkan kebingungan yang tulus. “Aku hobi memasak, hobi menyanyi, hobi membaca, dan lain-lain. Aku juga suka hiking, melukis, kadang-kadang menulis puisi juga.” Ya, Hanifa memang sangat multitalenta, hidupnya penuh dengan berbagai kegiatan dan minat.
“Hmm, banyak juga, ya. Kalau belakangan ini, hobimu apa yang paling sering kamu lakukan?” tanya Varo lagi, mencoba memfokuskan pada hobi yang paling sering dilakukan Hanifa dari sekian banyaknya itu, ingin tahu apa yang mengisi keseharian gadis sibuk ini.
“Jujur, belakangan ini aku hanya fokus belajar, rapat organisasi, kepanitiaan acara kampus, berpacaran, dan memasak untuk Farel,” ujar Hanifa lagi-lagi jujur, menyebutkan nama kekasihnya tanpa ragu, seolah itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Hati Varo mencelos mendengarnya, merasakan seberkas rasa sakit yang menusuk, namun ia berusaha keras menyembunyikan kekecewaan yang tiba-tiba muncul. Sebuah senyum paksa ia pasang.
“Jadi kamu sesuka itu pada Farel, sampai kamu rela memasakkannya meskipun kamu banyak tugas dan kesibukan lain?” tanya Varo, heran dengan dedikasi Hanifa, meskipun nadanya terdengar sedikit hambar, mencoba menutupi getaran emosi di dalamnya. Hanifa hanya menganggukkan kepalanya, menandakan iya, matanya menunjukkan ketulusan yang tak tergoyahkan. "Bahkan dia mengakuinya kepadaku, dia tidak malu sedikit pun," ujar Varo dalam hatinya, sedikit kecewa dan merasakan secuil rasa sakit yang tak terduga. Ia mencoba mengabaikan perih itu, fokus pada pernapasan.
“Kalau menonton, kamu suka tidak?” tanya Varo, mengalihkan perhatian dari rasa sakit di hatinya, berusaha mencari kesamaan lain yang lebih netral.
“Ya, aku suka Disney,” ujar Hanifa bersemangat, matanya berbinar saat menyebutkan film-film fantasi dan kisah dongeng itu. Ekspresi cerianya sungguh kontras dengan sosoknya yang sering terlihat cuek, sibuk, dan terkadang galak. Varo tanpa sadar mendekatkan wajahnya ke wajah Hanifa, sebuah gerakan impulsif yang sarat makna. Jarak di antara mereka menipis. “Jadi, anak secuek dan sesibuk kamu masih suka Disney?” ujarnya, suaranya sedikit merendah, menatap Hanifa dengan tatapan penuh arti, mencari jawaban di bola mata gadis itu, seolah ingin membaca setiap rahasia yang tersembunyi. Jantung Hanifa rasanya ingin meledak, berdebar begitu kencang karena kedekatan tak terduga itu. Detak jantungnya berpacu, menggetarkan seluruh tubuhnya. Pipi Hanifa memanas, semburat merah menjalar hingga ke telinganya. "Apa yang terjadi?" pikirnya panik. Ia bisa merasakan kehangatan napas Varo di wajahnya, aroma maskulin yang samar, mengganggu konsentrasinya. Hanifa segera membuang wajahnya dari kedekatan wajah Varo, menoleh ke samping. "Menyebalkan," bisiknya dalam hati, meskipun ada sedikit getaran aneh yang menyenangkan, sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Go from f