_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Kirana itu?
Udara malam itu terasa lembap, sisa gerimis masih menempel di dedaunan di halaman. Lampu-lampu rumah memantulkan cahaya kuning yang hangat, namun suasana di dalam tidak sehangat itu.
Demian membuka pintu kamar pelan, langkahnya berat selepas pulang dari masjid usai melaksanakan shalat isya. Sorot matanya kosong. Ada lelah di wajahnya, tapi juga sesuatu yang tak ingin ia tunjukkan. Ia masuk begitu saja, tanpa sepatah kata pun pada Alsid yang duduk di sudut kamar, sibuk memutar-mutar sebuah kunci mobil di jarinya, namun matanya tak bisa lepas dari kedatangan Demian.
Tak ada tegur sapa. Hanya hening, suara detik jam dinding dan juga cicak yang seolah ingin membantu melenyapkan keheningan.
Demian duduk di kasur tipisnya, mencuri-curi pandangannya pada Alsid, takut mengucapkan sepatah kata, takut dimarahi Alsid juga.
Keheningan seketika sirna, ketika suara lembut tapi tegas terdengar dari ruang makan memecah kebekuan itu.
“Demian, Alsid! Makan dulu, ayo!” panggil Celia dari dapur. Seperti seorang ibu yang memanggil anak-anaknya untuk makan.
Demian meletakkan peci di atas meja kecil di dekat kasur, lalu melewati Alsid setengah menjinjit, seolah-olah gerakannya takut di ketahui oleh Alsid, padahal Alsid terang-terangan bisa melihatnya.
Demian melangkah keluar. Alsid menatap punggungnya sebentar, kemudian ikut berdiri.
Di meja makan, aroma sederhana namun menenangkan menyambut mereka. Malam ini menunya hanya nasi hangat yang mengepul, telur dadar keemasan, dan sayur bening dengan irisan jagung dan bayam. Tak ada lauk mahal, tak ada hidangan mewah seperti yang Celia buat kemarin-kemarin.
“Menu di kulkas kayaknya udah habis,” kata Celia sambil duduk, nadanya santai seolah tak ingin anak-anak itu merasa bersalah. “Tapi aku udah masak semua yang ku bisa. Emang kurang enak sih sepertinya.”
Demian hanya mengangguk. "Oh, ini juga kelihatan enak banget kok. Aromanya juga udah enak banget."
Alsid pun duduk tanpa komentar, lalu menatap makanan dengan malas. "Nanti kita beli bahan makanannya besok." sahutnya, seolah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas isi dapur.
Suasana makan malam itu terasa kaku. Sendok beradu dengan piring, tapi tak ada percakapan berarti. Hanya suara air sayur yang bergoyang di sendok dan napas pelan yang terdengar, juga sruputan kuah sayur bening dan juga air minum.
Sesekali, Alsid melirik ke arah Demian. Tatapan itu bukan sekadar penasaran, melainkan menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Gambar Demian siang tadi terlintas di kepalanya—wajah yang berbinar, langkah ringan saat pulang, kantong-kantong belanja yang penuh dengan sepatu, baju, dan kotak makanan.
Alsid menarik napas pelan. Dalam hatinya, ia tahu… mungkin Demian jarang, atau bahkan belum pernah, merasakan dibelikan barang-barang mahal seperti itu. Mungkin anak itu bahkan tak pernah merasa dimanjakan sedemikian rupa.
Mungkin saja dulu ia pernah menginginkan sesuatu, tapi hanya sebatas melihat saja. Tapi ketika ia bisa mendapatkan apa yang ia lihat dan sentuh, tentu buruk sekali kalau Alsid seenaknya merusak kebahagian anak jalanan itu.
Dan meskipun ada rasa curiga besar pada Kirana, di sudut hati kecilnya ia merasa kasihan pada Demian.
Akhirnya, ia meletakkan sendoknya, lalu menatap Demian.
“Deym,” panggilnya pelan.
Demian mengangkat wajah, sedikit ragu. “Hm?”
“Kalau elu mau nyimpen barang-barang yang Kirana kasih, bahkan mau makainya… nggak apa-apa. Anggap aja itu rezeki,” ucap Alsid, suaranya datar tapi bukan dingin.
Demian terdiam sesaat, lalu menatap Alsid seperti mencari arti di balik kata-kata itu. “Kamu nggak marah?”
Alsid menggeleng pelan. “Yah, anggap aja enggak. Lagian kan itu rezeki elu, bisa di kasih banyak barang-barang gitu. Tapi nanti, kalau gue udah jadi dukun sukses, nanti elu pasti gue beliin barang-barang yang elu mau sejak dulu."
Demian tersentak mendengarnya. Ia terkejut hingga terbelalak, lalu matanya kembali normal.
Demian menghela napas panjang, lalu menunduk. “Sid, maaf kalau aku… masih berteman sama Kirana. Maaf juga kalau aku ngabaikan larangan kamu. Tapi… aku benar-benar nggak ngerti kenapa kamu benci banget sama dia.”
Celia terlihat kikuk di antara obrolan mereka, tapi enggan untuk ikut campur.
Alsid tak langsung menjawab. Ia mengambil garpu lagi, menusuk potongan telur dadar, tapi tidak memakannya. Tatapannya tajam, tapi tak diarahkan ke Demian—melainkan ke piringnya sendiri.
“Dia cuma mau kamu pulang ke rumah,” lanjut Demian pelan, sambil memainkan ujung bajunya karena gugup. “Kirana bilang… ibumu sakit parah. Dia cuma minta kamu temuin, nggak harus nginap di sana. Aku pikir… itu permintaan yang wajar.”
Alsid mendengkus, lirih tapi penuh penekanan. Sebuah suara yang terdengar seperti cemoohan, bukan untuk Demian, tapi untuk Kirana.
“Tentu aja… dia bakal bilang begitu.”
Demian mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Dalam hati, Alsid sudah menduga sejak awal bahwa Kirana akan memakai cara ini. Mengulurkan kebaikan pada Demian yang polos, membuat anak itu merasa berhutang budi, lalu secara perlahan menanamkan pesan yang ia inginkan. Sebuah permainan halus, tapi mematikan jika dibiarkan.
Dan sekarang, dugaannya benar. Kirana berhasil.
“Dia pintar, Deym. Dia tahu gimana caranya bikin orang nyaman… bikin orang percaya. Dan elu—” Alsid menatap langsung ke mata Demian. “—elu target yang sempurna untuk itu.”
Demian terdiam, tak tahu harus membalas apa.
Suasana meja makan mendadak berat. Celia yang sedari tadi hanya memandangi mereka, mulai merasa percakapan ini tak akan berhenti di sini. Ia memilih diam, membiarkan keduanya menyelesaikan pembicaraan yang jelas penting.
Alsid bersandar di kursinya, lalu mengusap wajah. “Gue nggak mau elu terseret lebih jauh. Tapi kalau elu memang mau tau…” ia menatap Demian dalam, seolah menimbang sesuatu. “…gue bakalan cerita. Gue akan kasih tahu siapa Kirana itu sebenarnya.”
Demian merasakan sesuatu di dadanya—campuran rasa ingin tahu, takut, dan was-was. Tapi ia juga tahu, jika malam ini ia tidak mendengar jawabannya, ia mungkin tak akan pernah tenang.
Ia mengangguk perlahan. “Baik. Ceritain, Sid.”
Alsid tidak langsung bicara. Ia meneguk air putihnya, menatap kosong ke arah meja, lalu kembali menatap Demian.
“Tapi, jangan kaget. Dan jangan… percaya sepenuhnya pada apa yang dia tunjukkin ke elu. Karena Kirana…”
Suara Alsid menggantung, seperti sengaja memotong kalimatnya. Tatapan matanya tajam, nyaris menusuk.
“…adalah orang yang paling pandai memakai kebaikan sebagai senjata.”
Demian menelan ludah. Ada sesuatu di nada suara Alsid yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ia tak tahu cerita apa yang akan keluar selanjutnya, tapi hatinya merasa—babak baru yang penuh rahasia akan segera terbuka.
Bersambung…
lanjut thor kerenn/Smile/
ada kun sm agam ga ini